Nama Asma Nadia tak asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Pasalnya wanita kelahiran 1972 ini telah menelurkan lebih dari 50 karyanya lewat buku-buku dan novel fiksi. Bahkan beberapa karya novel Asma Nadia pun telah diangkat menjadi film yang mendulang kesuksesan di hati masyarakat Indonesia. Sebut saja film ‘Surga Yang Tak Dirindukan’ yang diadaptasi dari novelnya berhasil menarik hingga jutaan penonton. Cerita tentang isu poligami dengan balutan kisah drama pengorbanan wanita ini juga bahkan dibuat dalam dua sesi.
Dalam sebuah talkshow Asma menceritakan awal mula dirinya menjadi seorang penulis. Ibu dua anak ini bercerita bahwa menulis adalah hobi bagi dirinya. Namun sebelum Asma terjun lebih dalam dengan karya tulis cerpen dan bukunya, ia terlebih dahulu telah menjadi pengarang lagu.
“Papa itu pengarang lagu jadi aku lebih dulu nulis lagu dibandingkan dengan nulis buku atau cerita. Antara lain beberapa lagu Asma ada di lagu soundtrack Surga Yang Tak Dirindukan yang dinyanyikan Raline terus lagu di Assalamualaikum Beijing lagu keduanya itu juga dari ciptaan Asma,” ungkap Asma.
Dalam perjalanan karya tulisannya, Asma remaja pernah mengalami patah semangat. Penulis dan juga traveler ini mengungkapkan ia mulai menulis cerpen ketika duduk di bangku SMP, namun karena sering dicela dan diejek, semangat nulisnya pun hampir padam. Seiring berjalannya waktu, Asma mulai serius untuk menulis dan cerpennya itu dimuat oleh salah satu majalah. Tulisan cerpen pertamanya itu mengisahkan tentang kerinduan Asma tentang keponakannya yang telah berada di sisi Tuhan YME.
“Waktu itu kuliah tingkat satu. Ada anaknya teman keponakan yang usianya setahun sebelas hari meninggal. Itu anak imut yang jadi kesayangan kita semua dan aku kangen sama dia. Aku buat semacam tulisan judulnya Surat Buat Asadullah di Surga,” kata Asma.
Semenjak cerpen ‘Surat Buat Asadullah di Surga’ dimuat oleh majalah Anida, Asma terus menjalankan hobi menulisnya. Meski telah berkarya dengan 53 buku, penulis novel nonfiksi ‘Catatan Hati Seorang Istri’ ini mengakui dirinya sebagai penulis yang tidak percaya diri.
“Setelah itu Asma terus nulis-nulis jadi cerita bersambung dimuat. Ada beberapa kali lomba nulis cerpen menang sampai tingkat nasional. Sempat juga diomelinn sama suami kenapa sih nggak percaya diri. Terus teman-teman juga pada bilang kamukan udah menang lomba ini, dapat penghargaan terbaik tapi masih aja nggak percaya diri,” kata Asma.
Namun Asma memutuskan untu tetap memelihara rasa tidak percaya dirinya. Menurut wanita keturunan Aceh Tionghoa ini rasa tak percaya diri dapat mendorong dirinya untuk tetap menulis,terus berkarya dan berproses menjadi lebih baik.
“Bagus aku tidak punya rasa percaya diri yang membuat aku terus berproses mau membaca karya orang, nggak marah kalau dikritik, bisa tahu kalau di atas langit masih ada langit,” ujarnya.
Sampai kemudian pada tahun 2000 Asma Nadia meluncurkan buku pertamanya yang berjudul Lentera Kehidupan. Buku itu menceritakan kisah luar biasa dari orang-orang biasa. Namun Asma tak merasa bangga dengan bukunya itu karena kecewa dengan pihak penerbit yang mendesain covernya.
“Aku nggak terlalu ngakuin buku pertama itu karena bukunya jelek banget. Nah cuma bukunya itu covernya jelek, kemudian kertasnya itu kayak kertas koran yang lusuh-selusuhnya. Buku yang kalau kamu dikasih di kereta dan kamu nggak bangga gitu megangnya,” jelas istri Isa Alamsyah yang juga seorang penulis.
Sejak saat itu, Asma mulai memiliki ketertarikan pada bidang layout dan desain. Kemudian pada 2009, penulis buku ‘Emak Ingin Naik Haji’ ini merintis penerbitan dengan nama Asma Nadia Publishing House. Tak hanya sekadar penerbit biasa, Asma ingin setiap bukunya itu bukan hanya sekadar sebagai hiburan dan bacaan saja tetapi juga dapat memberikan kontribusi terhadap tercapainya mimpi seseorang.
“Penerbitannya kecil sih setahun itu kita terbit nggak nyampe sepuluh buku cuma empat atau lima,setiap buku menurut asma itu harus inspiring harus menggerakkan harus mengajak ke perubahan walaupun dengan cara yang sangat sederhana walaupun kita gak mikir dan gak punya investor lain buku itu harus banyak tapi setiap buku itu harus bermakna,” tutupnya.