The Whisper

Cover-bukuas-bca82989

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
Namaku Jackendra Putra Dirgantara, orang-orang biasa memanggilku Jack. Aku terlahir dengan sebuah keistimewaan yang Tuhan berikan kepadaku, yaitu aku bisa melihat dan mendengar sesuatu yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang normal. Jika kalian masih bingung dengan maksudku, biar aku perjelas. Aku bisa melihat hantu dan berkomunikasi dengan hantu, mungkin itu adalah hal yang bisa dibilang aneh atau bahkan menyeramkan. Namun, percayalah jika kalian sudah biasa mengalaminya hal ini akan terasa sangat menyenangkan. Karena keistimewaanku ini, banyak Roh penasaran mendatangiku dan meminta tolong kepadaku, untuk menyelesaikan masalah semasa hidup mereka yang belum selesai. Dan itu adalah hal yang sangat melelahkan, dan bisa dibilang cukup susah untuk diselesaikan. Namun, selagi aku mampu, aku pasti akan membantu mereka. Kalian mungkin berpikir, wah, sepertinya enak, ya, punya sebuah keistimewaan seperti Jack. Jika aku boleh jujur sebenarnya mempunyai keistimewaan seperti ini ada enak dan tidak enaknya juga. Enak bisa membantu orang-orang dan tidak enaknya aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak karena suara-suara yang selalu aku dengar, entah itu suara jeritan, rintihan, tangisan, tertawa, dan masih banyak lagi. Dan itu cukup membuatku tersiksa. Aku mungkin saja bisa mengeluh, tetapi aku harus tetap bersyukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan kepadaku. Dan aku harus tetap menjaganya sampai akhir hidupku. Sudah banyak hal yang aku lalui di dalam hidupku. Baik yang baik maupun buruk. Dan aku akan menceritakannya kepada kalian semua. Inilah kisahku. Kisah Jackendra Putra Dirgantara. ***

Namaku Jackendra Putra Dirgantara, orang-orang biasa memanggilku Jack. Aku terlahir dengan sebuah keistimewaan yang Tuhan berikan kepadaku, yaitu aku bisa melihat dan mendengar sesuatu yang tidak bisa dilihat dan didengar oleh orang normal. Jika kalian masih bingung dengan maksudku, biar aku perjelas. Aku bisa melihat hantu dan berkomunikasi dengan hantu, mungkin itu adalah hal yang bisa dibilang aneh atau bahkan menyeramkan. Namun, percayalah jika kalian sudah biasa mengalaminya hal ini akan terasa sangat menyenangkan.

Karena keistimewaanku ini, banyak Roh penasaran mendatangiku dan meminta tolong kepadaku, untuk menyelesaikan masalah semasa hidup mereka yang belum selesai. Dan itu adalah hal yang sangat melelahkan, dan bisa dibilang cukup susah untuk diselesaikan. Namun, selagi aku mampu, aku pasti akan membantu mereka.

 Kalian mungkin berpikir, wah, sepertinya enak, ya,  punya sebuah keistimewaan seperti Jack. Jika aku boleh jujur sebenarnya mempunyai keistimewaan seperti ini ada enak dan tidak enaknya juga. Enak bisa membantu orang-orang dan tidak enaknya aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak karena suara-suara yang selalu aku dengar, entah itu suara jeritan, rintihan, tangisan, tertawa, dan  masih banyak lagi. Dan itu cukup membuatku tersiksa.

Aku mungkin saja bisa mengeluh, tetapi aku harus tetap bersyukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan kepadaku. Dan aku harus tetap menjaganya sampai akhir hidupku.

Sudah banyak hal yang aku lalui di dalam hidupku. Baik yang baik maupun buruk. Dan aku akan menceritakannya kepada kalian semua.

Inilah kisahku. Kisah Jackendra Putra Dirgantara.

***

“Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku rakyatku semuanya. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia raya. Indonesia raya merdeka, merdeka….” Lantunan dari lagu kebangsaan

Indonesia mengalun dengan indah dari mulut sahabatku, Jovania. Dan karena ulahnya itu, aku jadi terbangun dari tidurku yang tidak pernah nyenyak.

Aku buka mataku perlahan-lahan, dan sekarang aku sudah bisa melihat sosok Jova yang cantik tetapi menyebalkan sedang berdiri di samping tempat tidurku dengan baju seragam dan tas ranselnya.

“Ah, Jova. Kamu mengganggu tidurku saja. Aku tahu suara kamu bagus, tapi haruskah kamu menyanyikan lagu kebangsaan setiap kali membangunkanku?” omelku kepadanya sambil mendudukkan posisi tubuhku di atas tempat tidurku. Mencoba untuk mengumpulkan nyawaku kembali.

“Terima kasih atas pujianya, Jack,” jawab dia sambil tersenyum. “Masih mending aku menyanyikan lagu itu daripada aku menyanyikan lagu mengheningkan cipta. Lagipula kamu akan susah bangun jika aku tidak menyanyikan lagu itu untukmu, Jack,” lanjutnya.

Iya, Jova memang mempunyai tugas harian yang sangat penting. Yaitu harus selalu membangunkanku di pagi hari, karena jika tidak maka aku akan kesiangan dan terlambat berangkat ke sekolah. Jova sudah seperti jam waker untukku, walaupun kadang dia menyebalkan tetapi dia sangat perhatian kepadaku, dan aku sangat menyayangi sahabatku yang satu ini. Jovania Alika Skylar, itu nama lengkapnya.

“Iya, kamu benar.”

“Jam 6 tepat. Saatnya kamu mandi, Jack,” ucapnya lagi setelah melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“Aku sedang sakit, Jova,” jawabku berbohong karena aku benar-benar sangat malas untuk berangkat ke sekolah hari ini.

“Kamu tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit, Jack. Aku tahu kamu sedang membohongiku. Cepatlah mandi, aku tunggu kamu di ruang makan, ya!” Sial kenapa dia selalu tahu di saat aku sedang berbohong ataupun tidak kepadanya.

Dia mulai berjalan ke arah pintu, aku memperhatikan seragam yang dia pakai.

“Jova?” panggilku, pun dia langsung menengok ke arahku.

“Iya, Jack? Kenapa?”tanyanya.

“Aku kan sering bilang sama kamu kalo pake rok tuh, jangan di atas lutut. Aku tidak mau jika kamu menjadi pusat perhatian para lelaki,” jawabku dengan penuh penekanan. Karena aku sangat tidak suka jika Jova memakai pakaiaan yang terlalu sexy.

“Maaf, Jack. Semua rokku kotor dan yang bersih hanya ini. Jadi mau tidak mau aku pakai saja ini.”

“Makanya pulang sekolah tuh seragamnya langsung dicuci jangan dibiarin sampai stoknya habis.”

“Iya, Jack. Kan aku sudah minta maaf tadi.”

“Iya aku maafin. Sudah sana keluar! Aku mau mandi dulu!”

“Baiklah. Aku tunggu di bawah ya, Jack!” Jova sudah keluar dari kamarku sekarang.

Dengan rasa yang malas luar biasa aku berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Setelah mandi dan berpakaian dengan rapi. Aku membawa jenjangku untuk turun ke bawah, tepatnya ke ruang makan. Di sana aku melihat Ayah, Bunda, Jovarel, dan juga Jovania sedang menyantap sarapan pagi yang dibuat oleh Bunda. Oh, Iya. Jovarel adalah Adik bungsuku. Si manja, cerewet, jahil, pokoknya dia tuh, nyebelin. Namun, dia bisa dibilang cukup pandai mengetahui dia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Usianya masih 12 tahun, dia masih kelas 1 SMP. Karena namanya hampir mirip dengan Jovania, aku lebih suka memanggilnya dengan Varel. Ya, agar tidak tertukar saja dengan Jovania. Pun aku langsung mendaratkan pantatku di kursi yang kosong tepat di samping Jovania.

“Jadi, apakah Jova menyanyikan lagu yang berbeda pagi ini, Sayang?” tanya Bunda yang diakhiri dengan senyuman hangatnya sambil menuangkan satu gelas susu untuk Varel.

“Tidak, Bun. Sepertinya lagu itu memang sudah menjadi andalan Jova untuk membangunkan Jack,” jawabku sambil terkekeh kecil.

Jova yang berada di sampingku pun langsung angkat bicara, “Habisnya kamu tidurnya kayak kebo, sih. Ya, menurutku tidak ada lagu lain untuk membangunkanmu selain lagu itu.”

Aku tidak menggubris ucapannya itu. Aku hanya fokus mengunyah makananku.

“Lihatlah Kak Jack! Dia seolah-olah tidak mendengarkan ucapan Kak Jova. Padahal jelas-jelas dia tidak tuli,” ucap Varel tiba-tiba.

Jova tertawa di buatnya. “Haha! Biarkan saja Rel. Mungkin dia sedang kelaparan. Lihat saja suapannya itu, sudah seperti orang yang tidak makan selama dua hari saja.”

“Sttt! Tidak baik tertawa sambil makan. Habiskan dulu makanannya, Sayang!” Wkwkwk rasain, makanya jangan suka menggodaku. Jadi kena semprot Bunda, kan.

“Iya, Bun, maaf,” jawab Jova dengan nada tidak enak.

Aku dan Jova memang sudah bersahabat sejak TK karena rumah kita bertetangga. Orang tua Jova merupakan sahabat Ayah dan Bunda, jadi otomatis aku dan Jova juga bersahabat. Karena sudah kenal lama, maka dari itu Jova memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan Ayah dan juga Bunda. Begitupun sebaliknya, aku juga memanggil Papa dan Mama kepada orang tua Jova.

“Jack?” tiba-tiba Ayah membuka suaranya.

“Iya, Ayah?” jawabku setelah menelan makananku.

Aku lihat wajah Ayah sangat serius. Ada apa ini?

“Apa kamu tidak ada keinginan untuk membawa mobil ke sekolah? Kamu juga sudah besar, kan? Sudah cukup umur untuk membawa kendaraan sendiri.” Ayah mulai membuka pembicaraan pagi ini.

Jujur saja aku lebih suka berangkat dengan jalan kaki, karena aku bisa menghirup udara segar di pagi hari dengan bebas. Lagipula jarak antara rumahku dan sekolah tidak terlalu jauh. Mungkin kurang dari 2 KM.

Ayahku adalah pemilik perusahaan furniture di Bandung, sementara Bunda mempunyai sebuah butik yang benar-benar dia rintis dari nol sampai sukses seperti sekarang ini. Aku sangat bangga mempunyai orang tua seperti Ayah dan Bunda.

Dengan hati-hati dan tenang, aku menjawab pertanyaan dari Ayah, “Tidak, Ayah. Terima kasih. Jack lebih suka berjalan kaki saja, lagipula jarak sekolah dari sini tidak terlalu jauh, kan?”

“Tapi kamu pasti merasa capek kan, Sayang?” tanya Bunda.

“Tidak kok, Bun,” jawabku mantap.

“Iya, mungkin kamu memang tidak merasa capek. Namun, bagaimana dengan Jova?” tanya Ayah lagi.

“Tidak, Yah. Selagi Jova jalan bersama Jack, Jova tidak akan merasa lelah,” bukan aku yang menjawab melainkan Jova. Ish, apa itu salah satu gombalannya untukku? Jika, iya. Itu adalah gombalan yang sangat payah.

“Baiklah. Tapi, jika kamu berubah pikiran segera beritahu ayah, Yah. Ayah akan langsung membelikan mobil untukmu,” lanjut Ayah.

“Baik, Ayah!”

“Sudah jam setengah 7, Jack. Kita harus berangkat!” ajak Jova yang sudah berdiri dari kursinya.

“Iya, Ayo. Ayah, Bunda. Kita berangkat dulu, yah.” Aku dan Jova mencium tangan Ayah dan Bunda.

“Hati-hati di jalannya, ya!” ucap Bunda.

“Iya, Bun. Assalamualaikum!” ucapku dan Jova bersamaan sambil berlalu dari hadapan mereka semua.

Waalaikumsalam!”

Di perjalanan menuju sekolah, Jova tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Dan dia melakukan hal ini hampir setiap hari.

“Jova, kenapa kamu selalu menggenggam tanganku setiap berangkat sekolah?”

“Jalan kamu tuh aneh, Jack. Makanya aku menggenggam tanganmu seperti ini. Agar kamu tidak terjatuh.”

“Aneh bagaimana sih, Jova? Aku berjalan dengan dua kaki, sama sepertimu. Jadi anehnya di mana?”

“Ah, susah kalo dijelasin mah. Yang jelas jalan kamu tuh aneh. Jadi jangan bertanya lagi, oke. Kita harus mempercepat langkah kita jika tidak ingin terlambat.”

Jova mempercepat langkahnya, otomatis aku juga mengikuti langkahnya itu. Saat hampir sampai di sekolah, aku dan Jova berpapasan dengan seorang Bapak kira-kira seumuran dengan Ayah berjalan dengan terburu-buru sambil membawa koper hitam. Tiba-tiba aku langsung mendapatkan penglihatan buruk tentang Bapak itu. Segera aku memperingatinya.

“Maaf, Pak. Sebaiknya Bapak lewat jalan sana saja. Karena jika Bapak jalan sini maka Bapak akan di rampok. Isi koper ini adalah uang kan, Pak?” ucapku kepada Bapak itu.

Dengan tatapan sinis dan tidak suka Bapak itu menjawab dengan sewot. “Heh, bocah kecil. Jangan sok tahu ya, kamu. Sudah minggir! Saya sedang buru-buru.”

Bapak itu pun langsung berjalan kembali.

“Kenapa Bapak itu marah? Niat aku kan, baik.”

“Sudahlah, Jack. Orang sombong kayak gitu mah biarin aja. Setidaknya kamu sudah memperingatinya,” ucap Jova.

Aku hanya mengangguk. Baru akan melanjutkan perjalanan tiba-tiba….

“Rampok! Tolong! Ada rampok!” teriak seseorang tepat di belakangku dan Jova. Ternyata Bapak yang memarahiku barusan yang berteriak meminta tolong. Dan sampai detik ini penglihatanku tidak pernah salah.

“Tuh, kan. Salah sendiri sih, gak mau dengerin ucapan sahabatku yang tampan ini. Kalo udah gini dia sendiri kan yang rugi,” kata Jova dengan nada yang kesal.

“Mungkin emang udah takdir Bapak itu di rampok di pagi hari yang cerah ini. Mendingan kita lanjut jalan lagi!”

“Ayo, Jack.”

-Sekolah-

Aku dan Jova memasuki kelas yang sama yaitu 12 IPA 1. Aku juga duduk satu meja dengannya.

“Ada pr ngga, Jack?” tanya Jova di sampingku yang sedang rempong meraut pensilnya.

“Seingatku sih, ngga ada.” jawabku dengan nada yang santai.

“Syukurlah!” Jova bernafas lega. “Soalnya kalo ada, aku belum mengerjakannya,” lanjutnya.

“Kamu kan, emang jarang mengerjakan pr. Kamu lebih suka menyalin jawabanku!”

“Hehe! Berbagi itu kan indah, Jack.” Jova malah cengengesan.

“Terserah,” ucapku tidak peduli.

Tidak lama setelah aku berbicara seperti itu Ms. Sharen masuk ke dalam kelas. Karena pelajaran pertama di kelasku adalah bahasa Inggris.

Good morning, Student!” sapa Ms. Sharen.

Good morning, Miss!” jawab semua penghuni kelas kompak.

“Baiklah, kita lanjutkan materi minggu lalu. Tolong kalian catat dulu halaman 67. Jika sudah, Saya akan menjelaskan dan memberi contohnya!”

“Baik. Miss!”

Saat sedang mencatat tugas dari Ms. Sharen aku mendengar sebuah bisikan di telingaku.

Tolong aku!

Kira-kira itu yang aku dengar. Namun, aku tidak tahu itu suara perempuan atau laki-laki karena bisikannya begitu pelan.

Jujur saja suara bisikan itu mengganggu konsentrasiku.

“Jack, are you okay?” tegur Ms. Sharen tiba-tiba. Sial, ternyata hal itu membuatku melamun dan ketahuan oleh Ms. Sharen.

I’m okay, Miss,” jawabku sambil lanjut menulis.

Siapa yang berbisik kepadaku itu? Apa yang harus aku lakukan untuk membantu dia? Lalu kenapa aku tidak bisa melihat wujudnya? Aku benar-benar penasaran dengan roh yang satu ini. Karena biasanya roh-roh yang mendatangiku selalu langsung menampakkan wujudnya. Namun ini tidak.

Aku yakin, pasti dia akan datang lagi kepadaku.

Pelajaran English berjalan dengan lancar. Bel istirahat pun sudah menggema di penjuru sekolah. Semua penghuni kelas segera berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Untuk pergi ke lapangan olahraga, ke kantin, ke perpustakaan, atau hanya sekedar menghirup udara segar di luar kelas.

Saat hampir semua orang yang ada di dalam kelas keluar. Aku masih setia duduk di mejaku. Rasanya sangat malas sekali untuk melangkahkan kakiku, walaupun cacing yang ada di dalam perutku sudah berteriak meminta makan kepadaku. Namun, rasa malas yang datang mendadak ini sudah menguasai tubuhku sehingga aku memutuskan untuk tetap berada di dalam kelas sambil membaca novel yang sengaja selalu aku bawa dari rumah untuk menghilangkan rasa bosanku saat berada di sekolah. Oke. Aku akan membaca novel sampai jam istirahat selesai. 

Jova yang sudah selesai merapikan bukunya pun langsung mengajakku untuk ke kantin.

“Jack, ke kantin, yuk! Perutku sudah lapar sekali, mungkin cacing yang ada di dalam perutku ini sedang memukul drum sambil berteriak minta makan kepadaku sekarang.”

Aku tersenyum mendengarkan pernyataannya yang selalu hiperbola tanpa mengalihkan pandanganku dari novel yang sedang aku baca.  dia memang selalu berlebihan terhadap hal apapun. Dia juga terkadang bersikap sangat manja kepadaku, mungkin karena dia merupakan anak tunggal. Jadi, ya, begitu. Apapun keinginan yang dia minta, Pasti kedua orang tuanya selalu menurutinya hanya untuk melihat senyuman cerah di wajah Putri kesayangan mereka ini.

“Haha! Bisakah kamu tidak lebay sehari saja, Va? Kalo kamu benar-benar lapar, kamu ke kantinnya sendiri saja, ya. Soalnya aku sedang malas melangkahkan kakiku ke mana-mana,” jawabku yang masih anteng dengan novelku.

Walaupun aku tidak melihat wajahnya, tapi aku sangat yakin dia sedang menekuk wajahnya, dan pasti sebentar lagi dia akan mengomel kepadaku dan memaksaku untuk menemaninya ke kantin. Lihat saja! Dalam hitungan ketiga pasti dia akan melakukannya satu…..dua…ti…

“Ish, Jack. Kamu kok males terus, sih? Kamu sudah seperti seorang Ibu yang sedang hamil besar saja, malas ke mana-mana. Ayolah! Temani aku ke kantin!”

Nah, benar kan tebakanku yang tadi. Bahkan sebelum selesai menghitung pun dia sudah meletup saja.

Dengan wajah yang pura-pura tidak peduli aku menjawab, “jangan mengomeliku seperti itu, Va. Kamu seharusnya mengomeli Si Malas, suruh siapa dia menghampiriku tiba-tiba sehingga aku tidak ingin melangkahkan kakiku sama sekali, jadi jangan salahkan aku.”

Aku menahan tawaku sekarang, dan aku rasa Jova akan lebih meletup lagi daripada yang sebelumnya atau mungkin akan meledak. Mari kita saksikan sesaat lagi.

“Jangan main-main, Jack! Aku sedang serius, jadi tolong hargailah sedikit!” pintanya, ternyata dia tidak meledak melainkan mereda. Kesal dugaanku kali ini salah.

“Aku juga serius. Kamu kira aku sedang main-main?” Aku tidak mau kalah. Sebenarnya aku sedang menggodanya saja, sih.

“Haruskah aku menggendong tubuhmu yang jangkung itu ke agar kamu mau menemaniku ke kantin?”

Aku tengokan kepalaku ke arah Jova yang sedang berdiri di sampingku sambil mengerucutkan bibirnya. Dia terlihat sangat bodoh dengan wajah seperti itu tetapi tidak menghilangkan kesan cantik dan mempesona di wajahnya. Tidak tega melihat sahabatku ini memohon terus kepadaku, akhirnya aku pun menyerah dan mengiyakan ajakannya itu.

“Aku tidak ingin wajahmu mengkerut lebih cepat karena kamu selalu mengerucutkan bibirmu seperti itu. Jadi, ayo kita ke kantin!”

Ucapku yang langsung disambut oleh senyuman  manis di wajahnya. “You’re the best, Jack.”

Dengan semangat dia menarik tanganku menuju kantin, apa sahabatku ini memang sudah sangat lapar sekali?

Sesampainya di kantin, Jova langsung memesan makanannya. Sementara aku,  menunggunya di salah satu meja kosong yang ada di sana sambil membaca novelku. Ya, aku membawa novelku ke kantin.

Saat sedang asik membaca novel, bisikan itu terdengar lagi di telingaku.

Tolong aku! Aku mohon! Aku tahu, kamu bisa menolongku. Aku bisa merasakannya!

Kali ini bisikannya lebih panjang dan lebih keras daripada yang sebelumnya. Dari suaranya aku sangat yakin, jika sosok ini adalah seorang perempuan. Namun lagi-lagi sosok ini tidak menampakkan wujudnya, aku hanya bisa mendengar suaranya saja.

“Iya. Selagi aku bisa, pasti aku akan membantumu. Namun, pertama-tama kamu harus menunjukkan dirimu terlebih dahulu! Agar aku bisa tahu wajahmu,” pintaku setelah menutup novel yang sedang aku baca tadi.

Terima kasih. Kamu sungguh baik!

Bukannya menunjukkan wujudnya. Sosok ini malah menghilang setelah berkata seperti itu. Aku benar-benar sangat penasaran dengan sosok misterius ini. Mengapa dia tidak ingin menunjukkan wujudnya di hadapanku. Apa karena wajahnya hancur? Sehingga jika aku melihat wajahnya aku akan merasa takut dan tidak ingin membantunya? Padahal aku sudah sangat terbiasa melihat sosok-sosok yang menyeramkan. Jadi aku tidak akan takut dan tidak akan pernah merasa takut.

“Tadi kamu bicara dengan siapa, Jack?” tanya Jova yang sudah datang dengan dua mangkuk bakso di tangannya.

Aku mengambil satu mangkuk bakso yang ada di tangannya itu mengaduk-aduknya terlebih dahulu sebelum akhirnya aku masukkan ke dalam mulutku yang sexy ini. Haha! Kenapa aku juga jadi ikut-ikutan lebay kayak Jova, ya?  Heran.

“Tadi ada sosok misterius yang datang dan meminta tolong kepadaku,” aku menjawab pertanyaan dari Jova setelah menelan suapan pertamaku.

“Sosok misterius?”

“Iya!”

“Kok kamu bisa menyebutnya sosok misterius? Bukannya kamu selalu melihat wujud mereka, ya?” dengan wajah penuh keheranan Jova bertanya seperti itu.

“Masalahnya sosok ini tidak menampakkan wujudnya kepadaku, aku hanya bisa mendengar suaranya saja di telingaku. Tapi, dari suaranya aku sangat yakin jika sosok ini adalah seorang perempuan. Namun karena aku belum bisa melihat wajahnya makanya aku menyebutnya dengan sosok misterius.”

“Lho, kok aneh, ya. Tidak biasanya sosok yang menemuimu tidak menampakkan wujud aslinya di hadapanmu. Bukankah akan lebih enak jika kamu mengenali wajahnya. Sehingga kamu akan dengan mudah membantu menyelesaikan urusan semasa hidupnya yang belum selesai.”

“Itu dia, Va. Aku juga heran. Dia juga tidak berkata dengan jelas apa yang harus aku lakukan untuk membantunya,” lanjutku sambil melanjutkan memakan baksoku yang sudah mulai dingin karena Jova mengajakku untuk mengobrol.

“Mungkin sosok ini sedang mengajakmu bermain teka-teki, Jack.”

“Mungkin saja. Maka dari itu aku sangat tertarik untuk membantu sosok misterius ini. Aku sangat yakin nanti dia akan mendatangiku lagi dan memberikanku klu yang lain.”

“Iya, Jack. Pokoknya kamu harus membantunya!”

“Iya, Va. Aku pasti akan membantunya. Dan berhentilah bicara! Habiskan baksomu. Kata Bunda tidak baik berbicara ketika sedang makan. Nanti kamu bisa tersedak,” ucapku kepadanya.

“Heleh! Bilang saja kalo kamu lapar juga,” cibirnya lalu lanjut makan.

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab ucapannya yang terakhir itu.

“Hai! Bolehkah aku bergabung bersama kalian?” ucap Zakia yang tiba-tiba datang dengan satu mangkuk mie ayam di tangan kanannya dan satu gelas teh hangat di tangan kirinya. Dia langsung duduk tepat di sampingku.

Jova memandang Zakia dengan tatapan yang sulit dideskripsikan dia juga tersenyum dengan aneh ke arah Zakia.

Zakia Romansyah namanya. Salah satu most wanted di sekolah ini karena kecantikannya, dia juga merupakan anak dari pemilik yayasan sekolah ini. Namun sayang, hati dan sikapnya tidak secantik parasnya. Mungkin karena dia merupakan anak dari pemilik yayasan sekolah ini, dia selalu bersikap seenaknya kepada siswa-siswa yang lain, dia juga suka memerintah kepada orang lain. Pernah ada satu kejadian, ada Adik kelas yang tidak sengaja menjatuhkan es krimnya di atas sepatu baru milik Zakia. Zakia sangat marah dan menghukum Adik itu, dia menyuruh Adik itu berlari mengelilingi lapangan

olahraga dengan wajah yang dicemongi oleh  es krim, Zakia benar-benar mempermalukan Adik itu. Padahal Adik itu sudah meminta maaf kepadanya. Dia memang keterlauan, tetapi anehnya masih banyak siswa yang menggilainya dan ingin menjadikan dia sebagai pacar mereka. Tapi tidak denganku, aku sama sekali tidak tertarik kepadanya.

Dia satu angkatan denganku dan Jova hanya saja dia berada di kelas 12 IPS 1. Dia selalu mendekatiku, jujur aku merasa risih dengan hal itu. Jova bilang Zakia menyukaiku, tetapi cinta tidak bisa dipaksakan, kan? Jadi aku hanya menganggapnya sebagai teman saja, tidak lebih.

“Bakso itu terlihat sangat enak. Bolehkah aku mencobanya?” tanya Zakia sambil menatap mangkuk baksoku.

Jova menatapku. Seperti sedang memberi isyarat. Jangan, Jack, dia hanya berusaha untuk mendapatkan perhatianmu saja. Tapi aku bukan orang yang seperti itu, tidak mencintai bukan berarti harus membenci, kan? 

“Tentu,” jawabku mencoba untuk tersenyum ke arahnya. Walaupun terasa sangat susah untuk melakukannya.

“Terima kasih, suapin dong!” ujarnya dengan nada manja. Ingin rasanya aku berkata, bisakah kau pergi dari sini? Kau membuat nafsu makanku hilang! Sayangnya tidak bisa.

“Haruskah?” aku menaikkan satu alisku yang sudah seperti ulat bulu itu.

“Iya,” jawabnya mantap.

“Kau punya dua tangan yang mulus dan masih utuh. Kenapa kamu menyuruh Jack untuk menyuapimu? Bilang saja kamu ingin mencari perhatian Jack saja,” cibir Jova yang menatap Zakia dengan tatapan kesal.

“Aku meminta Jack bukan kamu. Kenapa jadi kamu yang sewot?” Zakia mulai terpancing emosi.

Guys, please. Stop it! Haruskah kalian mendebatkan hal yang tidak penting di sini?” aku mulai melerai sebelum terjadi perang dunia ketiga di antara mereka. “Aku rasa apa yang dikatakan Jova itu ada benarnya. Rasanya tidak enak saja menyuapimu di kantin seperti ini. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian,” lanjutku.

Jova tersenyum penuh kemenangan sedangkan Zakia mengembuskan nafas kesal sambil memutar kedua bola matanya.

 

“Tidak jadi. Aku makan mie ayam saja,” ucap Zakia yang mulai memakan mie ayamnya.

“Itu lebih baik,” lanjut Jova yang diakhiri dengan cengirannya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat tingkah laku mereka yang selalu berdebat di saat bertemu.

“Oh, iya, Jack, lusa aku ada ulangan harian matematika, bisakah kamu membantuku untuk belajar? Aku tahu kamu sangat pandai dalam pelajaran sialan itu,” Zakia membuka pembicaraan lagi.

Aku berpikir sejenak. Haruskah aku membantunya belajar? Aku tidak yakin jika dia benar-benar ingin belajar bersamaku. Kalian pasti tahu kan maksudku mengarah ke mana. Tapi hantu saja aku tolong masa dia tidak. Apa salahnya jika aku juga membantunya.

“Boleh, kapan? Tapi aku ajak Jova ngga papa, kan?”

Zakia tidak buru-buru menjawab sepertinya dia merasa keberatan jika aku mengajak Jova.

“Aku tidak akan pergi jika Jova tidak ikut,” ucapku lagi. Jova tersenyum. Zakia terlihat bersiap-siap untuk membuka suaranya.

“Iya. Kau boleh ajak dia,” jawabnya acuh sambil menunjuk Jova.

“Aku tidak suka ditunjuk-tunjuk seperti itu, ya,” protes Jova.

“Memangnya aku peduli?” jawab Zakia bodo amat.

“Jadi jam berapa kita akan belajar bersamanya?” tanyaku sambil mengalihkan pembicaraan sebelum Zakia dan Jova berdebat lagi.

“Besok,  jam 3 setelah pulang sekolah. Aku tunggu kalian di rumah.”

“Oke.”

Tidak ada percakapan yang menyenangkan di antara kita bertiga sampai bel masuk berbunyi. Menandakan waktu istirahat telah selesai.

“Sudah bel, Jack. Ayo kita ke kelas. Ingat kita ada kuis sejarah setelah jam istirahat,” ajak Jova yang langsung menarik tanganku menuju kelas. Meninggalkan Zakia yang terlihat seperti tidak suka saat Jova memegang tanganku.

Aku tersenyum ke arahnya. “Duluan, ya, Kia. See you tomorrow!”

 Dia juga tersenyum. “Iya, Jack. See you!”

“Harusnya kamu menolak ajakannya itu, Jack,” ucap Jova di perjalanan menuju ke kelas.

“Lho, kenapa? Memangnya salah jika aku membantunya?”

“Ngga papa, sih. Aku hanya tidak ingin kamu dekat-dekat dengan Mak Lampir itu,” jawab Jova.

Mak Lampir adalah julukan yang Jova berikan kepada Zakia. Aku tidak tahu sebabnya kenapa. Mungkin karena sifat Zakia yang selalu semena-mena. Sahabatku ini memang ada-ada saja.

“Hmmm! Kamu cemburu, ya?” aku menggoda sahabatku ini.

Kulihat pipinya memerah. “Ish. Ngga. Untuk apa aku cemburu sama kamu?”

“Ya, Tuhan, kamu terlihat cemburu sekali,” cibirku.

“Jack, hentikan! Kau sungguh menyebalkan!” Dia langsung melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, dia juga meninggalkanku.

“Berarti jawabannya iya, ya?” teriakku sambil berusaha untuk menyamai langkahnya.

***

Pulang sekolah aku dan Jova selalu melewati jalan yang sama saat kita berangkat ke sekolah. Entah kenapa, dari tadi Jova diam terus. Apa dia masih marah kepadaku soal yang tadi, ya?

“Jova?” Aku memberanikan diri untuk membuka suara.

“Hmmm?” jawabnya sambil terus fokus ke depan, tidak melirik ke arahku sama sekali.

“Kamu kenapa? Kok, mendadak membisu? Apa kamu marah sama aku gara-gara yang tadi itu, ya?”

Dia menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan dariku itu, “Tidak, aku tidak marah. Kenapa aku harus marah? Aku hanya sedang malas berbicara saja.”

“Aku tahu kamu bohong, Jova. Jika kamu tidak suka aku membantu Zakia belajar matematika, besok aku tidak akan pergi,” ucapku lagi.

“Kau benar, Jack. Aku memang tidak suka kamu dekat-dekat dengan Zakia, tapi ini beda lagi ceritanya. Dia minta tolong kepadamu dan kamu harus menolongnya. Walaupun sejujurnya aku tidak yakin jika dia benar-benar ingin belajar bersamamu. Ya, kau tahu maksudku mengarah ke mana kan, Jack?”

“Iya, Jova. Aku juga merasa begitu, tapi mudah-mudahan saja dugaan kita itu salah. Eh, tapi kamu beneran ngga marah sama aku, kan?”

“Mudah-mudahan saja begitu. Tidak Jack, selama dia tidak genit kepadamu,” Jova tersenyum di akhir perkataannya.

“Jika dia genit kepadaku sekalipun aku tidak akan memperdulikannya.  Karena aku tidak ingin melihatmu cemburu, hehe!” candaku.

Jova memukul pelan tanganku. “Ge er banget kamu jadi orang, Jack.”

“Biarin ge er juga yang penting aku tampan. Wlee!”

“Bodo amat, Jack, bodo!”

“Haha!” Aku hanya bisa tertawa menanggapinya.

“Eh, Jack, Adik kecil itu kenapa, ya? Kok, sepertinya dia sedang ketakutan,” ucap Jova tiba-tiba sambil menunjuk seorang anak lelaki kira-kira berumur 7 atau 8 tahun-an sedang berdiri di bawah pohon mangga.

“Tidak tahu, Va. Lebih baik kita hampiri saja Adik itu!”

“Ayo, Jack!”

Aku dan Jova akhirnya menghampiri Adik kecil itu.

“Adek kenapa? Sepertinya kamu sedang ketakutan. Apa ada yang bisa Kakak bantu?”   tanyaku sambil mengusap bahu kecilnya. Aku melihat Adik ini disuruh untuk membeli tepung terigu dan telur oleh ibunya, tapi di saat akan kembali pulang Adik ini tidak sengaja jatuh sehingga tepung  terigunya tumpah dan telurnya pun pecah. Mungkin ini yang membuat Adik ini takut, sekarang aku paham.

“Ini, Kak,” jawabnya dengan suara bergetar sambil menunjukkan kantung plastik yang berisi telur dan tepung terigu tadi kepadaku.

“Iya. Kakak paham. Kamu takut dimarahi ibu kamu gara-gara ini, ya?” ucapku lagi, dia hanya mengangguk.

“Kamu beli lagi saja, Dek, semuanya jadi berapa?” tanya Jova.

“Tiga puluh lima ribu, Kak.”

Mendengar itu aku pun langsung merogoh saku baju seragamku untuk mengambil uangku yang masih tersisa.

“Yang ini kamu buang saja, ya. Kamu beli lagi yang baru supaya Ibu kamu tidak marah. Dan hati-hati jalannya jangan sampai terjatuh lagi.” Aku memberikan selembar uang lima puluh ribu kepadanya. “Kembaliannya untuk kamu saja, lumayan buat ditabung,” lanjutku.

Adik kecil itu tersenyum. “Terima kasih, Kak. Kakak sungguh baik, semoga Allah membalas kebaikkan, Kakak!”

“Iya, sama-sama. Aamiin ya Allah,” ucapku dan Jova bersamaan.

“Oh, iya. Namaku Raihan, dan Kakak?”

“Nama Kakak Jack dan ini sahabat Kakak namanya Jova.”

“Senang bisa bertemu dengan Kak Jack dan juga Kak Jova. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikkan, Kakak.”

“Kita juga sangat senang bisa bertemu dengan kamu di sini.” Jova mencubit gemas pipi Raihan.

“Kalo begitu aku pergi dulu ya, Kak, nanti kalo kelamaan Ibu bisa marah. Assalamualaikum!” Raihan mencium tanganku dan Jova sebelum dia pergi.

Wa’alaikumsalam!”

Aku dan Jova melanjutkan langkah kita yang tadi sempat terhenti karena menolong Raihan dulu.

“Raihan lucu, ya, Jack. Andai saja aku punya Adik laki-laki selucu Raihan, pasti aku akan sangat bahagia.”

“Kamu kan sudah punya Adik laki-laki. Kamu lupa, ya? Atau pura-pura amnesia?”

“Siapa?”

“Varel, dia kan Adik kamu. Adik aku Adik kamu juga. Ingat kita ini sudah seperti keluarga. Lagian Varel tuh, lebih mirip sama kamu daripada aku.”

Terkadang aku juga bingung kenapa wajah Varel sangat mirip dengan Jova? Kata Bunda sih, gara-gara pas hamil Varel, Bunda sangat gemas dan menyayangi Jova. Jadi, wajah Varel mirip sekali dengan

Jovania. Mungkin jika kalian bertemu dengan Varel kalian akan berpikir jika Varel itu adalah Adik Jova bukan Adikku.

“Eh, iya. Kalo itu, sih, aku juga tahu, Jack. Maksudku, aku ingin Adik yang benar-benar terlahir dari rahim Mama. Tapi, kayaknya sudah terlambat jika aku mempunyai seorang Adik. Mengetahui aku sudah 18 tahun.”

“Iya, iya, Va, aku mengerti, kok. Bersabarlah, Allah pasti akan memberikanmu seorang Adik. Memangnya kalo kamu sudah 18 tahun kenapa?”

“Aku sudah terlalu tua untuk mempunyai seorang Adik, Jack. Aku mungkin ditakdirkan untuk menjadi seorang anak tunggal.”

Wajah Jova yang tadinya cerah mendadak mendung, segera aku merangkulnya. “Jangan sedih seperti itu, Jova. Kamu tidak akan kesepian. Ingat kamu masih punya aku dan Varel yang akan selalu ada di sampingmu untuk menemanimu.”

Dia mulai mengukir senyuman lagi di wajahnya yang cantik. “Makasih, Jack. Aku sangat menyayangimu dan juga Varel. Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua.”

“Aku juga sangat menyayangimu, Jova.”

***

Assalamualaikum!” Aku mengucap salam saat masuk ke dalam rumah.

Sepi. Itu adalah suasana yang terlihat di rumahku sekarang. Mungkin Ayah dan Bunda belum pulang dari kesibukan mereka.

Waalaikumsalam!” Tidak lama kemudian, ada yang menjawab salamku, arahnya dari ruang keluarga. Pasti itu suara Varel. Segera aku langkahkan kakiku menuju ruang keluarga.

Di sana aku lihat Varel sedang asik menonton kartun favoritnya. Aku pun langsung duduk di sampingnya.

“Tumben kamu jam segini sudah pulang, Rel? Biasanya, kan, kamu suka eskul basket dulu?” tanyaku kepada Varel setelah dia mencium tanganku.

“Varel sedang tidak enak badan, Kak, jadi hari ini Varel izin dulu,” jawabnya. Iya, bisa kulihat matanya agak merah badannya pun terasa hangat.

“Ya Allah, tapi kamu sudah minum obat, kan?” tanyaku lagi sambil menyentuh dahinya berkali-kali dengan punggung tanganku.

“Sudah, Kak, tenang saja. Nanti juga pasti akan mendingan, kok. Adik Kakak yang tampan ini, kan, kuat,” jawabnya dengan suara yang dibuat seceria mungkin sambil memperlihatkan otot tangannya yang kecil itu.

“Syukurlah. Tapi kalo kamu masih merasa pusing atau apa langsung bilang saja, ya, sama Kakak. Nanti Kakak akan antar kamu ke puskesmas.”

“Siap, Kak.”

“Oh, Iya. Kamu sudah solat dzuhur belum?”

Alhamdulilah sudah, Kak. Kakak sendiri?”

“Kakak juga sudah tadi di sekolah bersama Jova.”

“Baguslah. Hmm, Kak. Varel kasihan, deh, sama temen Varel.” Varel mulai mengalihkan pembicaraan.

“Memangnya teman kamu kenapa?” aku yang penasaran pun langsung bertanya seperti itu.

“Temen Varel namanya Lani, dia dan keluarganya sedang bersedih karena kakaknya Lani belum pulang ke rumah sudah hampir satu minggu. Mereka sudah melapor kepada polisi dan sampai sekarang Kakaknya masih belum ketemu juga, Kak.”

“Apa di saat pergi dari rumah, kakaknya Lani bersama seseorang?”

“Iya, Kak, kata Lani kakaknya pergi bersama pacarnya.”

“Kalo begitu kenapa tidak tanyakan saja kepada pacarnya barangkali dia tahu di mana keberadaan kakaknya Lani.”

“Nah, itu dia masalahnya, Kak. Kedua orang tua Lani tidak setuju jika kakaknya menjalin hubungan dengan pacarnya itu. Jadi, mereka tidak punya nomor ponsel atau alamat rumah dari pacar kakaknya itu. Apa Kakak bisa membantu Lani untuk menemukan kakaknya?”

Insyaallah, jika Kakak bisa, Kakak akan membantu Lani untuk menemukan kakaknya.”

“Pokoknya Kakak harus membantu Lani! Varel tidak tega jika melihat Lani murung setiap hari. Varel ingin melihat Lani bisa ceria lagi seperti yang sebelumnya.”

“Iya. Pertama-tama Kakak harus tahu nama kakaknya Lani, dia umurnya berapa dan masih sekolah atau tidak.”

“Namanya Kak Luna, Kak. Umurnya 17 tahun masih kelas 3 SMA sama kayak Kak Jack,” jelas Varel.

“Oke. Sekarang, apakah kamu punya foto Luna? Karena Kakak harus tahu wajah Luna seperti apa.”

“Varel tidak punya, Kak, Varel juga belum pernah bertemu dengan Kak Luna. Soalnya setiap Varel ke rumah Lani, Kak Luna pasti sedang tidak ada di rumah. Kalo Kakak beneran mau membantu Lani, Varel akan meminta foto Kak Luna sama Lani.”

“Oh, gitu, ya. Ya, sudah. Kamu minta foto dia sama Lani! Jika sudah, langsung kasih tahu Kakak, ya. Kakak mau mandi dulu gerah, nih,” lanjutku yang sudah berdiri dari sofa.

“Iya Kak siap,” jawab Varel.

Good.” Aku tersenyum. “Kalo gitu Kakak ke atas dulu, ya!” imbuhku.

Varel  berdiri juga dari atas sofa lalu dia mengerutkan keningnya sambil melihat tangga.

“Kamu kenapa, Rel? Kayak kebingungan gitu?”

“Ngga papa, Kak, hanya saja barusan Varel melihat ada seorang perempuan yang sedang berjalan di tangga, sepertinya dia mengarah ke kamar Kakak,” jawab Varel. Terkadang Varel juga bisa melihat roh-roh penasaran sepertiku.

“Seorang perempuan? Seperti apa kelihatannya?”

“Entahlah yang jelas dia memakai seragam SMA dan rambut panjangnya dikepang satu.”

“Kakak akan ke atas untuk melihatnya. Kamu istirahat saja di sini dan jangan melakukan hal yang macam-macam, oke?” perintahku kepada Varel.

“Baiklah.” Varel duduk kembali di atas sofa dan melanjutkan menonton film kartun favoritnya. Sementara aku langsung ke atas untuk melihat sosok yang diceritakan oleh Varel barusan.

Saat berada di depan pintu kamarku. Aku bisa merasakan jika ada seseorang yang berada di dalam kamarku.

Pintu kamar perlahan aku buka dan..

Tidak ada siapa-siapa. Namun aku bisa merasakan kehadiran sosok misterius itu di sini. Tapi kenapa dia tidak pernah menunjukkan sosoknya di hadapanku.

“Aku tahu kamu ada di sini. Jadi tolong tunjukkanlah dirimu di hadapanku! Jika tidak, aku tidak akan membantumu,” ancamku.

Tiba-tiba lampu-lampu kecil yang berada di hadapanku menyala. Aku sengaja memasang lampu-lampu kecil di dalam kamarku. Setiap lampu aku beri satu huruf, dan aku susun dari A sampai Z. Aku sengaja melakukan itu hanya untuk berkomunikasi dengan arwah penasaran. Mungkin itu terdengar gila tapi aku bersumpah ini sangat menyenangkan.

Aku perhatikan terus lampu yang menyala sampai aku mendapatkan sebuah kalimat

Aku adalah perempuan yang hina, aku sangat malu jika harus menunjukkan diriku di hadapanmu

“Perempuan hina? Maksudmu apa?”

Tanpa aku beritahu pun kamu pasti sudah mengerti apa maksud dari kata itu, Jack!

“Oke. Aku paham. Tapi kamu tidak usah malu, jadi tunjukanlah dirimu!” desakku.

Aku sangat malu. Tolong mengertilah! Aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Jack.

“Aku akan menolongmu, tapi bagaimana aku bisa menolongmu jika aku saja tidak tahu wajahmu? Oke aku harus tahu nama kamu dulu!”

Luna.

“Luna apa?”

Luna Syania

“Oke, Luna. Apa yang harus aku lakukan untuk membantumu?”

Tolong bilang kepada kedua orang tuaku, aku minta maaf, harusnya aku mendengar semua ucapan mereka. Dan tolong sampaikan kepada mereka jika aku sangat menyayangi mereka melebihi apapun di dunia ini

“Baiklah. Aku akan berusaha untuk membantumu.”

Lampunya sudah tidak menyala lagi, tapi aku masih bisa merasakan kehadiran Luna di hadapanku. Aku arahkan telapak tanganku ke depan mencoba untuk berkomunikasi dengan Luna.

Kesedihan dan rasa penyesalan yang teramat sangat aku rasakan di diri Luna.

“Apa yang membuatmu sesedih ini, Lun?”

Aku ini adalah anak yang durhaka, Jack, aku tidak pernah mendengarkan nasihat dari kedua orang tuaku. Aku sangat menyesal tidak mendengar ucapan mereka. Ternyata mereka benar jika lelaki itu tidak baik untukku, dan sekarang aku harus menanggung semuanya. Pacarku yang sudah membunuhku, Jack. Kedua orang tuaku tidak tahu jika aku sudah meninggal karena mereka belum menemukan jenazahku. Apa kamu bisa mencarikan jenazahku, Jack?

“Allah. Pasti, Lun, pasti aku akan membantumu. Bersabarlah. Aku akan berusaha untuk menemukan jenazahmu.”

Terima kasih, Jack, kamu adalah orang yang sangat baik. Semoga Allah senantiasa melindungimu dari hal yang buruk

“Sama-sama, Lun, mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk menolongmu. Aamiin ya Allah.”

Setelah itu Luna menghilang entah ke mana.

“Eh, wait. Nama dari sosok misterius itu adalah Luna Syania. Apa jangan-jangan Luna ini adalah__”

“Kak!” Tiba-tiba Varel datang dan langsung menghampiriku yang sedang kebingungan tentang sosok Luna.

“Iya, Rel, ada apa?” tanyaku yang langsung duduk di atas tempat tidurku, Varel pun juga mengikuti apa yang aku lakukan, dia duduk tepat di sebelahku.

“Varel udah punya foto Kak Luna, ini fotonya, Kak,” ucap Varel sambil memberikan ponselnya kepadaku.

“Oh, jadi ini kakaknya Lani? Kalo boleh tahu nama panjangnya siapa?” tanyaku setelah melihat foto Luna. Jujur saja Luna adalah gadis yang cantik dan manis.

“Luna Syania, Kak.” Jawaban dari Varel tentu saja membuatku terkejut, ternyata dugaanku benar jika Luna yang tadi berbicara kepadaku adalah Luna kakaknya Lani.

Mungkin karena perubahan raut wajahku, Varel pun akhirnya bertanya, “Kakak kenapa? Kok, kayak yang kaget gitu, sih? Apa Kak Luna baik-baik saja?”

Aku mengambil nafas lalu menghembuskannya sebelum menjawab pertanyaan dari Varel tersebut, “Tidak, Rel. Sayangnya Luna sudah meninggal. Ternyata sosok yang kamu lihat tadi itu adalah Luna. Tetapi Luna tidak pernah menampakkan wajahnya di depan Kakak, katanya dia malu. Dan dia meminta tolong kepada Kakak untuk menemukan jenazahnya.”

Innalillahi wainnailaihi Raji’un, jadi Kak Luna sudah meninggal, Kak? Ya allah pasti Lani akan sangat sedih atas kenyatahan pahit ini. Kak Luna meninggal kenapa, Kak?” Ada kesedihan di wajah pucat Varel saat ia berkata seperti itu.

“Iya, Rel. Kakak juga belum tahu, tapi Luna bilang jika dia dibunuh oleh pacarnya sendiri. Dan tugas Kakak sekarang adalah harus mencari pacar Luna terlebih dahulu.”

“Ya allah jahat sekali orang itu. Mungkin Kak Luna pernah meng-upload foto dirinya bersama pacarnya di media sosial, Kak. Kita lihat saja, siapa tahu kita mendapatkan informasi yang lain,” usul Varel, Adikku ini memang cerdas.

Tanpa berpikir lama aku pun segera mencari akun media sosial milik Luna di ponsel Varel. Ah ketemu.

“Arya Alvandri. Jadi ini pacarnya Kak Luna,” ucap Varel.

“Sepertinya memang dia.” Aku langsung memejamkan mataku sambil memegang ponsel Varel mencoba untuk menerawang keberadaan Si Arya itu. Namun yang aku lihat, di sana dia sedang bertengkar hebat dengan Luna. Aku mendengarkan semua percakapan yang terjadi di antara mereka. Dan sekarang aku tahu kenapa Luna mengatai dirinya sebagai perempuan yang hina sehingga dia malu menampakkan wujudnya di hadapanku.

Aku merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku, aku mimisan. Ini terjadi setiap kali aku menerawang terlalu keras keberadaan seseorang. Segera aku mengusap mimisanku dengan punggung tanganku.

“Kakak baik-baik saja?” tanya Varel agak khawatir.

Aku mengangguk. “Kakak baik-baik saja.”

“Syukurlah. Jadi, apa yang Kakak lihat?”

“Kakak melihat di sana Arya sedang bertengkar hebat dengan Luna. Dan sepertinya tempat di mana mereka bertengkar masih berada di sekitar sini, karena tempatnya tidak asing untuk Kakak. Dan mereka bertengkar karena Luna hamil, Arya menyuruh Luna untuk menggugurkan kandungannya tetapi Luna tidak mau. Kali ini hanya itu saja yang tertangkap di penglihatan Kakak,” jelasku kepada Varel.

“Betapa malangnya nasib Kak Luna. Lalu apa yang akan Kakak lakukan selanjutnya?” tanya Varel lagi.

“Kita harus membicarakan hal ini kepada Lani terlebih dahulu. Setelah itu, kita tuntaskan bersama kasus Luna ini.”

“Varel setuju, Kak, kapan Kakak akan bertemu dengan Lani?”

“Kamu bicarakan dulu kepada Lani, dia siapnya kapan, jika sudah, langsung kasih tahu Kakak,” jawabku sambil mengembalikan ponselnya.

“Oke, Kak. Kakak janji akan menyelesaikan kasus Kak Luna ini, kan?”

“Iya. Kakak janji.”

“Terima kasih, Kak.”

“Sama-sama. Sekarang lebih baik kamu istirahat sana di kamar. Biar demamnya ngga tambah parah,” perintahku sambil mengelus-ngelus rambut Adikku yang cerewet ini.

“Iya, Kak. Varel ke kamar dulu, ya.” Varel pun keluar dari kamarku.

“Aku sudah tahu namamu dan wajahmu sekarang. Aku berjanji akan membantumu, Luna. Dan tidak ada alasan lagi kamu merasa malu menampakkan wujudmu di depanku.”

Hari ini aku merasa benar-benar lelah, aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk melakukan ritual mandiku. Mungkin dengan mandi rasa lelah yang menerpa tubuhku akan hilang, dan tubuhku akan terasa segar lagi.

***

Adzan subuh telah berkumandang aku buka perlahan kedua mataku, aku dudukkan tubuhku di atas tempat tidur untuk mengumpulkan kembali nyawaku yang telah tidur kurang lebih 5 jam, walaupun kurang 3 jam tapi kali ini aku bisa tidur dengan nyenyak.

“Terima kasih ya Allah, Engkau masih mengizinkanku untuk bernafas dan membuka mata hari ini,” ucapku lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu. Biasanya aku bangun langsung mengambil air wudhu saja, menunaikan solat subuh setelah itu tidur lagi, maka dari itu Jova selalu mempunyai tugas untuk membangunkanku. Namun tidak dengan hari ini, karena aku tidak akan tidur kembali.

Dingin. Itulah sensasi yang aku rasakan saat air mengalir dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Namun hal itu juga membuat rasa kantuk yang tadi masih sempat melanda diriku hilang seketika, dan aku pun

merasa sangat segar. Selesai mandi, aku langsung berpakaian rapi dengan baju kokoh biru, sarung berwarna merah kesayanganku, tidak lupa dengan peci yang selalu aku pakai untuk menutupi rambutku. Aku gelar sajadah di hadapanku menghadap kiblat. Setelah menata diri dengan baik aku pun langsung menunaikan solat subuh dengan membaca takbir. Aku membaca kalimat-kalimat suci itu dengan sangat khusyuk sampai mengucapkan salam.

Setelah itu, aku berdoa. Lalu aku lipat kembali sejadah yang aku gelar tadi. Aku juga mengganti pakaian yang tadi dengan pakaian seragam sekolahku. Lalu menyiapkan buku apa saja yang harus aku bawa untuk pelajaran hari ini. Matematika, kimia, dan fisika, itulah mata pelajaran yang mengisi kelasku pagi ini. Pelajaran yang sangat menantang untuk di hajar, dan aku sangat suka tantangan, hehe!

Aku lihat jam waker yang berada di atas meja belajarku masih menunjukkan pukul 5 pagi. Daripada aku berdiam tidak ada kerjaan, aku memutuskan untuk membaca buku fisika dulu, siapa tahu ada ulangan harian fisika yang mendadak, kita tidak pernah tahu, kan?

“Mungkin akan sangat menyenangkan jika suatu saat nanti aku menjadi Guru fisika. Aku akan menjadi Guru fisika yang baik dan tidak pemarah seperti Pak Hendri, pasti semua siswa akan menyukaiku,” ujarku di sela-sela membaca buku. Jangan heran ya, terkadang aku juga bersikap konyol, aneh, atau mungkin gila.

Tiba-tiba aku mendengar suara tetesan air tepat di belakangku. Penasaran, aku pun langsung menengokkan kepalaku ke arah sumber suara. Aku sangat kaget melihat sosok Luna yang sedang berdiri tepat di hadapanku, dengan baju yang basah kuyup dia juga masih memakai pakaian seragamnya. Iya, Luna benar-benar menampakkan wujudnya di hadapanku.

“Jack, tolong aku!”

“Aku akan menolongmu, Luna. Kenapa keadaanmu seperti ini?”

“Aku juga tidak tahu, Jack. Setahuku, aku berada di tempat yang gelap, banyak batu, dingin, dan di atasnya terdapat cermin yang sangat besar.”

“Cermin yang sangat besar?”

“Iya, Jack. Aku mohon tolong temukan jasadku. Aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang jika jasadku belum ditemukan.”

“Aku berjanji akan menemukan jasadmu, Lun. Hmm, bolehkah aku memegang tanganmu?”

“Tentu Jack, jika itu bisa membantu.”

Aku langsung memegang tangan Luna yang sangat dingin. Aku mendapatkan penglihatan sama seperti yang aku lihat kemarin sore. Di sana Luna dan Arya memang sedang bertengkar. Ada banyak pohon di sana, sepertinya mereka sedang berada di hutan. Arya terlihat sangat marah kepada Luna, karena Luna tidak ingin menuruti permintaannya. Entah ada bisikan setan atau iblis dari mana Arya tiba-tiba mencekik leher Luna, sampai Luna kesulitan untuk bernafas dan akhirnya Luna pun menghembuskan nafas terakhirnya di tempat itu.

Shit! Apa yang sudah aku lakukan. Lun, bangun, Luna! Maafin aku. Luna bangun!”

Setelah sadar atas apa yang sudah ia perbuat, Arya berusaha untuk membangunkan Luna, tapi percuma saja karena Luna tidak akan pernah membuka matanya kembali karena dia sudah meninggal. Dan itu semua terjadi karena tindakannya.

Dengan keadaan yang sangat panik Arya menyeret jasad Luna ke suatu tempat, tapi aku tidak tahu dia mengarah ke mana. Karena penglihatanku berhenti sampai di situ.

Setelah sadar kembali aku membuka pembicaraan lagi dengan Luna.

“Apa kamu ingat kenapa kamu bisa meninggal?”

Luna menggelengkan kepalanya. “Tidak, Jack, tapi aku sangat yakin jika Aryalah yang telah membunuhku karena yang aku ingat terakhir kali aku pergi bersamanya.”

“Iya, kau benar, Lun, Arya yang telah membunuhmu. Dia mencekik lehermu sampai kamu berhenti bernafas, Arya membawa jasadmu ke suatu tempat, tapi aku belum tahu tempat itu ada di mana. Namun aku akan berusaha mencari tempat itu, aku berjanji.”

“Terima kasih, Jack. Maaf jika aku telah merepotkanmu.”

“Sama-sama, Lun. Jangan berbicara seperti itu, Lun, ini memang sudah menjadi salah satu tugasku, dan aku sama sekali tidak merasa direpotkan olehmu. Jadi, jangan berbicara seperti itu lagi, oke?”

“Baiklah, Jack, sekali lagi terima kasih. Silakan lanjutkan lagi belajarnya.” Luna pun menghilang.

Sekarang fokus membacaku sudah hilang, sekarang yang ada di pikiranku hanya Luna, Luna, dan Luna.

“Aku bersumpah akan menemukan jasadmu, Luna, cepat atau pun lambat.”

Waktu terasa begitu cepat, mungkin saking seriusnya mengobrol dengan Luna sampai-sampai aku baru menyadari jika ini sudah pukul setengah 6 pagi.

“Jack?” ucap jova di bibir pintu kamarku.

“Iya?” jawabku sambil mengambil tas ranselku lalu berjalan ke arah Jova yang terlihat heran.

“Kamu kenapa? Kok, ngeliat akunya kayak gitu banget, sih? Aku tahu wajahku ini tampan, tapi jangan sampai gitu juga kali ngeliatnya,” candaku.

Jova langsung memutarkan kedua bola matanya yang bulat itu, aku yakin jika dia terus-terusan melakukan itu pasti matanya yang indah itu akan juling.

“Kambuh, deh, pedenya. Aku cuman heran saja, tumben jam segini kamu udah rapi. Biasanya juga, kan, jam segini kamu lagi asik-asiknya ngiler dan mengigau,” jawab Jova yang diakhiri dengan senyuman jahilnya untukku.

“Tadi malam tidurku nyenyak, makanya pas bangun aku langsung mandi.”

“Baguslah dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan suara emasku yang berharga ini hanya untuk membangunkanmu. Kenapa tidak setiap hari aja seperti ini?”

“Kamu ini. Ingat ya, aku tidak pernah memintamu untuk bernyanyi lagu kebangsaan setiap kali kamu membangunkanku. Kamu melakukannya sendiri.” Aku mengingatkan.

Jova menggaruk kepalanya yang aku rasa tidak gatal sama sekali. “Hehe! Iya, juga.”

“Udah, ah, lebih baik sekarang kita ke bawah,” ajakku sambil menarik tangan Jova.

“Ke mana? Ke ruang makan?” tanya Jova dengan polosnya.

“Mau ke puskesmas. Iya, mau kemana lagi coba?” jawabku agak kesal. Terkadang Jova memang bisa lebih lemot daripada Si Idoy.

“Kamu kenapa, sih, Jack? Hari ini kayaknya sensitif banget sama aku.”

“Ngga papa. Sorry!”

-Ruang Makan-

“Selamat pagi,” sapaku saat sampai di meja makan. Aku langsung mengambil posisi duduk di samping kiri Varel sedangkan Jova di samping kanan Varel.

“Pagi, Sayang. Tumben jagoan Bunda jam segini udah rapi?” Bunda membalas sapaanku sambil mengisi piring yang ada di hadapanku dengan nasi dan daging ayam.

“Mungkin dia kesambet hantu rajin kali, Bun, makanya jam segini sudah rapi,” jawab Jova sambil memotong roti bakar kesukaannya.

“Iyain aja biar cepat,” imbuhku berusaha tetap fokus dengan makananku. Dan tindakanku tersebut berhasil membuat semua yang berada di ruangan ini terkekeh. Aku masih tidak peduli.

“Sayang, cepat habiskan sarapannya! Setelah itu, kamu minum obat,” ucap Bunda kepada Varel. Oh, iya, aku lupa Varel kemarin kan, demam.

“Iya, Bunda,” jawab Varel dengan suara seraknya.

“Jika kamu masih sakit, lebih baik kamu tidak usah berangkat sekolah saja, ya, Nak,” lanjut Ayah penuh perhatian.

“Varel sudah mendingan kok, Yah, lagipula Varel tidak ingin ketinggalan pelajaran.”

“Ya, sudah. Tapi kalo ada apa-apa segera hubungi Ayah, ya. Ayah akan langsung menjemputmu.”

“Siap, Ayah!” Varel memberi hormat kepada Ayah saat berkata seperti itu.

“Kamu sakit apa, Sayang?” tanya Jova tiba-tiba.

“Demam sama batuk, Kak, demamnya sudah turun. Tinggal batuknya saja.”

“Ya ampun kasihan sekali Adik kesayangan Kakak. Kalo gitu nanti di sekolah kamu jangan terlalu kecapean, ya.” Jova mengelus sayang rambut coklat milik Varel.

“Siap, Kakak cantik.”

“Bun, nanti pulang sekolah Jack sama Jova mau ke rumah Zakia untuk belajar bersama. Apa boleh? Jika Bunda tidak mengizinkan, Jack dan Jova tidak akan berangkat,” Aku mulai membuka suara lagi.

“Tentu saja boleh, Sayang. Selagi itu dalam hal yang positif kenapa tidak?”

“Terima masih, Bun!”

“Sama-sama.”

***

Aku menceritakan semua yang terjadi kepadaku dari setelah pulang sekolah kemarin sampai pagi hari tadi kepada Jova saat di kantin. Dan semua itu tentang Luna.

“Jadi kita harus mencari cermin yang sangat besar agar kita dapat menemukan jasad Luna?”

“Sepertinya tidak harus, Aku rasa itu adalah sebuah teka-teki yang harus kita pecahkan.”

“Mungkin saja, Jack, mudah-mudahan kamu segera mendapatkan petunjuk yang baru, ya. Kasihan ‘kan Luna.”

“Iya.”

Ada pesan yang masuk di ponselku. Dan ternyata itu dari Varel.

Jovarel

Varel udah bicara sama Lani kalo Kakak ingin menemuinya. Dia bilang ketemunya hari ini saja jam 4 sore di taman dekat rumahnya.

Oke, nanti Kakak kesana. Kamu send aja lokasinya, ya!

Baik, Kak. Oh, iya. Varel belum cerita apa-apa kepada Lani. Varel ngga tega, kak.

Ngga papa, biar Kakak saja nanti yang menjelaskan semuanya kepada Lani.

Oke. Makasih, Kak. Sampai ketemu nanti di Taman jam 4.

“Hai, Guys!” suara Zakia berhasil membuatku berpaling dari layar ponselku.

“Hai,” jawabku dan Jova bersamaan. Seperti biasa. Zakia selalu duduk di sampingku.

“Nanti sore jadi belajar bersama, kan?” tanya Zakia setelah meneguk sodanya.

“Hmmm, Jack?” tanya Jova sambil menatap wajahku.

“Jadi, kok, tapi setelah pulang sekolah saja, ya? Soalnya setelah itu ada urusan yang harus aku lakukan,” jawabku.

“Oke, good. Lebih cepat lebih baik. Nanti pulang sekolah aku tunggu kalian di parkiran, ya!” lanjut Zakia sambil tersenyum manis.

“Oke.”

-Rumah Zakia-

Sebenarnya ini bukan kali pertamanya aku ke rumah Zakia. Namun aku merasa tidak nyaman setiap kali masuk ke dalam rumah Zakia, rasanya pengen cepat-cepat pulang saja.

“Kalian duduk dulu saja disini, aku mau mengambil cemilan sama minuman dulu, ya!” Zakia langsung melangkahkan kakinya menuju dapur sementara aku dan Jova langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

“Kenapa rumah ini selalu terlihat sepi ya, Jack?”

“Aku juga tidak tahu, mungkin keluarga Zakia sedang sibuk semua makanya yang ada di rumah ini hanya Zakia dan kita berdua.”

“Iya kali ya, Jack.”

Tidak lama kemudian Zakia kembali sambil membawa beberapa camilan dan minuman.

“Makasih,” ucap Jova sambil mengambil satu kaleng minuman dingin yang di bawa Zakia barusan.

“Sama-sama.” Zakia tersenyum begitupun Jova. Aneh sekali, tumben mereka akur. Ini adalah hal yang sangat langka.

“Oke, kita mulai saja,” ucapku. Zakia dan Jova langsung mengangguk. Kita bertiga pun mulai belajar.

“Nah, ini di kali dulu ini baru setelah itu di bagi dengan hasil yang sudah kalian jumlahkan tadi,” aku dengan sabar mengajari Zakia dan Jova. “Kalian ngerti, kan?” Jova dan Zakia hanya menganggukan kepala mereka.

Tidak terasa sudah 1 jam kita belajar, dan kita memutuskan untuk menghentikan belajar kita untuk hari ini. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 3 sore.

“Sekali lagi makasih, ya, Jack, kamu sudah mengajariku sampai aku mengerti. Aku yakin besok aku akan mendapatkan nilai yang bagus,” ucap Zakia dengan nada yang riang.

“Sama-sama, Kia. Mudah-mudahan, ya.” Aku tersenyum.

“Aku sangat senang kita bisa belajar bersama seperti ini, kapan-kapan kita belajar bersama lagi, ya!”

“Aku juga senang, kok. Tapi nanti sediakan pizza juga, ya, pasti aku akan semakin senang lagi, hehe!” canda Jova.

“Ha-ha! Oke siap-siap!” jawab Zakia.

“Seneng, deh, ngeliat kalian akur kayak gini. Gini terus, ya! Kan enak liatnya juga,” lanjutku.

“Oke mulai sekarang kita bersahabat juga ya, Jova. Jadi ngga ada acara debat-debat lagi.”

“Iya, deh, sahabat, uhhh!” Jova memeluk Zakia. Zakia juga membalas pelukan Jova.

Jujur saja aku sangat senang melihat dia seperti ini.

“Jadi mulai sekarang kita bertiga sahabatan, ya?” ujarku.

“Iya, dong!” jawab Zakia dan Jova kompak.

“Haha!”

Saat sedang asik tertawa gembira. Aku memperhatikan lukisan pemandangan sebuah danau yang ada di ruang tamu Zakia. Dan dari sana aku langsung mengingat sesuatu.

“Ya Allah.” Dengan refleks aku berbicara seperti itu dan tentu saja itu membuat perhatian Jova dan Zakia jadi beralih  kepadaku.

“Ada apa, Jack?” tanya Jova dengan nada yang sedikit cemas.

“Danau.”

“Ada apa dengan danau?” tanya Jova lagi.

“Luna.”

“Danau? Luna? Maksud kamu apa, sih, Jack? Dan siapa Luna?” Zakia yang tidak tahu apa-apa pun memberiku beberapa pertanyaan yang membuatku bingung harus menjelaskannya dari mana.

“Ceritanya panjang, Kia, nanti saja aku jelaskan kepadamu. Sekarang aku butuh bantuanmu. Tolong antarkan aku dan Jova ke suatu tempat, ini sangat darurat,” jawabku dengan nada yang sangat tidak beraturan.

“Oke.”

“Ayo, kita harus bergerak cepat,” ajakku.

Kita bertiga pun segera keluar dari rumah Zakia dan menuju ke tempat tujuan dengan menggunakan mobil milik Zakia. Zakia yang menyetir mobil.

“Jadi, kita mau ke mana, Jack?” tanya Zakia yang sedang fokus menyetir.

“Ke taman dekat perumahan melati no 14. Kamu tahu, kan?”

“Iya aku tahu.”

Aku sudah mengirimi pesan kepada Varel jika aku ingin menemui Lani jam 3 sore dan Lani pun sudah setuju. Bahkan katanya sekarang Varel dan Lani sudah berada di taman.

“Jadi kamu sudah mendapatkan petunjuk yang lain tentang Luna, Jack?” tanya Jova yang duduk tepat di sebelahku. Karena aku dan Jova duduk di belakang.

“Aku bukan hanya mendapatkan petunjuk baru tapi aku sudah berhasil memecahkan teka-teka itu. Kamu masih ingat jika Luna berada di tempat yang gelap, dingin, banyak batu, dan di atasnya terdapat cermin yang sangat besar. Jawabannya adalah danau, aku sangat yakin jika dia ada di danau. Aku sempat berpikir jika Luna di kubur di hutan tetapi dugaanku salah. Arya tidak mengubur jasad Luna melainkan membuangnya ke danau, bukan membuangnya lebih tepatnya menyembunyikannya,” jelasku kepada Jova.

“Kamu memang sangat cerdas, Jack, jadi yang dimaksud cermin yang besar itu adalah air danau yang bisa memantulkan bayangan apa saja yang ada di sekitarnya.”

“Iya, tepat sekali.”

“Jasad? Apa kalian sedang menyelidiki kasus pembunuhan?” tanya Zakia lagi.

“Iya, begitulah.”

“Tunggu! Tadi kalo tidak salah kamu bilang nama Arya?”

“Iya, kenapa? Kamu kenal dengan dia? Arya Alvandri?” aku balik bertanya.

“Iya kenal lah, dia kakak sepupuku,” jawaban Zakia sukses membuatku dan Jova kaget bukan main.

“Arya sudah melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya yang bernama Luna Syania,” ucap Jova.

“Tidak mungkin Kak Arya melakukan hal yang keji seperti itu. Aku sangat mengenal dia.”

“Jangan hanya karena dia terlihat baik bukan berarti dia tidak bisa melakukan hal yang keji, kan? Lagipula penglihatan Jack itu tidak pernah meleset. Jika kamu tidak percaya kamu lihat saja nanti,” ucap Jova lagi.

Zakia terdiam setelah Jova berkata seperti itu.

“Sekarang Arya ada di mana? Kapan terakhir kali kamu bertemu dengannya?” sekarang aku yang bertanya kepada Zakia.

“Dia ada di Jakarta, katanya dia mau mencari kerja di sana. Dia ingin belajar hidup mandiri. Kalo tidak salah seminggu yang lalu.”

“Mungkin dia pindah ke Jakarta untuk melarikan diri. Kau tahu, kia? Luna dibunuh Arya minggu lalu. Karena Luna hamil dan dia tidak ingin bertanggung jawab. Kasihan Luna, kamu harus memberitahu kita di mana alamat rumah Arya di Jakarta. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” lanjutku.

“Tapi aku masih belum percaya.”

“Jika kamu tidak percaya berarti kamu bukan sahabat kita. Bukannya sahabat harus saling mempercayai dan saling membantu. Dan kamu tidak melakukan dua hal itu untuk kita berdua,” balas Jova.

Zakia terdiam kembali. Mungkin dia sedang memikirkan kata-kata Jova yang barusan.

***

Saat sampai di taman, aku melihat Varel dan Lani dari kejauhan. Segera aku, Jova, dan Zakia menghampiri mereka berdua.

“Akhirnya Kakak datang juga, pegel, nih, kita nungguin Kakak di sini,” keluh Varel. Wajahnya masih pucat sama seperti tadi pagi.

“Maaf, Rel. Biasa macet,” jawabku sambil mengarahkan pandanganku kepada Lani. “Maaf, ya, Lani, jika Kakak membuatmu menunggu lama di sini.”

“Tidak apa-apa, Kak. Jadi apa yang ingin Kakak bicarakan kepada Lani?” Terlihat dari wajahnya jika Lani benar-benar sudah menunggu jawaban dariku.

Aku mengalihkan pandanganku kepada Jova dan Zakia, mereka menganggukkan kepala seolah berkata katakan saja, jack!

“Apa kamu sudah benar-benar siap mendengar penjelasan dari Kakak. Entah itu kabar baik atau kabar buruk sekalipun.”

“Lani sudah siap, Kak, bahkan sudah sangat siap. Huh!” Dia menghembuskan nafasnya setelah menjawab pertanyaan dariku. Oke sepertinya aku memang harus menceritakan yang sebenarnya kepada Lani.

“Luna sudah meninggal Lani. Dia dibunuh oleh pacarnya, karena Luna hamil dan dia tidak ingin bertanggung jawab. Dia menyuruh Luna untuk menggugurkan kandungannya tetapi Luna tidak mau. Dia sangat marah dan langsung mencekik leher Luna sampai Luna kesulitan bernafas dan akhirnya Luna pun meninggal. Dia menyembunyikan jasad Luna ke sebuah danau dan sepertinya Kakak tahu danau itu di mana. Dan kita harus segera ke danau itu untuk menemukan jasad Luna.”

Air mata Lani langsung mengalir dengan derasnya dari pelupuk matanya membasahi pipinya yang mungil. Wajahnya sangat mirip dengan Luna.

“Tidak mungkin, Kak, Kak Jack pasti berbohong. Kak Luna pasti masih hidup. Kak Luna tidak akan pernah meninggalkan Lani. Hiks-hiks!” ucap Lani sambil sesegukan. Segera aku membawa Lani ke dalam pelukan hangatku mencoba untuk menenangkannya.

“Kakak tidak berbohong, Sayang, semua yang Kakak katakan ini adalah sebuah kebenaran. Luna sendiri yang datang kepada Kakak dan meminta tolong kepada Kakak untuk mencarikan jasadnya agar dia bisa beristirahat dengan tenang. Maaf Kakak harus memberitahukan hal buruk ini kepada kamu.” Kuelus rambut dan punggung Lani secara bersamaan.

“Hiks-hiks! Mungkin Luna yang meminta tolong kepada Kakak itu adalah Luna yang lain. Bukan Luna kakaknya Lani.”

“Tidak, Sayang, itu benar-benar Kakak kamu. Nama Kakak kamu adalah Luna Syania, kan? Tolong percaya kepada Kakak. Kita harus segera ke danau sekarang. Kasihan Luna kedinginan di dalam danau itu. Kakak akan meminta bantuan kepada tim SAR. Kamu harus ke rumah untuk memberitahukan hal ini kepada Ayah dan Ibu kamu. Varel yang akan menemani kamu. Sementara Kakak dan teman-teman Kakak akan ke danau duluan. Nanti kalian menyusul saja. Ke danau yang ada di dekat sini. Kakak mohon, kamu harus melakukan ini demi Kakak kamu.” Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Lani lalu aku hapus air mata yang masih mengalir di kedua pipinya.

“Baik, Kak.”

“Anak, pintar.”

“Ayo, Rel!” Lani menarik tangan Varel untuk berjalan menuju rumahnya.

“Aku sudah menelpon tim SAR dan polisi. Aku juga sudah mengirim lokasi danaunya,” ucap Jova.

“Bagus. Sekarang kita ke danau.”

Sekarang aku, Jova, Zakia, Varel, Lani, Ayah dan Ibu Luna sudah berada di tepi danau. Sambil memperhatikan tim SAR dan Polisi yang sedang berusaha mencari jasad Luna di sekitar danau ini.

Ibu Luna tidak bisa berhenti menangis sejak 20 menit yang lalu. Berbeda dengan Ayah Luna dan Lani yang sudah nampak tegar menghadapi kenyataan pahit ini.

“Tante, sudah jangan menangis terus! Luna tidak akan senang jika melihat Tante menangis terus seperti ini.” Jova berusaha untuk menenangkan Ibu Luna.

“Apa yang dia katakan ada benarnya juga, Bu. Kita harus berusaha tegar demi anak kita,” ucap Ayah Luna sambil merangkul istrinya tersebut.

“Walaupun Luna suka tidak mendengarkan nasihat yang kita berikan kepadanya tapi Ibu tetap sayang kepadanya. Bahkan Ibu tidak pernah bisa marah kepadanya. Ibu hanya tidak percaya kenapa Luna meninggalkan kita secepat ini? Bahkan dia pergi bersama dengan calon cucuk kita, Yah.”

“Iya, Ayah tahu tentang hal itu, Bu.”

“Ini sudah takdir dari Allah, Bu. Dan mau tidak mau kita harus menerimanya dengan lapang dada dan ikhlas. Jika kita semua ikhlas menerima kepergian Kak Luna. Insyaallah Kak Luna akan mendapatkan tempat yang indah di sisi Allah,” ucap Lani berusaha untuk menguatkan ibunya.

“Iya, Sayang.” Ibu Luna mulai tersenyum kembali walaupun masih ada air mata yang mengalir dari kedua matanya.

“Luna pernah bilang kepada Saya jika dia sangat menyayangi Om dan juga Tante. Dan dia juga sangat menyesal karena dia tidak pernah mendengarkan ucapan Om dan Tante. Ternyata apa yang Om dan Tante bilang tentang lelaki itu benar. Jika, laki-laki itu tidak baik untuk Luna.” Aku mulai angkat bicara lagi.

“Ayah dan Ibu juga sangat menyayangimu Luna. Bagaimanapun sifat kamu, kami berdua tetap menyayangimu.” Ibu Luna mulai menangis lagi.

“Aku benar-benar tidak pernah menyangka Kak Arya benar-benar melakukan hal keji seperti ini. Aku sangat kecewa kepadanya. Aku akan memberitahu Polisi di mana Kak Arya tinggal sekarang. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, tidak peduli jika itu akan mencoreng nama baik Ayah dan Ibu Kak Arya.” Zakia yang dari tadi diam seribu bahasa akhirnya membuka suaranya juga.

You have to. You in the right way, Kia,” balas Jova yang sekarang sedang memeluk leher Varel. kalian bisa membayangkannya, kan? Bisa dong, ya, kan kalian pandai. hehe!

“Kak, dingin,” rengek Varel kepada Jova.

“Kamu kedinginan, ya, Sayang.” Jova hampir saja melepaskan jaket yang sedang dia pakai tapi buru-buru aku menahannya.

“Jangan dilepas. Aku ngga mau kamu juga ikutan sakit karena masuk angin. Varel biar pake jaket aku saja.”

“Oke.”

Aku pun segera melepaskan jaket jeans abu-abu kesayanganku dan segera aku pakaian ke tubuh Varel yang lebih kecil dariku. Dan jaket jeans itu terlihat kebesaran di tubuh Varel. Mungkin itu bisa membantu untuk menghangatkan tubuh Varel.

“Gimana? udah ngga dingin atau masih dingin?” tanyaku.

Varel menggelengkan kepalanya. “Masih dingin, Kak.”

“Kalo kamu masih merasa dingin biar Kakak peluk saja, ya.” Jova langsung memeluk Varel. Varel tersenyum. “Terima kasih, Kak. Sekarang Varel sudah merasa lumayan hangat.”

“Sama-sama, Sayang.”

Sekarang aku benar-benar bingung. Sebenarnya kakaknya Jovarel itu aku atau Jovania, sih? mentang-mentang namanya hampir sama dan wajah yang mirip jadi deket banget kayak gitu. Aku yang menjadi kakaknya merasa tidak ada gunanya. Sudahlah kenapa juga dipikirin ngga penting juga.

“Sebelah sini!” teriak salah satu tim SAR. Segera tim SAR yang lain langsung menghampirinya.

Tidak lama setelah itu, mereka mengangkat sesuatu dari dasar danau dan itu tidak lain dan tidak bukan itu adalah jasad Luna. Mereka membawa jasad Luna ke tepi danau.

“Luna, Sayang. Kenapa kamu meninggalkan kita secepat ini. Ibu masih berharap kamu akan pulang kembali ke rumah.” Ibu Luna menangis sejadi-jadinya di depan jasad Luna yang sudah mulai membusuk karena sudah berhari-hari ada di dasar danau.

Mungkin kalian berpikir, Kok, jasad Luna tidak mengambang saat di buang ke danau. Itu karena Arya tidak sebodoh yang aku kira. Dia mengikat jasad Luna dengan tali lalu menimbun tubuh Luna dengan batu-batu yang lumayan cukup besar untuk menahan jasad Luna agar tidak mengambang. Sebenarnya orang jahat itu rata-rata mempunyai otak yang cerdas. Namun sayang kecerdasannya itu dipakai untuk hal yang tidak baik.

“Terima kasih, ya, Nak. Jika tidak ada kamu mungkin sampai sekarang kami belum menemukan Luna.”

“Sama-sama, Om. Itu memang sudah menjadi tugas saya.”

Tiba-tiba ada seorang Polisi yang menghampiri kami dengan buku catatan dan bolpoin yang berada di kedua tangannya.

“Permisi. Siapa yang bisa memberi informasi atas kejadian, ini?” tanya Polisi tersebut.

“Saya, Pak,” jawabku.

“Baik. Apa Anda bisa menceritakan kronologi kejadiannya?”

“Bisa, Pak. Jadi kejadiannya seperti ini………..” Aku menceritakan semuanya kepada Polisi dari akar sampai buahnya.

“Jadi di mana kami bisa menemukan tersangka?” tanya Polisi untuk kesekian kalinya.

“Saya tahu, Pak. Karena tersangka merupakan Kakak sepupu Saya. Bisa saya pinjam buku catatannya?” ucap Zakia.

Dengan segera Polisi itu memberikan buku catatannya kepada Zakia.

“Ini alamatnya, Pak. Tolong berikan hukuman yang setimpal kepadanya.” Zakia mengembalikan buku catatannya kepada Polisi lagi.

“Baik, serahkan semua ini kepada kami. Sementara tim SAR akan membawa jenazah Luna ke rumah sakit untuk diotopsi.”

“Baik, terima kasih, Pak!”

“iya, Sama-sama. Kalo begitu Saya permisi dulu. Selamat sore!” Polisi itu berlalu dari hadapan kami semua.

Keluarga Luna dan tim SAR segera meluncur menuju rumah sakit. menyisakanku, Varel, Jova, dan Zakia

“Akhirnya misi kamu selesai juga, Jack,” ucap Jova setelah menghela nafasnya.

“Hampir selesai. Karena tugasku akan selesai jika Arya sudah tertangkap oleh polisi.”

“iya juga ya, Jack.”

“Hmm, Kia, makasih ya atas kerjasamanya,” ucapaku kepada Zakia.

“Iya, Jack. Lagipula itu juga demi kebaikan Kak Arya, agar dia merasa jera dan tidak akan melakukan hal keji seperti itu lagi.”

“Iya, Kia.”

Aku perhatikan Varel, wajahnya semakin pucat dan matanya pun kadang terbuka dan tertutup seperti orang yang ingin pingsan.

“Varel, apa kamu baik-baik saja?” tanyaku.

belum juga menjawab pertanyaanku Varel sudah pingsan duluan.

“Varel, kamu kenapa, Sayang?” tanya Jova panik. Zakia juga ikutan panik.

“Lebih baik kita bawa Varel ke rumah sakit. Aku takut Varel kenapa-napa,” usul Zakia. Aku dan Jova pun setuju.

***

“Bagaimana keadaan Adik Saya, Dok?” tanyaku kepada Dokter setelah ia memeriksa Varel.

“Adik kamu tidak kenapa-napa, dia hanya terlalu kelelahan sehingga dia drop dan pingsan seperti ini. Dia juga sedikit kekurangan cairan. Jadi Saya sarankan jika Adik kamu dirawat di sini untuk beberapa hari ke depan sampai keadaannya kembali pulih.”

“Baik, Dok. Jika itu yang terbaik untuk Adik Saya. Adik Saya dirawat saja di sini,” jawabku.

“Bagus. Kalo begitu Saya permisi dulu. Jika ada apa-apa segera panggil Saya!”

“Baik, terima kasih, Dok,” jawab Jova. Lalu Dokter pun keluar dari ruang perawatan Varel.

Zakia langsung pulang setelah mengantar Varel Ke sini. Jadi yang menjaga Varel hanya aku dan Jova. Karena Ayah dan Bunda belum dating.

“Cepat sembuh, ya, Sayang.” Jova mencium kening Varel. Namun, Varel masih belum sadarkan diri.

Ponselku berbunyi. Ada pesan yang masuk.

Zakia

Kak Arya sudah tertangkap oleh polisi. Dia juga sudah mengakui perbuatannya, dia sangat menyesal sudah melakukan hal itu. Dia akan segera mempertanggungjawabkan perbuatannya, Jack. Proses hukumnya akan segera dimulai.

Aku benar-benar bisa bernafas lega setelah membaca pesan dari Zakia tersebut. Akhirnya misiku sudah selesai, benar-benar selesai. Saatnya mengucap tahmid. Alhamdulillah ya Allah.

Terima kasih, Jack, atas semua yang sudah kamu lakukan untukku. Sekarang aku sudah bisa beristirahat dengan tenang. Sampai jumpa, Jack, aku harap kita akan bertemu kembali suatu saat nanti,” bisik Luna lembut tepat di telingaku. Aku bisa merasakan rasa ketenangan di tubuh Luna.

“Sama-sama, Lun. Aamiin, semoga saja kita akan bertemu lagi di lain waktu.” Setelah aku berkata seperti itu. Aroma tubuh Luna mulai menghilang mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk Luna pergi ke tempat abadi yang bernama Akhirat. Alam setelah kematian. Aku harap Luna bisa bahagia di sana.

Dengan Luna yang sudah bisa beristirahat dengan ini sekaligus menutup misi ini. Dan aku nyatakan jika misi ini telah selesai. Dan aku siap menjalani misiku yang selanjutnya. Kira-kira misiku yang selanjutnya apa, ya? hmmm!

BACA BUKU 3 DIMENSINYA

Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno

Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini

Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini

Pemesanan buku cetak

Penulis :
Ivana Anjas

 

Ukuran :
14 x 21

Status :
Terbit

Ketebalan :
407 Halaman

ISBN : Proses

Harga :
Rp. proses

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar

Top up Dana Saldo

Rp. 15.000

Bonus 100 poin

Rp. 25.000

Bonus 200 Poin

Rp. 50.000

Bonus 350 poin

Rp. 100.000

Bonus 800 poin