Lieception

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis

Bab 1

 

Di sinilah aku, tergolek lemas di lantai sebuah kamar prodeo yang dingin dan beraroma tidak sedap. Beberapa botol air mineral berukuran satu setengah liter terpajang dengan begitu menyedihkan di salah satu sudut ruangan ini. Salah satu diantaranya, bahkan dibiarkan tergeletak begitu saja. Seolah-olah, menjadi tempat penampungan urin telah meruntuhkan harga diri mereka serendah-rendahnya.

Akan tetapi, aroma tidak sedap yang sedang aku endus ini bukan datang dari sana. Melainkan salah seorang di sampingku yang sedang mendengkur, dengan mulutnya yang menganga lebar. Posisinya yang terlentang dengan tangan terbuka ke atas itu, seperti ingin memperlihatkan ketiak berbulunya yang menjijikkan – dengan bangganya.

Karena pemandangan dan aroma yang tidak sedap itu, aku langsung mencoba untuk mengalihkan diri darinya. Apalagi saat dia berpindah posisi, meringkuk menghadap ke arahku.

Begitulah. Tempat ini begitu menyedihkan. Ruangan berukuran 4 x 4 meter ini, yang sedang terisi oleh tujuh orang pesakitan, termasuk aku. Sepintas, jeruji besi yang menghalangiku dengan dunia luar itu mengingatkanku dengan hewan-hewan di kebun binatang.

Apakah mereka juga memiliki perasaan terkurung yang sama?

Maksudku, bukan hanya tubuh mereka saja yang terkurung seperti ini. Tapi juga jati diri mereka sebagai hewan-hewan bebas di alam liar.

Singa-singa yang berlarian mengejar mangsanya, burung-burung yang terbang mencari makanannya, dan para lumba-lumba yang berenang riang mengarungi lautan lepas.

Waktu satu minggu yang telah aku habiskan di tempat ini, sungguh memberi dampak yang luar kepadaku.

Ya. Di dalam ruangan ini, aku tidak hanya kehilangan kebebasanku. Namun juga jati diriku yang sebenarnya.

Perasaanku terasa begitu sempit, sehingga meringkuk di sini saja rasanya belum cukup untuk menyamainya.

Apakah aku benar-benar bersalah?

Ataukah ini hanya tipuan dari mereka belaka?

Aku terus-menerus mempertanyakannya hingga sulit tidur untuk beberapa waktu lamanya.

Perhatianku lantas berpaling, kepada seorang narapidana terus menatapku dari tempat dia duduk di pojok ruangan. Mata orang itu, terlihat begitu sendu. Tatapannya membuatku berhenti memikirkan nilai kebenaran untuk sejenak, dan memicu timbulnya sebuah pertanyaan lain di dalam otakku.

Apakah aku semenyedihkan ini? Sampai-sampai dia memandangku seperti itu.

Lelaki paruh baya itu, sepertinya sedang melihat refleksi dirinya pada diriku. Mungkin, itu berkaitan dengan kisah yang aku ceritakan kepadanya tempo hari. Beberapa hari setelah aku masuk ke sini.

Posisi pecinya yang sedikit miring, semakin membuatnya terlihat menyedihkan.

Kurus dan keriput. Begitulah gambaran dirinya yang tertangkap oleh mataku.

Sesekali dia menepuk dan menggaruk kakinya yang sedikit tersingkap dari sarung birunya yang kumal itu. Walaupun sepertinya, aku tidak merasakan kehadiran seekor nyamuk pun di dalam ruangan ini.

Aku membalas tatapan sendunya itu beberapa kali karena merasa tidak nyaman. Dia – sepertinya ingin sekali berbicara kepadaku. Tetapi, entah kenapa aku sungkan sekali untuk memulai pembicaraan dengannya terlebih dahulu.

Keadaan yang kurang menyenangkan itu, bertahan selama beberapa waktu – sampai akhirnya, suara langkah sepatu memecah kesunyian di sini.

Dengan segera aku tersadar, bahwa ini adalah waktunya pergantian shift jaga para sipir penjara di jam 10 malam. Aku tidak mengacuhkan suara langkah sepatu itu, sampai suara itu – berhenti tepat di depan ruang tahananku.

Siapa itu? tanyaku dalam hati sambil melirik kembali pada lelaki tua tersebut.

Dia, rupanya sedang menatap ke luar untuk sejenak, lalu kembali lagi kepadaku. Setelah itu, dia lantas memberiku isyarat agar aku segera berbalik badan.

Aku tidak langsung menggubrisnya karena dua alasan. Pertama, ada seorang napi menyebalkan yang terus mendengkur di sampingku. Kedua, perasaan yang terlampau kalut telah membuatku enggan untuk bergerak sedikitpun.

Karena aku tidak kunjung memberikan respon sesuai keinginannya, lelaki tua itu lalu kembali menatap ke luar ruang tahan.

“Den!” Seseorang tiba-tiba memanggilku dari luar sana. Suara orang tersebut, tiba-tiba terasa langsung menggugah jiwaku untuk segera bangkit dan menoleh ke arahnya.

Dengan seketika, aku bersegera bangkit dan duduk terlebih dahulu sebelum menoleh. Tentunya, untuk menghindari si pendengkur itu.

“Aku mau pulang dulu, Den,” ujar orang itu pada saat aku menatap matanya secara langsung. Aku yang masih dalam posisi terduduk, hanya mampu menatapnya dengan tatapan yang kosong. Tidak ada hal apapun yang dapat terlintas di dalam benakku.

“Den?” Orang itu kembali memanggilku. Namun, tetap saja aku bergeming. Pikiranku … benar-benar kosong melompong.

Aku berusaha untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya, namun sulit. Cahaya lampu yang begitu redup di lorong itu, sedikit membuat wajahnya tampak buram . Tetapi, meskipun begitu aku masih dapat merasakan aura penyesalan yang terpancar dari wajahnya.

Setelah beberapa saat kami berdua saling menatap dalam diam, orang itu lantas menarik napasnya dalam-dalam. “Seandainya kamu mau mendengar saranku waktu itu, Den.” Dia lalu terdiam sejenak.

“Mengalah sajalah … meskipun kamu merasa benar.”

Dahiku seketika mengernyit. Kata-katanya itu, langsung membuat kesadaranku berangsur-angsur kembali. Setelah itu, aku menatapnya dengan pemikiran yang berbeda. Maksudku, berbeda dari beberapa hari sebelumnya.

Meskipun sebuah pemikiran telah menghinggapi benakku, namun aku tetap tidak menggubrisnya. Lebihnya tepatnya … tidak bisa.

Karena sikapku yang tak acuh ini, orang itu lalu menanggapi dengan menggelengkan kepalanya secara perlahan. Sepertinya, dia begitu kecewa denganku.

“Aku tidak bisa membantu lebih dari ini,” ucapnya seraya menundukkan kepalanya dengan lesu. Tarikan napasnya pun terdengar mulai memberat.

Di samping itu, aku terus menatapnya dengan tatapan kosong. Tidak ada satu katapun yang mampu aku utarakan kepadanya.

Orang itu kemudian berjongkok di sana. Sikap yang – entah kenapa tidak aku harapkan. Rasanya, aku sangat ingin agar dia pergi menjauh dariku … dengan segera!

Pergilah sana! teriakku dalam hati. Dengan seketika, emosiku meluap-luap bagaikan api tersiram oleh bensin. Dadaku rasanya panas sekali.

Sepertinya, orang itu sangat memahami perasaan yang sedang aku rasakan. Hal itu terlihat dari bagaimana cara dia secara perlahan mendekati jeruji sialan yang telah menghalangiku dengan dunia luar itu.

Semakin dia mendekat, rasanya dadaku semakin panas. Namun begitu, tetap saja bibirku rasanya seperti terkunci. Padahal, aku ingin sekali mengumpatnya. Mengatainya dengan kata-kata hinaan yang luar biasa kasar.

Desiran penuh emosi membuat pembuluh darah di tanganku terasa seperti tertarik.

Akan tetapi, sepertinya orang itu kelihatannya masih saja tetap tenang sembari mendekat dengan perlahan-lahan. Terasa sekali bagaimana dia tidak peduli dengan perasaanku saat ini. Sikap yang, malah membuat aliran darahku semakin deras menuju ke kepala.

Amarah di dalam dada ini … terasa semakin menggila!

Meskipun begitu, aku tetap tidak ingin menuruti amarahku. Tidak ada gunanya sama sekali jika aku harus mengikuti kemarahanku yang begitu besar. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk bersabar sedikit, menunggu – sambil memperhatikan dengan teliti, apa yang akan dia lakukan di hadapanku.

Mungkin dia ingin menertawaiku, pikirku.

Setiap detik yang aku lalui, rasanya lama sekali. Hal itu, lantaran aku sangat ingin agar dia segera pergi dari hadapanku.

Tanpa berkata apapun, orang itu dengan seketika menyodorkan sebungkus kantong plastik. Aku tertegun. Aku tidak menyadari sama sekali kalau dia datang dengan membawa sesuatu di tangannya.

“Ini, aku bawakan nasi goreng untukmu. Makanlah,” ujarnya dengan tenang. Meskipun raut wajahnya terlihat datar, tetapi aku dapat merasakan keinginannya – agar aku mau memakannya.

Aku tetap belum mampu untuk mengendalikan pikiranku. Dengan seketika, bayang-bayang kejahatan berkelebat di dalam pikiranku. Kejahatan, yang tentunya dilakukan oleh orang itu. Sehingga aku membayangkan dapat menghajar wajahnya dengan leluasa.

Karena bayang-bayang itu, lama-kelamaan wajahnya tiba-tiba terlihat seperti orang yang menurutku – menjadi salah satu penyebab kekacauan ini.

Rambut kudukku seketika meremang. Sekujur tubuhku pun, terasa mulai bergetar.

Sekilas, dia memang terlihat seperti orang itu. Orang … yang telah mengacaukan hidupku hingga seperti ini!

“Sekarang, aku hanya bisa menasehatimu untuk bersabar,” sambung orang itu seraya berdiri kembali dengan cepat.

“Ta,tapi. Aku sudah mengatakan yang sejujurnya,” ujarku lirih, dengan tiba-tiba.

Orang itu merenung untuk sesaat, sebelum akhirnya mengangguk dengan pelan. Kentara sekali bahwa dia, merasakan kebimbangan yang luar biasa.

“Iya, aku tahu. Aku mau pulang sekarang.” Kata-katanya itu, seperti menunjukkan bahwa dia tidak terlalu peduli denganku.

Aku merasa kesal, sekaligus sedih pada saat dia berekspresi seperti itu.

Setelah itu, dia pergi begitu saja tanpa menungguku untuk membalas ucapannya. Dengan seketika, suara langkah sepatunya kembali mengisi lorong penjara ini. Suara langkah sepatu, yang terdengar lebih pelan dari sebelumnya.

Semakin jauh – dan jauh meninggalkanku di sini.

Kemudian, lelaki tua yang duduk di belakangku itu menyenggol sedikit kakiku dengan salah satu kakinya. Dia lantas menunjuk makanan itu dengan wajahnya.

“Bapak mau?” tanyaku.

Dia mengangguk dengan antusias.

“Silahkan, Pak. Saya sudah kenyang.”

Tanpa basa-basi, dia kemudian mengambil makanan itu dengan cepat. Tingkahnya itu, seolah menunjukkan kalau dia sedang merasa begitu kelaparan.

Aku termenung sesaat ketika dia melewatiku – tanpa permisi, untuk mengambil makanan tersebut.

Iya, aku sebenarnya sedang berbohong. Aku sebenarnya merasa sangat lapar. Namun, rasanya aku tidak memiliki nafsu makan akibat pikiran yang terus berkecamuk di kepalaku selama seharian penuh.

Hanya sarapan pagi yang aku santap hari ini. Itu pun tidak seberapa karena perutku rasanya penuh sekali, meskipun lapar.

Selain itu, rasa kecewa kepada orang itu juga menghalangiku untuk memakan nasi goreng pemberian darinya.

Lelaki tua itu, kemudian langsung mengambil bungkusan nasi goreng dengan sigap. Bahkan, dia tidak kembali ke tempat duduknya semula saat menyantap nasi goreng tersebut. Justru, sambil bersandar pada jeruji besi nan kokoh itu, dia lantas menyantap nasi goreng dengan begitu lahapnya.

Aku terus memperhatikannya, kembali dengan pikiran yang kosong. Kebohongan tentang rasa lapar yang sudah aku lakukan ini, begitu memenuhi pikiranku.

“Mau?” tanyanya karena aku terus-menerus memperhatikannya tanpa berkata sepatah katapun. Tentu saja, dia pasti merasa risih akibat hal tersebut.

Dengan segera, aku menggelengkan kepala dengan perlahan. Padahal, perutku memang meronta-ronta – ingin juga merasakan nasi goreng yang kelihatan sangat lezat itu.

Iya, aku berbohong lagi!

Lelaki tua itu dengan cepat memakan nasi goreng tersebut. Mungkin, pengalamannya selama 3 tahun di penjara ini telah mengajarkannya agar jangan sungkan jika mendapatkan makanan.

Menjalani hidup di penjara memang terasa sebegitu kerasnya. Bisa jadi, dia sedang merindukan nikmatnya nasi goreng hangat yang dapat dibeli di sepanjang pinggiran jalan.

“Saya, juga berada di posisimu ketika masuk kemari. Tidak ada seorangpun yang percaya pada saya. Bahkan istri saya pun tidak mendukung. Benar-benar edan dunia ini,” ujarnya sambil menguyam-nguyam mulutnya agar sisa nasi goreng yang menyelip di sela-sela giginya keluar.

“Kamu tahu. Terlalu percaya dengan orang lain, malah membuat kita menjadi kesulitan seperti sekarang ini. Saya sungguh menyesal, setiap mengingat pengalaman saya itu,” sambungnya seraya memasukkan bekas bungkusan nasi goreng itu ke dalam gulungan sarungnya.

“Jangan pernah percaya pada siapapun. Jangan pernah!” ujarnya dengan pelan seraya kembali ke tempatnya semula.

Tanpa mengajakku berbincang lagi, dia langsung saja merebahkan dirinya di sana.

Aku berpikir sejenak. Tentu saja, di sini tidak ada memarahinya ketika dia langsung tiduran setelah makan seperti itu.

Apakah ini adalah salah satu bentuk kebebasan? Melakukan apapun yang kita mau tanpa ada seorangpun yang peduli, pikirku.

Aku kembali merenung. Bahkan dari kejadian barusan, aku sudah berbohong sebanyak dua kali. Ingin rasanya aku seperti lelaki tua itu – yang tidak terlalu memikirkan nasibnya dan lebih memilih untuk menikmati sebungkus nasi goreng yang ada di hadapannya.

Mendapat sebungkus nasi goreng, lalu memakannya dan kemudian tidur. Sesederhana itulah hidup yang seharusnya.

Di dalam kegalauan yang kian menderu ini, berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul bagaikan sedang menghantuiku.

Apakah sebenarnya yang menjadi sumber dari segala tipu daya yang sedang menimpaku? Dunia ini, ataukah hanya – pikiranku saja yang membuat berbagai tipu daya tersebut?

Hanya dengan melihat keempat napi lain yang sedang meringkuk nyenyak di sekitarku ini, seketika pikiranku semakin bertanya-tanya dengan begitu liarnya.

Apakah mereka semua adalah orang-orang yang benar-benar bersalah?

Apakah mereka semua, bisa masuk ke tempat ini atas dasar sebuah kejujuran?

Atau apakah – di antara wajah-wajah pesakitan ini, ada yang sama sepertiku? Mendekam di sini, atas dasar sebuah kebohongan berdalih kejujuran.

Kebohongan ….

Ya. Kebohongan demi kebohongan yang telah aku lakukan sebelumnya, begitu mengganggu pikiranku layaknya hantu. Dan ingatanku akan hal-hal tersebut, pada akhirnya telah membuat pertanyaan-pertanyaan liar itu semakin sulit untuk dijawab. Semakin aku memikirkannya, dadaku terasa semakin sempit saja.

Kejadian-kejadian yang telah terjadi sebelum aku masuk ke sini pun pada akhirnya muncul kembali di dalam ingatanku secara utuh. Sebuah hal yang langsung membuat kewarasanku menjadi sedikit goyah, kembali.

Kebohongan atau kejujuran. Di antara keduanya, manakah yang sebenarnya tengah terjadi di dalam hidupku?

Oleh karena adanya tekanan pikiran yang begitu berat, aku lantas kembali membaringkan diri secara perlahan di atas lantai yang dingin. Tekanan di dalam kepala yang terasa semakin berat ini – membuatku seperti sedang terhimpit oleh beban yang seolah-olah ada namun tidak terlihat.

Sengatan hawa dingin ini dengan seketika terasa di kulitku.

Akan tetapi, aku tetap berusaha untuk merasa bersyukur. Setidaknya, aku masih bisa hidup untuk merasakan sengatan hawa dingin dan bau menyengat ini. Ya. Itulah yang sering dikatakan oleh orang-orang kebanyakan. Bersyukur adalah kunci dari segala permasalahan hidup, pikirku.

Sambil menatap langit-langit coran – yang catnya sudah mengelupas itu, aku tiba-tiba berpikir sesuatu. Dunia tanpa kebohongan … adalah sebuah kebohongan!

Malam ini, aku berusaha keras untuk bisa tidur. Aku ingin sekali dapat menikmati tidur nyenyak seperti yang lalu-lalu. Sebelum segala beban pikiran yang terus menderu tiada henti ini merenggut semuanya!

Aku tidak ingin tenggelam dalam kebingungan yang berlarut-larut. Setiap ingatan yang terbesit di benakku ini begitu menyiksa. Tidak terbayangkan lagi. Bahkan, sesaknya dadaku dapat melebihi sesaknya tempat ini. Benar-benar tidak terbanding.

Selain itu, kesulitanku untuk tidur mungkin juga terpengaruhi oleh tempat yang baru ini. Pikiranku seperti was-was, mewanti-wanti bahaya yang bisa saja datang kapanpun. Walaupun, memang orang-orang yang saat ini sedang menjadi teman satu selku terlihat “cukup baik dan ramah”.

Aku sedikit teringat, bagaimana secuil “tamparan persahabatan” yang mereka berikan saat pertama kali aku datang. Hal itu cukup menakutkan bagiku pada saat itu. Tetapi sekarang, bagiku kebohongan di dunia luar sana faktanya jauh lebih menakutkan lagi.

Lama kelamaan, rasa kantuk yang datang secara perlahan sedikit demi sedikit telah membuatku paralyze – antara tidur dan tidak. Syukurlah. Ya. Syukurlah aku masih bisa merasakan kantuk. Aku bersyukur!

Akan tetapi, rasa kantuk dan ketidaksanggupan untuk tidur ini malah membuat ingatan-ingatan yang berkelebat di dalam benakku ini terasa begitu nyata. Seperti mimpi yang nyata, atau kenyataan yang terasa seperti mimpi.

Hal ini seringkali terjadi padaku, seperti malam-malam sebelumnya – saat aku berusaha untuk tidur setelah mengantuk.

Pada akhirnya, ketika mataku terpejam rapat, tiba-tiba telingaku langsung terngiang-ngiang oleh kata-kata … yang terus menghantui pikiranku untuk sekian lamanya. Suara dari seseorang, selalu saja membuat pikiranku terlempar ke masa lalu.

….

Dasar anak haram! Kamu, sama saja seperti ibumu!

 

***

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar