Bab 2
… Dasar anak haram! Kamu sama saja seperti ibumu!
Seketika, aku terbangun dari tidur.
Ini adalah kisahku tiga minggu yang lalu, ketika masalah yang membuatku mendekam di balik jeruji besi ini dimulai.
Hari itu adalah Hari Rabu. Hari disaat pertama kalinya aku masuk kerja di tempat yang baru.
Untuk sejenak, aku mengusap-usap kakiku. Rasa sakit yang terbersit dari mimpi itu, terasa begitu nyata. Otakku memang sangat pandai dalam menyimpan ingatan. Bahkan, untuk beberapa ingatan yang sebenarnya ingin sekali aku lupakan.
Jam alarmku ternyata belum berbunyi. Alarm yang aku setel di jam 6 pagi sepertinya kalah cepat dibandingkan dengan alarm alamiku itu. Masih setengah jam lagi sampai waktu yang aku inginkan untuk bangun, tetapi tampaknya alam ingin agar segera bangkit dari kasur.
Pada saat itu, aku berbaring terpaku di kasur untuk sementara waktu. “Bagaimana nanti ya?” gumamku.
Perusahaan yang menerimaku untuk bekerja bernama PT. Exceed Multimedia. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa provider internet. Lokasinya cukup jauh dari rumahku, sekitar 1 jam perjalanan dengan sepeda motor. Produk utama perusahaan itu adalah TV kabel dan jaringan WiFi. Mereka menerimaku untuk mengisi posisi sebagai salesman di sana.
Aku melamar pekerjaan sebagai sales itu sejak 2 bulan sebelumnya. Pada awalnya, aku berpikir kalau mereka tidak akan menerimaku. Namun beruntunglah, seorang temanku yang bernama Edo akhirnya bisa membantuku untuk masuk ke perusahaan tersebut. Menurut beberapa orang, memang cukup sulit untuk bisa bekerja di perusahaan tersebut kalau tidak dibantu dengan koneksi orang dalam.
Sebelum bangkit dari kasur, aku menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Rasa khawatir begitu terasa dalam benakku karena itu adalah pertama kalinya aku akan bekerja sebagai seorang salesman.
Beberapa orang meragukanku. Menurut mereka, bekerja sebagai di bidang sales bukanlah perkara mudah – dan bukan pekerjaan yang keren.
Akan tetapi, aku berusaha terus meyakinkan diri agar tetap bersemangat dan berpikir positif. Walau bagaimanapun, mereka tidak bisa memenuhi kebutuhanku dengan celotehan mereka. Ya. Aku harus terus berusaha sendiri untuk menyambung hidup!
Meskipun harus berjalan sendirian!
Sekitar 10 menit lamanya aku melakukan olah napas itu. Sampai akhirnya, aku kembali bersemangat untuk menjalani hari pertamaku bekerja. Setelah itu, aku kembali melihat jam yang rupanya menunjukkan bahwa masih ada waktu 15 menit lagi sebelum jam 6.
Beberapa ingatan buruk kembali terulang ketika aku berdiam diri di atas kasur. Apalagi setelah mimpi sialan itu. Selalu saja, mimpi itu membuat semangatku melemah. Benar-benar mimpi sialan!
Kurapikan sejenak bantal-bantal yang selalu menemani tidurku itu. Aku sudah terbiasa untuk merapikan kamar dan juga rumah karena aku tinggal sendirian.
Rumah yang aku tempati itu merupakan rumah milik nenek dari garis keturunan ibuku. Ada sebuah pesan yang datang melalui Nenek, agar aku menempati rumah tersebut sampai aku menikah kelak.
Jika dipikir lagi, memang tidak mungkin ada yang akan menempati rumah itu selain aku karena aku adalah tunggal.
Nenekku juga tinggal di sana sampai beliau wafat lima bulan lalu. Hal itu lah yang membuatku sempat depresi hingga akhirnya berhenti dari pekerjaan lamaku.
Selama ada Nenek, aku jarang sekali bermimpi buruk. Namun sejak Nenek wafat, drama keluarga yang dahulu sempat teredam, kemudian kembali bermunculan dengan seketika sehingga aku mengalami mimpi-mimpi buruk itu berulang-ulang kali.
“Sudah. Kamu jangan pikirkan ucapan mereka. Anggap saja mereka sedang mabuk,” ujar nenek dalam ingatanku.
Beliau memang selalu melindungiku. Terutama dari keluarga besar, baik dari pihak Ibu maupun Ayah, yang terus bersikap arogan dan sinis terhadapku.
Mereka seperti melihatku sebagai pembawa penyakit dan kesialan. Selalu saja, aku merasa sendirian saat berkumpul bersama mereka.
Setiap kali aku teringat dengan hal itu, rasanya dadaku kembali sesak. Entah mengapa, mereka sampai tega bersikap seperti itu kepadaku. Ingin rasanya aku melawan mereka, tapi Nenek selalu mencegahku untuk melakukan hal itu.
“Untuk apa kamu membalas sikap mereka? Nanti kamu malah sama saja seperti mereka,” nasehat Nenek di dalam ingatanku.
Ada banyak sekali foto aku bersama Nenek yang terpampang di dinding kamar. Kami berdua memang begitu dekat. Tidak ada satu hari pun yang aku lalui tanpa Nenek. Beliau seringkali membuatku tertawa – tentu dalam rangka sedang menasehatiku juga.
Selain itu, kami berdua juga sering berjalan-jalan ke mall dan taman saat akhir pekan.
Semua ingatan tentang Nenek begitu melekat dalam pikiranku. Rasanya, baru kemarin aku jalan-jalan bersama Nenek ke sebuah taman di dekat rumah.
Ingatan tentang Nenek begitu melekat karena memang lebih dari separuh hidupku – yang saat ini sudah berusia 23 tahun, lebih sering dihabiskan bersamanya.
Hal itu dikarenakan, ada sebuah tragedi ketika aku berusia 7 tahun. Tragedi yang bahkan masih aku rasakan dampaknya sampai sekarang. Jikalau bukan karena Nenek, mungkin aku sudah depresi setengah mati akibat hal itu. Benar-benar menyakitkan.
Setelah semangatku terkumpul cukup banyak. Barulah aku bangkit sepenuhnya dari kasur. Meskipun langkah kakiku sedikit goyah, namun aku tetap ingin bersemangat menjalani hari … karena Nenek.
Saat hendak menggapai kenop pintu kamar, untuk sejenak aku memandang dalam-dalam fotoku bersama Nenek. “Seandainya saja, Nenek masih ada di sini,” gumamku.
Benar-benar sangat menyedihkan.
Segera, jam wekerku berbunyi. Melodi bising yang terasa memilukan itu … Biasanya langsung membuat Nenek berteriak membangunkanku dari tempat dimana saja dia berada begitu dia mendengar alarm itu. Entah dari dapur, kamar tidurnya, atau bahkan dari luar rumah sekalipun. Nenek selalu saja berteriak membangunkanku.
… Aku rindu sekali.
“Aku benar-benar butuh seseorang yang bisa menyemangatiku sekarang, Nek,” gumamku sambil terus memandangi fotonya.
Senyum Nenek yang terpancar dari balik bingkai foto itu begitu mengisi kalbuku.
Pipinya yang tirus hampir menggembung akibat tarikan senyumnya tersebut. Bibir dan mata Nenek begitu mungil. Rambutnya yang hitam tipis, terlihat agak keputihan di bagian pangkalnya karena Nenek hanya mengecat rambutnya 6 bulan sekali.
Aku kembali menghela napas dalam-dalam. “Doakan aku ya, Nek. Semoga hari ini urusanku lancar,” ucapku – seolah Nenek sedang berada di sana.
Setelah itu, aku langsung beranjak dan membuka kamarku untuk menuju dunia yang terasa kian keras dan sempit – dengan keraguan yang terselubungi oleh semangat palsu. Ya. Sekarang aku berpikir bahwa itu adalah sebuah semangat yang palsu.
Ketika aku membuka pintu kamar, mataku langsung tertuju pada dua buah paket yang dibungkus oleh karton berwarna cokelat. Kedua paket itu tergeletak rapi di atas meja ruang tamu. Aku belum sempat membuka kedua paket itu karena kesibukanku ketika paket itu datang. Tepatnya pada dua hari sebelumnya. Satu kotak paket itu berukuran cukup besar, seperti kotak sepatu. Sementara satunya lagi, berbentuk pipih seperti cokelat.
Aku tidak ingat – apakah pernah memesan sesuatu dari toko online. Aku benar-benar tidak bisa memfokuskan pikiran sejak Nenek wafat. Ditambah lagi dengan kesibukanku itu.
Namun begitu, jelas tertera bahwa kedua paket itu tertuju kepadaku. Dengan nama dan alamat lengkap. Paket atas nama Denny Koswara yang berada di rumah Hartini.
Aku masih tetap enggan untuk membukanya. Meskipun aku merasakan seperti ada daya tarik agar aku segera membukanya. Jika dipikir lagi, tidak tahu kenapa sampai aku begitu.
Sebenarnya, sudah tiga hari itu aku bolak-balik untuk wawancara dan mempersiapkan segala sesuatu di PT. Exceed Multimedia. Bahkan untuk sekedar makan saja, aku sampai lupa beberapa kali.
Syarat untuk diterima bekerja di sana sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Hanya saja, ada beberapa persyaratan yang belum dapat aku penuhi, seperti pengalaman sales selama 2 tahun. Hampir semua pekerjaan memang memiliki persyaratan seperti itu.
Seperti dua hari sebelumnya, aku kembali mengabaikan kedua paket itu dan bersegera mandi serta sarapan. Ya. Setidaknya, pagi itu tidak lupa untuk sarapan.
Begitu selesai mempersiapkan diri, aku segera pergi dari rumah. Motor matic adalah satu-satunya kendaraan yang aku miliki. Walaupun cat warna putihnya sudah sedikit mengelupas dan lampu depannya sudah retak, tetapi aku tetap bersyukur masih memilikinya.
Ya. Aku bersyukur.
Untuk sejenak, aku mengamati sekeliling lingkungan rumahku sepi seperti biasanya. Lokasi rumahku yang berada di pojok perumahan membuatnya jarang dilewati orang ataupun kendaraan. Hanya orang-orang yang hendak ke rumahku saja yang lewat di situ. Oleh karenanya, tetanggaku sering memarkirkan mobilnya tepat di depan pagar rumah, seperti pagi itu. Hal yang terkadang membuatku jengkel, walaupun memang mobil itu tidak diparkirkan di depan pintu pagar.
Setelah semua siap, aku segera berangkat dari rumah – tanpa seorangpun yang dapat aku minta izin berangkat kerja.
Sungguh. Menyedihkan sekali.
***