Beli buku versi cetak

PINJAM BUKU
Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book
Sumpah, benci banget aku sama Dina. Seenak wudelnya maksa aku biar datang ke acara reuni SMP yang diadakan lima tahunan. Aku sebenarnya ingin sekali datang, tapi aku gak mau jika ketemu dengan dia. Dia adalah Barra Fathan bisa dibilang cinta pertamaku, cinta monyetku, dan mantan pertamaku. Bodohnya aku juga sampai sekarang belum bisa melupakannya. Bayang-bayang kenangan dengannya dulu masih tersimpan rapi. Padahal sudah lima tahun kami berpisah. Saat itu kami masih duduk di bangku kelas 8 SMP dan sekarang aku sudah kuliah semester tiga. Heran aku kenapa rasa ini masih membekas. Kenapa rasa ini masih tersimpan dengan rapi.
Aku dengar dari teman yang lain kalau Barra sudah punya cewek. Siapa coba yang gak tertarik dengan cowok yang dulu menjadi bintang sekolah. Pandai main alat musik bahkan suaranya pun merdu. Duhhh jadi ingat ketika dinyanyikan sama dia kan. Kalau diingat-ingat masalah sepele yang membuat kita dulu pisah. Gak mutu tapi lucu. Gara-gara ada kakak tingkat yang menyukai Barra bilang ke aku.
Kakak tingkat ko ya pe-de sekali, jelas-jelas Barra sudah punya pacar. Ehh malah bilang langsung ke pacarnya.
Aku yang dulu sayangnya hanya sebatas kagum ya mending meninggalkan Barra. Tapi Barra tidak terima ketika aku memutuskan secara sepihak. Diusia itu memang masih labil pikiran seseorang. Apalagi baru pertama mengenal dunia percintaan. Masa puber anak SMP.
Yang menjadi pertanyaanku sampai saat ini. Kenapa sih aku belum bisa melupakan dia?
Apa karena dia cinta pertamaku?
Atau karena dia memberikan kenangan indah selama bersama?
Sebenarnya aku berusaha melupakan dia, tapi aku belum mampu membuka hati untuk yang lain.
Aku masih ingin mengenang kisah ini sampai aku menemukan pengganti yang tepat. Tapi kapan?
Pertanyaan itulah yang sampai sekarang masih menghantuiku.
Saat aku mendapat undangan reuni lima tahunan. Reaksi pertamaku kaget. Jelas kaget karena konfirmasi kehadiran satu minggu sebelumnya. Dan kontak person yang ditulis adalah Barra dan Dina. Jelas sudah Dina tidak mau mendata namaku. Aku disuruh chat Barra sendiri.
Kambing memang tuh anak. Licik juga pikirannya. Sebegitu yakinnya Dina kalau aku bisa kembali dengan Barra. Padahal dia tau kalau Barra itu sudah punya cewek. Bahkan aku dengar ceweknya masih sama dengan dulu. Kakak kelas kita waktu SMP. Wauuu langgeng sekali hubungan mereka. Sudah lima tahun. Seperti kredit mobil aja. Bisa test drive.
Terpaksa aku menghubungi Barra. Bisa digorok aku sama Dina kalau gak ikut reuni. Tapi aku sengaja daftarnya telat. Empat hari sebelum hari pelaksanaan baru aku chat Barra.
Aara: Selamat siang Barra. Aku Aara anak kelas B. mau daftar reuni. Masih bisa kah?
Satu jam sudah pesanku tidak di respon oleh Barra. Masa bodoh yang penting aku sudah menghubungi dia. Harapanku memang dia gak membalas pesanku. Biar aku ada alasan sama Dina untuk tidak datang ke acara reuni.
Sampai malam hari pesan itu baru di balas.
Barra: Sebenarnya sudah telat sih. Kan harusnya H-7. Ini sudah H-4 kamu baru konfirmasi. Tapi gak papa Ra, aku terima ko.
Aara: Makasih. Tapi kalau misal sudah ditutup gak papa juga ko. Kan masih bisa datang ke reuni 5 tahun lagi.
Lima tahun lagi? Lama banget itu. Aku kan rindu sama teman-teman yang lain. Sebenarnya sama Barra juga. Tapi aku hanya gak mau jika dia datang sama ceweknya dan aku melihatnya. Mataku bisa bintitan nanti.
Barra: Masih bisa Aara. Tenang aja. Aku kan panitianya. Aku gak akan menyusahkan mantan terindahku ko.
Kambing dia. Bisa-bisanya bilang aku mantan terindah.
Maaf ya mas Barra yang terhormat. Kalau terindah gak akan jadi mantan.
Mantan itu hanya serpihan.
Serpihan apa?
Serpihan hati kah?
Serpihan luka kah?
Atau serpihan masa lalu?
Kalau serpihan masa lalu berarti sama seperti yang aku alami. Saat ini aku masih merasa bahwa serpihan masa laluku masih tertinggal di ruang hati. Sekecil apapun masa lalu itu, sampai saat ini masih ku simpan. Masih tersusun rapi di sudut hati.
Kenapa hanya di sudut?
Karena harapan ku akan ada yang mengisi hingga sudut itu tidak terlihat. Tapi nyatanya sudutnya masih terlihat menganga sampai sekarang. Belum ada yang mampu menutupi sudut itu.
Mampukah aku menutup sudut masa laluku?
“Aara….!”
Aku tau siapa yang teriak-teriak di siang bolong gini. Siapa lagi kalau bukan sahabat tercinta yang super baik, cerewet, dan galak. Tapi aku masih saja betah sahabatan dengan dia.
Dia Dina, sahabat SMP ku. Saat ini dia menjadi mahasiswa ekonomi, satu kampus juga denganku. Hanya jurusan yang beda.
Siang ini dia nyamperin aku yang jadi penunggu pohon akasia depan rektorat. Tempat ini menjadi salah satu tempat favoritku. Selain jaraknya yang dekat dari fakultas bahasa, samping gedung ini juga terdapat perpustakaan universitas.
Aku yang masih mahasiswa baru menduduki semester tiga selalu menjadikan tempat ini sebagai tempat spesial. Tidak hanya martabak saja, tapi tempat juga. Lah kan malah nglantur ucapku dalam hati.
“Apaan sih Din, bisa gak teriak-teriakkan? Aku belum budeg kalau kamu lupa. Aku ingetin.” Aku memang sering berkata kasar dengan Dina, tapi semua itu hanya bercanda dan Dina gak pernah keberatan. Malah dia juga sering bicara kasar denganku. Kebiasan ini sudah kita lakukan sejak dulu. Jadi dianggap biasa aja.
“Gimana kemarin? Jadi chat Barra belum? Ko nama kamu belum muncul di daftar peserta?” Dina sambil menunjukkan daftar peserta reuni yang diadakan tiga hari lagi. Tepatnya di hari Sabtu.
“Heh, jangan buat aku kayak gini dong Din?”
“Kayak gini gimana maksud mu? Aku jadi bingung Ra.”
Dina senyum-senyum melihat tingkahku yang gusar.
“Kamu pura-pura gak bisa lihat atau gimana sih? Nih lihat nama paling akhir, ehhh tapi ko ada lanjutannya. Ara si mantan terindah.”
“Kampret tuh Barra, ko bisa sih dia nyebut kamu mantan terindah? Kalian punya kenangan apa? Anak SMP dulu mah masih ingusan, masak dibilang mantan terindah.” Dina ngejek aku gak jelas.
Ini yang membuat aku selalu cocok dengan Dina, dia selalu bisa mengerti keadaan hatiku. Dina tau kalau aku sudah dipuji dengan kata “Mantan Terindah” pasti akan membuat hatiku gusar.
“Udah Ra, kalau kamu masih belum bisa move on dari Barra, bilang aja ke dia. Biar dia putus sama pacarnya. Itu pacarnya masih mbak-mbak genit yang dulu lho? Kamu masih ingat kan?”
Ya jelas aku masih ingatlah. Berarti benar apa kata orang-orang kalau Barra masih sama cewek yang dulu. Langgeng kan kisahnya. Gak seperti kisahku yang singkat bak KRL Jogja-Solo. Sudah dekat mana setiap stasiun berhenti. Duh malangnya nasibku.
***
Boleh gak sih mengumpat kasar tentang mantan. Gara-gara aku chat dia untuk konfirmasi reuni dia jadi gak pernah absen tiap malam chat aku. Aku aja yang kuliah aja sering titip absen. Ehh dia sregep banget absen tiap malam.
Barra: Ra, besok undangan jangan lupa di bawa ya. Untuk scan barcode.
Aara: Besok masih hari Jumat Bar, kalau kamu lupa.
Barra: Ingat lah, apa sih yang gak ingat dari kamu.
Nah kan, dia tambah ngelantur. Tuh mulut gak ada remnya.
Aku sengaja tidak membalas pesannya. Membalas pesannya sama seperti memberi harapan.
Ehh tapi kalau dipikir-pikir memang itu mauku sih. Bisa kembali dengannya. Tapi balik lagi ke dia. Kira-kira dia mau gak ya?
Aku gak tau bagaimana perasaan dia ke aku saat ini. Karena selama ini kita gak pernah saling komunikasi. Aku tau nomor HPnya aja gara-gara ada di undangan reuni. Kalau tidak ya gak pernah tau.
Semenjak konfirmasi reuni aku memang sengaja stalking instagramnya sih. Pengen tau aja sebenarnya dia sekarang seperti apa. Kira-kira jadi glow up tidak. Pengen tau juga pacarnya siapa. Ehh ternyata benar yang dikatakan Dina dua bulan lalu pas dia ketemu rapat perdana reuni. Masih sama mbak-mbak kakak tingkat. Seleranya dengan yang tua – tua ternyata. Aku yang masih muda jadi insecure.
Jadi kepengen lihat aslinya kan, tuh mbak mbak kalau ketemu aku ada rasa canggung gak ya. Apa malah dia yang insecure sama aku. Kan aku sekarang jadi langsing dan cantik. Glow up versi dewasa. Kan waktu SMP dulu belum kenal make up. Uang jajan aja masih pas pasan. Ehh muji diri sendiri gak dosa kan.
Pokoknya kalau Barra beneran jadi glow up, gantian aku yang akan merebut kembali. Memang ya rasa sayang itu bisa menutup semuanya. Hal yang baik aja bisa menutup apalagi hal buruk. Bisa tambah membuka. Loh.
“Cantik banget adik abang malam ini, mau kemana neng. Jomblo aja sok-sokan dan dandan.” Suara Bang Ezi mengagetkanku.
“Kalau buka pintu kamar anak gadis tuh ketuk pintu dulu Bang.”
“Mau kemana sih?” Bang Ezi masih kepo. Dia berdiri di samping meja riasku. Memlihatku yang sedang menyisir rambut.
“Mau reuni bang, yuk anterin Ara.” Aku berdiri lalu mengambil sling bag warna mocca. Bang Ezi langsung aku tarik tangannya. “Yuk anterin Ara bang, udah dandan cakep gini masak naik motor. Luntur nanti makeup Ara.”
“Tapi teman abang di bawah Ra, tadi abang ke sini rencana mau ngajak kamu makan di luar, malah kamu ada acara.”
“Ya udah, abang nganterin Ara sekalian makan di luar atau sekalian abang makan di tempat Ara reuni, tapi bayar sendiri. Nanti di meja pisah.”
Ara menawarkan pilihan ke abangnya. Biar dia nanti ada temannya kalau pulang terlalu larut.
“Di mana reuninya? Kalau di sekolah abang gak mau lo ya.”
“Enak aja kalau ngomong. Di Kopi Bento Sorowajan bang, kan kalau malam minggu ada live musik.” Ara menjelaskan sampai detail biar abangnya bersedia menemani.
****
Saat ini aku sedang duduk di samping Dina, walaupun dia panitia tapi dia memilih menemaniku daripada dengan panitia yang lain. Bukan berarti aku tidak punya teman dekat selain Dina. Semua peserta bawa pasangan masing-masing, hanya beberapa saja yang tidak bawa termasuk aku dan Dina. Makanya disaat yang lain sedang asyik mendengarkan live musik. Aku dan Dina sengaja makan berdua. Rugi dong kalau sudah bayar tapi makan dikit. Di kamus hidup Ara gak ada yang namanya jaim. Apaan tuh bikin perut krempeng.
“Ra, yang tadi sama Bang Ezi siapa? Lumayan tuh bening kayak air pegunungan.”
Dina menanyakan teman Bang Ezi. Memang sih, tadi waktu ke sini Bang Ezi sama Bang Rama temannya kuliah. Kalau yang dikatakan Dina bening memang benar. Bening banget malah. Air pegunungan aja kalah.
“Ohh itu Bang Rama, temannya Bang Ezi. Cakep sih tapi sayang udah punya pacar. Mau kamu jadi pelakor Din. Kan sekarang banyak kasus pelakor.”
Aku mengejek Dina, karena memang dia dari dulu sukanya sama cowok yang sudah punya pasangan. Pantas saja sampai sekarang belum punya gandengan. Kemana – mana selalu jadi gandenganku.
“Ra, tadi kamu lihat ceweknya Barra kan?”
Aku langsung menatap menyelidik. Anak ini kalau tanya random banget. Tadi tanya teman Bang Ezi ehh sekarang sudah bahas Barra. Dasar labil.
“Hemmm, ya lihatlah. Cantikan aku kan Din?” Aku menaik-naikkan alis.
Dina hanya menatap menyipitkan mata.
“Iya, cantikkan kamu tapi laku dia.”
“Astaga Din, omongan kamu itu lo. Laku kayak dagangan aja. Ehh tapi bener juga sih kata kamu. Lakunya kan karena nawar dulu.”
Kami berdua langsung tertawa ngakak sampai Bang Ezi dan Bang Rama yang duduk di dua meja sebelah kami langsung menoleh dan geleng-geleng.
“Boleh gabung gak?”
Aku dan Dina langsung noleh. Astaga ini Faqih bukan sih? Anak kelas D sahabatnya Barra. Aku dan Dina bengong kayak kesambet cowok ganteng. Memang ya mataku dan Dina tuh haus akan cowok ganteng. Lihat yang bening dikit aja udah kelabaan.
“Ohh boleh, kamu Faqih kan?” Aku menyakinkan dengan menanyakan namanya.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
Ya Tuhan, senyumnya itu bikin anak gadis kelepek-kelepek. Aku dan Dina langsung bicara lewat mata.
“Kamu Ara kan? Mantannya Barra?”
“Kenapa sih yang diingat dari aku hanya mantannya Barra. Tadi juga pas aku datang semua anak bilang.”
“Sorry sorry tapi beneran deh Ra, tadi tuh semua anak pas lagi kumpul juga ngomongin kamu. Apalagi yang cowok-cowok tadi juga. Pas ada Barra dan Silvi. Silvi langsung pasang muka jutek. Banyak yang bilang kalau kamu tambah glow up.”
Faqih menjelaskan banyak bangte membuat aku jadi penasaran gimana tampangnya mbak Silvi.
“Tapi ya Ra, ko mau ya Barra sama Silvi padahal kemana-mana mah jauh di kamu.”
“Ya namanya juga cinta Qih, yang cantik kayak aku bisa kalah.”
“Heh kunyuk, dari tadi muji diri sendiri cantik, gak malu tuh sama umur.” Dina protes gak setuju.
Dina mah sukanya protes terus. Gak rela dia kalau aku terlihat cantik menawan, mempesona, membahana.
Barra Barra kenapa sih nama kamu selalu muncul di setiap aku ketemu dengan teman SMP. Apa sebegitu terkenalnya kamu sampai yang mereka ingat dariku itu hanya bagian masa lalu mu.
Masa lalu ku memang kamu, tapi boleh gak sih jika aku berharap kamu jadi masa depanku.
“Selamat malam semua, malam ini saya ingin mempersembahkan lagu special untuk kalian semua. Selamat menikmati.”
Aku langsung melihat ke arah panggung, ternyata Barra sedang mempersembahkan lagu. Aku kaget ketika dia menyanyikan lagu “Masih” milik ADA BAND. Lagu itu pernah viral pada waktu kita masih SMP dulu. Dan lagi itu juga yang menjadi lagu favoritku sampai saat ini.
Aku sampai terbuai mengikuti syair yang dinyanyikan.
Rasa cinta
Yang dulu telah hilang
Kini berseri kembali
T’lah kau coba
Lupakan dirinya
Hapus cerita lalu
Dan lihatlah
Dirimu bagai bunga
Di musim semi
Yang tersenyum
Menatap indahnya dunia
Yang seiring menyambut
Jawaban segala gundahmu
Walau badai menghadang
Ingatlah ku ‘kan selalu
Setia menjagamu
Berdua kita lewati
Jalan yang berliku tajam
Setiap waktu
Wajahmu yang lugu
Selalu bayangi langkahku
Telah lama
Kunanti dirimu
Tempat ku kan berlabuh
Cahya hatiku
Yakinlah kekal abadi
Selamanya
Seperti bintang
Yang sinarnya
Terangi seluruh
Ruang di jiwa
Membawa kedamaian
Walau badai menghadang
Ingatlah ku ‘kan selalu
Setia menjagamu
Berdua kita lewati jalan
Yang berliku tajam
Resah…
Mata Barra selalu tertuju padaku. Aku tau kalau lagu itu untuk aku. Gila tuh anak padahal di meja depan panggung ada Mbak Silvi. Mana mata Mbak Silvi selalu menoleh ke aku lagi. Wahh minta di rukyah ini Barra. Mata Mbak Silvi juga minta dicolok tuh.
“Ra, ko Mbak Silvi dari tadi lihatin sini sih?” Dina ketakutan karena gak mau ada keributan.
“Ya jelaslah, kamu gak lihat tuh mata Barra dari tadi tertuju ke sini. Dia sengaja nyanyi lagu itu Din karena itu lagu kesukaanku. Dulu dia selalu nyanyi itu kalau saat bersamaku.”
“Ohh pantesan. Yukk kita gabung sama yang lainnya.” Dina mengajak aku meninggalkan meja dan ikut bergabung dengan anak yang lain di sebelah kanan panggung. Kebetulan di sana juga baru aja datang teman-teman yang lain. Cafe ini semakin malam semakin rame, makanya beberapa anak cowok datangnya sengaja malam.
Di sana juga ada Dimas, mantanku juga. Kita pacaran waktu kelas 3 SMP, satu bulan putus dari Bara aku langsung pacaran sama Dimas. Ternyata dulu aku fack girls kalau sekarang jangan ditanya, yang deket aja gak ada gimana mau pacar. Nih hati masih mentok di dia.
“Hay semua.” Dina menyapa semua. Di sini memang khusus segerombolan cowok cowok.
Wajah kaget yang mereka tampakkan. Apalagi wajah Dimas ketika tau kalau yang datang Dina dan Aku. Dia langsung senyum gak jelas ke arahku.
Nah, ini dari dulu yang aku suka dari Dimas. Selalu saja senyum walau senyumnya itu memang manis. Semanis madu sepahit empedu.
“Hay Ra?” Dimas menyapa dan mengulurkan tangan.
“Hay.”
Cie cie suara itu seperti paduan suara di malam hari. Padahal di panggung masih ada Barra yang sedang nyanyi. Kambing kan teman-temannya Barra.
“Tambah cantik aja nih.” Dimas memujiku tapi aku sudah kebal dengan rayuannya.
“Nyesel tuh pasti Barra putus sama kamu Ra, malah sekarang masih sama mbak-mbak itu.”
Nah kalau yang barusan suara Riki. Teman ku sekelas dulu.
“Aku juga nyesel Rik kalau kamu pengen tau.” Dimas ikut menyela.
“Iya, iya semua mantan Ara nyesel lihat Ara yang sekarang. Ara tambah cantik dan jadi langsing.” Dina memuji dengan nada jijik.
“Kampret kamu Din, mukanya bisa biasa aja kan?” Aku selalu protes jika Dina sudah menampakkan muka seperti tadi.
Malam semakin larut, tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku langsung mengajak Bang Ezi dan Bang Rama untuk pulang.
Waktu di jalan pun Bang Ezi juga menanyakan tentang Barra, karena menurut pandangan Bang Ezi tatapan Barra ke aku masih menyimpan rasa suka. Aku tidak bisa menampik jika itu memang nyata, tatapan dia ke aku pun juga seperti itu. Apalagi saat tadi kita berjabat tangan dan foto bersama. Genggaman tangannya terasa berat dan mengikat. Dia juga berbicara lewat tatapan matanya. Tapi aku tidak bisa membalas lama tatapannya karena ada pacarnya. Harus jaga perasaan dong. Kalau mau nikung juga harus yang elite.
Heran juga kenapa tadi Barra tidak mengajak aku berbicara. Dia memang ikut kumpul dengan anak yang lainnya, tapi tidak ada satu kalimat pun yang menanyakan kabar atau apa.
Dari situ aku jadi ragu kalau dia masih sayang sama aku. Apakah hanya mimpiku saja yang masing punya angan-angan bersanding dengan dia.
***
Pukul dua belas badan ku sudah bersih, sudah mandi dan bersih diri. Bahkan sudah memakai cream malam. Saatnya rebahan sampai mata terpejam. Tapi saat aku mengecek HP betapa terkejutnya ketika ada WA dari Barra.
Barra: Ra, maaf tadi gak bisa ngobrol. Kamu cantik. Kapan-kapan ketemu ya?
Speechles aku gak tau harus membalas apa. Untuk memegang HP pun tanganku terasa tak bertulang.
Berpengaruh sekali rasa sayang ini. Ternyata selama ini aku belum bisa melupakan dia. Ternyata akulah yang masih menyimpan rasa.
Untuk melanjutkan membaca BAB selanjutnya silahkan melakukan pinjaman buku harian atau membeli buku versi cetaknya