“tidak ada takdir yang tidak disengaja, semua takdir disengaja…”
1
Aku duduk di teras asrama sembari menyesap air mineral di tumblr kesayangan yang menjadi kebiasaanku beberapa bulan terakhir. Hari ini seisi pesantren pulang ke rumahnya masing-masing kecuali aku. Iya, aku perantauan yang tidak bisa terlalu sering pulang ke kampung halaman. Jarak yang jauh dan biaya yang tidak sedikit jadi alasan utamanya. Tapi sebenarnya itu hanya alasan saja, aku tidak pulang karena merasa belum memiliki rumah. Bukan rumah secara harfiah tapi rumah yang membuatku damai dalam rebah.
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Pendidikan Agama Islam. Tadinya aku ingin mengambil jurusan BK di salah satu Univ lain, tapi qadarullah aku lolos jalur UM-PTKIN di jurusan ini. Ketika ditanya ambil jurusan apa, aku selalu sungkan menjawab karena merasa jurusan ini tidak keren. Haha iya, sampai hari ini aku masih merasa salah jurusan. Aku menyebutnya tersesat di jalan yang benar.
Di asrama ini juga aku merasa pulang dengan nyaman, di kamar sendirian. Aku punya teman kamar sebenarnya, tapi dia belum kemari lagi setelah wabah covid 19 melanda. Aku tinggal di Pondok Pesantren Al-Faqih 2 Bandung, salah satu ponpes yang baru dibangun beberapa tahun lalu oleh Ustadz Syihabuddin. Satu-satunya ustad di sini yang begitu luar biasanya mendidik kami sehingga membuat kami merasa selalu haus ilmu.
Entah mengapa setelah lulus SMA aku lebih suka hidup di jalanan, maksudnya lebih suka lalu-lalang dan safar sendirian. Rasanya menyenangkan duduk di bis, di dalam kereta, di kapal, di atas pesawat tanpa mengenal siapapun di dalamnya karena aku jadi bisa bersandiwara menjadi siapa saja. Aku tidak harus berbasa-basi jika memang sedang tidak ingin berdialog, tidak harus merasa rendah diri cuma karena kurang materi, tidak harus minder karena status sosial dan nasab keluarga yang tidak ada istimewanya.
Setelah menjadi wanita dewasa yang dilepas bebas, aku banyak mengalami pengalaman menakjubkan. Pengalaman yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Oh iya, selama 6 bulan terakhir aku menjadi volunteer di salah satu organisasi kerelawanan. Aku bergabung satu tahun yang lalu lewat jalur orang dalam, haha ini menguntungkan. Memang begitu yang terjadi di Indonesia tercinta ini, jika ingin hidupmu lebih mudah maka perbanyak relasi karena jika nanti kamu membutuhkan bantuan untuk masuk ke salah satu bagian entah itu dunia kerja, kerelawanan, bahkan pendidikan kamu akan lebih mudah untuk memasukinya. Tapi sebenarnya itu bukan poin penting dari memperluas relasi. Memperluas perkenalan membuatmu lebih membuka mata dan peka terhadap keadaan. Bonusnya jelas, kamu akan lebih bahagia karena kebahagiaan itu menular, dan kebersyukuran itu akan bertambah jika kamu lebih sering melihat ke bawah. Bukankah melelahkan selalu mendongak ke atas dan mengikuti standar bahagia orang lain?
“Anala! Apa yang sedang kamu lakukan di atas sana” kudengar ibu pemilik asrama memanggilku agak memekik dari warung bawah. Ibu ini adalah ibu kami semua disini, kami sering memanggilnya dengan Bu Arif karena suaminya bernama Arif.
“Alana sedang menikmati lembayung senja Bu, enak sekali rasanya melamun disini” kataku sembari menatap langit yang telah sempurna berwarna jingga. “Masya Allah indah sekali ciptaanMu Allahku, tidak ada yang gagal, tidak ada yang cacat” bisikku dalam hati sembari tersenyum manis sekali.
“Ibu ikut naik ya, Alana” setelah selesai menaiki tangga. Ibu duduk di sebelahku, dan menyodorkan es krim rasa coklat untukku, “Ini buat kamu.”
“Aduh Ibu baik sekali” sahutku sedikit menjerit karena senang.
“Anala” kulihat Ibu ingin menceritakan sesuatu
“Iya Ibu cantik, ada apa?” kataku
“Ibu sebenarnya lelah sekali, rasanya pikiran Ibu bercabang. Banyak anak asrama yang nunggak bayar bulan ini, padahal kosan ini harusnya sudah direnovasi, belum lagi si teteh yang tidak mau mengurus Aca. Ibu capek, tapi ya mau bagaimana lagi. Setelah suami si eteh meninggalkan dia Ibu sudah menganggap Aca sebagai anak sendiri.” Kulihat mata Ibu mulai berkaca-kaca. Anak Ibu sudah bercerai dengan mantan suaminya yang merupakan anggota TNI. Mantannya itu tidak mau mengakui teteh sebagai istrinya dan menelantarkan Aca yang merupakan cucu Bu Arif. Ibu tidak pernah sungkan curhat kepadaku karena selain aku yang dituakan di asrama dan bertanggung jawab sebagai roisah, aku juga sudah dianggap Ibu sebagai anaknya sendiri.
”Pasti capek banget ya Bu” kataku sambil memeluk bahu Ibu. “Gapapa ya Bu, dunia kan memang tempatnya capek, semoga Allah hadiahi surga kelak buat Ibu karena kesabaran Ibu, ya.”
“Aamiin ya Allah”
Kami berdua saling diam dalam waktu yang cukup lama hingga adzan maghrib berkumandang dengan indahnya. Ibu turun lebih dulu, dan aku masuk ke kamarku.
2
Pagi ini setelah membaca kembali daily activity, aku bersiap-siap untuk melakukan rutinitasku selama kuliah daring. Karena hari ini tidak ada mata kuliah aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Aku suka sekali pergi sendirian apalagi jika itu di perpustakaan. Damai. Namun berbeda dengan biasanya rasanya aku ingin iseng mengajak sahabatku yang paling anti diajak ke perpustakaan. Namanya Neng Juariyah, orang Subang asli. Lemah lembut, wajahnya mirip orang China, matanya sipit dan kulitnya bersih. Bertolak belakang sekali denganku.
Setelah siap dan berjalan ke perpustakaan, aku mampir ke kosan Neng karena melewatinya.
“Neng ke perpustakaan yu, gabut banget nih!”
“Mau ngapain atuh Anala” jawabnya rengek. Ini jawaban dia setiap kuajak ke perpustakaan, dia selalu kebingungan setiap kuajak kesana karena katanya dia tidak nyaman
“Bingung mau ngapain juga” desisnya
“Ya perpustakaan kan tempat baca buku Neng, kenapa harus bingung. Ya kamu baca buku yang sekiranya kamu suka, itu juga yang aku lakukan kok, dan itu menyenangkan”
“Menyenangkan buat kamu yang aneh, yang kalo gabut malah baca buku ke perpustakaan”
“Dih! Daripada kamu kalo gabut malah nyanyi-nyanyi Korea apa itu, kalo enggak ya nonton anime, dasar wibu!” Celetukku agak kesal
“Ya kebahagiaan orang kan beda-beda. Kamu aja juga beda. Lagian salah sendiri bukannya chat dulu sebelum berangkat, siapa tau kan aku berubah pikiran” Kata Neng sembari mencuci baju.
“Ya udahlah aku sendiri aja ke perpustakaan, bye!”
“Dasar aneh!”
Aku berjalan asyik ke perpustakaan dengan earphone yang selalu menempel di telinga dan ditemani lagu Indie yang aku tidak tau apa judulnya.
“Selamat pagi, Pak” sapa ku ramah pada petugas perpustakaan
“Pagi Neng geulis, masih sendiri lagi hari ini?”
“Hehe, seperti biasa, Pak, masih betah” kujawab dengan sedikit tertawa
Sesampainya di lantai dua, aku langsung menuju bagian rak buku psikologi. Tanganku menyentuh satu persatu buku dan kutatap dengan serius. Aku mencari buku yang cocok untuk kujadikan rujukan proposalku. Aku memang jurusan keguruan tapi aku juga mencintai psikologi. 2 tahun kebelakang aku mulai membiasakan diri untuk akrab dengan psikologi, jadi saat menyusun skripsi nanti aku ingin mengerjakannya dengan senang hati karena judul yang kuambil adalah perpaduan antara metode pembelajaran di kelas dengan salah satu teori pembelajaran di psikologi. Tepat sekali judul ini, aku menyelesaikan studiku dengan hati yang berbunga karena materi yang dibahas begitu aku senangi.
“Yang mana ya” gumamku pelan sambil meneliti. Tapi aku malah salah fokus pada seseorang yang kulihat dari sela-sela rak buku. “Coach” mulutku agak menganga melihatnya. Beberapa detik aku menatapnya lekat. “Astaghfirullah” gumamku. beruntung aku memakai masker jadi tidak terlalu malu jika kepergok memperhatikannya. “Ah sudahlah, jangan disapa, nanti aku malah canggung untuk membaca dan mengerjakan tugas disini. Biarkan saja, nanti setelah di asrama aku akan bilang bahwa aku melihatnya.” Ini adalah kebiasaanku 2 tahun terakhir juga, aku suka ke perpustakaan bukan hanya karena suka membaca buku dan mengagumi keheningan di ruangannya, aku ke sana juga dengan harapan tidak sengaja bertemu dengannya. Terdengar konyol, tapi aku juga bersyukur jika di sana dia tidak ada.
“Ding dung ding” terdengar suara dari petugas perpustakaan yang mengumumkan waktu istirahat dan semua pengunjung dimohon untuk keluar. Aku berkemas, dan kembali memasang earphone di telingaku, mengembalikan kartu perpustakaan dan berlalu sembari kepalaku merunduk hormat menandakan pamit dan berterima kasih pada petugas yang sedang berjaga.
“Aku mau sholat dulu lah” kulihat pelataran masjid dengan sedikit melamun sambil menarik napas panjang. Aku masuk ke dalam masjid Iqomah, memilih tempat di pojokan dan ikut sholat berjamaah. Setelah selesai sholat aku banyak sekali berdo’a kepada Allah. Beberapa minggu terakhir rasanya dadaku sesak sekali, duniaku runtuh untuk yang kesekian kali. Kulihat jamaah lain sudah berhamburan, aku membenarkan posisi dudukku, mengangkat tangan dan merunduk “ Allahku, Yang Maha Pengasih Maha Penyayang Maha Kuasa dan Maha Baik, apakah aku sekuat itu? Kenapa Engkau percaya aku sekuat itu? Rasanya sakit sekali ya Allah, bahkan aku tidak bisa menyebut rasa ini sakit lagi. Kebas, tidak ada rasa lagi. Lukanya parah ya Allah, rasanya lelah, rasanya ingin rebah, rasanya tak punya rumah. Aku bingung Rabbi. Aku tahu, harusnya aku dicukupkan denganMu, tapi kadang rasanya ingin ada seseorang yang sepenuhnya mau mendengar, yang mau meminjamkan bahu untuk bersandar. Apakah ini salah ya Allah? Aku merasa sudah tidak takut kehilangan apapun lagi, tapi kenapa aku malah kehilangan diri sendiri?” air mataku sempurna tumpah. Aku merengek kesakitan tapi tidak mengerti harus menceritakannya pada siapa. Jadi inilah buruknya manusia. Manusia mengingat Tuhannya ketika tidak ada lagi tempat untuk kembali, tidak ada lagi tempat untuk mengemis dikasihani. “Allahku, kuatkan aku. Engkau Maha Kuat aku lemah, Engkau Maha Kuasa aku terbatas. Jangan pernah lagi tinggalkan aku, jangan menjauh Allahku. Jika aku mulai lalai karena sesuatu, maka ambil saja sesuatu itu agar aku kembali kepadaMu. Tapi tolong Allahku, tenangkan aku dalam rahmatMu, bahagiakan aku dalam ridhoMu, aamiin” aku bersujud lagi agak dalam, meneteskan air terakhir sebelum kembali pulang. Rasanya lega meski masalahnya masih ada, aku percaya semua ada hikmahnya, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan air mata seorang Hamba.
3
Pukul 21.10 aku sampai di kamar asrama. Tadi sore aku ke Pondok Senyum bersama Teh Lili. Teh Lili ini yang pertama kali mengajakku bergabung di kegiatan Senyum lebih dari satu tahun lalu. Hari ini jadwal buka bersama bareng adik-adik Pondok.
“Kak, kembar ya sama kakak yang itu?” Tanya adik Pondok yang paling ganteng
“Mana ada kembar”
“Tapi kalian berdua mirip lo, Kak”
“Emang iya mirip ya?” sahut Teh Lili sembari melirikku. Kami berdua memang sering dikatakan mirip oleh orang-orang. Ibu Arif tidak jarang memanggilku Lili begitupun sebaliknya. Aku sudah terbiasa dibilang kembar dengan Teh Lili, mungkin karena postur tubuh kami yang hampir sama, tinggi kurus semampai. Ya walaupun tinggiku melebihi wanita lain pada umumnya. Perawakan kami hampir sama, hanya saja Teh Lili lebih cepat berbaur dengan orang baru sedangkan aku harus sedikit menyesuaikan terlebih dahulu.
“Hayu pulang, Teh. Udah malem ini”
“Yuk, kita pamit dulu sama yang lain”
“Duluan ya, Teh, Kang”
“Hati-hati Teh, jawab semua orang serempak”
Aku merasa nyaman sekali di sini. Rasanya menemukan keluarga baru. Aku sudah beberapa kali ikut kegiatan besar di Pondok Senyum, dan yang paling berkesan adalah Maret Meirit kemarin, aku menjadi salah satu anggota di divisi humas. Aku jadi sering pergi ke daerah-daerah yang belum pernah ku datangi sebelumnya. Maret Meirit yang kami urus kemarin menjadi wasilah kami pergi ke Tasikmalaya untuk mengurus berkas-berkas pernikahan calon pengantin di Pengadilan Agama. Maret Meirit adalah acara rutinan setiap tahun untuk membantu para difabel dan dhuafa untuk dapat melangsungkan pernikahan yang sah dan tercatat secara negara. Waktu yang kami butuhkan dalam mempersiapkan ini semua sekitar 6 bulan berjalan. Selama persiapan hingga puncak acara, aku sendiri terperangah dan merasa malu karena merasa begitu kufur nikmat. Orang-orang istimewa yang kutemui ini beberapa tidak bisa melihat secara lahiriah, tapi batin mereka lebih kuat daripada aku yang sempurna fisiknya. Aku belajar banyak sekali, bahwa tidak baik untuk terus mendongak ke atas, lebih baik banyak melihat ke bawah, masih banyak yang susah, banyak yang kurang sempurna tapi kebahagiaan mereka karena kebersyukuran dan kesabaran mereka juga sempurna.
“Di jalan gak akan ngobrol kan, Teh? Tanyaku sembari memasang earphone dan helm.
“Engga lah, mana bisa ngobrol di motor, ngang ngong ngang ngong aja nanti yang ada”
“Ya udah deh, Anala pake earphone gapapa berarti ya?”
“Iya, sok aja”
Aku mulai menarik gas motor dan kami berjalan pelan. Suasana malam ini sendu sekali, aku memang memancingnya dengan memutar lagu-lagu self healing. Dan hujan tadi sore juga mengamininya. Sekarang jalanan dan udara basah memelukku.
“Mereka bilang syukurilah saja, padahal rela tak semudah kata” Aku ikut bernyanyi mengikuti musik sambil agak berteriak. Tangisku pecah sempurna. Hampir 3 minggu ini aku menahan kemarahan di dalam dada. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benci keadaan yang membuatku harus terlihat baik-baik saja. Memori dalam batok kepala kembali berputar tanpa permisi. Bahkan jalanan menuju arah pulang ini pun memiliki kenangan yang membuat hatiku bergetar lagi. Kulewati lebih dari 7 PT Indomarco di sisi jalan sebelah kiri. Aku selalu tersentak setiap melihat plang di depan toko, apalagi yang memiliki plang hijau di bawahnya yang bertuliskan Point Coffee. Tangisku pecah lagi.
“Allah, kenapa aku masih merindukan bajingan itu! Dia sudah bahagia, apa tidak boleh aku tenang juga tanpa kehadirannya?” Aku menangis lirih menahan sesak, agar Teh Lili tidak menyadarinya. The Lili tahu tentang ceritaku ini, tapi rasanya aku sudah malu jika harus mengatakan aku merindukan orang itu lagi.
Sesampainya di asrama Teh Lili pulang ke kamarnya, dan aku masuk ke kamarku. Biasanya setiap masuk kamar aku akan mengucap salam dan menyapa Boboho, boneka kesayanganku. Tapi aku sudah kembalikan pada pemiliknya 3 minggu yang lalu meskipun Boboho sudah menemaniku 3 tahun ini, aku tidak bisa melihatnya lagi karena rasanya akan menyakitkan mengingat seseorang melalui bola matanya. Aku menatap nanar ke arah cermin. Mataku merah, basah, dan terlihat sangat lelah. Aku bukan sedang lupa pada Tuhanku, ini adalah kemanusiaan yang wajar terjadi. Aku kehilangan dan merasakan apa itu kerinduan. Hal yang lumrah, meski aku sadar bahwa ini tidak boleh terjadi terus-terusan.
“Aku sudah tidak membencimu, Gata. Aku tidak akan melanjutkan ketololan ini. Bagaimana bisa aku meminum racun sendiri, tapi berharap orang lain yang akan mati?” Bisikku pelan sembari menutup mata lalu terlelap.
“kamu harus mandiri, harus kuat di atas kakimu sendiri. Semua akan pergi, manusia tidak selamanya membersamai. Kamu harus ingat bahwa namamu bukan hanya do’a, tapi tugas hidup juga.”
1
Sudah seminggu semenjak liburan dan asrama semakin sepi, hanya tersisa aku dan beberapa anak lain yang berasal dari kampus berbeda. Akhirnya aku keluar kamar saat sore setelah seharian membaca buku dan main handphone di dalam kamar. “Ah, ini baru hidup. Bosan juga ya ternyata tidak berinteraksi dengan siapa-siapa.” Mataku menyisir pemandangan di depan mata, kulihat ada seorang anak perempuan sedang bermain badminton dengan ayahnya. Anak itu terlihat begitu bahagia, kulihat tawa semburat di wajah manisnya.
“Ayah jangan terlalu keras memukul bolanya” keluhnya sambil sedikit terengah
“Hahaha ayo lebih gesit lagi ambil bolanya”
Tiba-tiba semua nampak hitam. Kudengar suara sayup-sayup yang aku kenal betul itu milik siapa
“Nduk, ayo lebih keras lagi memukulnya. Kalahkan papa. Jangan menyerah begitu. Ayo bangun lagi”
“Papa jangan terlalu keras mukulnya, tenagaku kan tidak sekuat papa. Aku perempuan lho, Pa. masih kecil juga” rengekku mencari pembenaran.
“Ah jangan banyak alasan, puteri papa kan beda. Kamu bisa kalahkan papa”
“Sudah Pa, jangan perlakukan anak perempuanmu seperti 2 kakaknya. Dia bukan laki-laki” Mamak membawakan kami pisang goren
“Iya tuh Mak, marahin papa” kataku yang sudah berada di sebelah mamak dan makan pisang goreng. Papa ikut menyusulku dan memegang kepalaku sedikit menjitak
“Kamu memang perempuan, tapi harus punya mental laki-laki. Jangan lemah, harus kuat. Nanti kalau sudah besar kamu gapai cita-citamu, ya”
“Siap komandan. Anala akan jadi TNI AD, atau kalau tidak menjadi seorang Polwan” Seruku penuh semangat. Papa tersenyum ke arahku dengan hangat.
Namaku adalah Anala. Aku satu-satunya anak perempuan di keluarga. Aku punya 2 kakak laki-laki dan papaku adalah seorang Brimob. Aku didik dengan cara papa sejak kecil, bisa dibilang cara kemiliteran yang beliau pakai. Anala adalah bahasa sansekerta yang artinya api. Setiap kutanya apa arti namaku papa tidak pernah mau menjawabnya. Pernah suatu ketika mamak kutanya dan katanya namaku ini disematkan dengan harapan agar aku menjadi mutiara untuk keluarga. Iya, menjadi api berharga yang menyinari kegelapan.
“Mak, aku mau main ke rumah Gata, ya!” pekikku agak keras dari luar rumah.
“Masih pagi Anala, jangan dulu. Nanti kamu dimarahi lagi sama Nyai Mas.
“Gapapa Mak, aku mau ikut membereskan rumahnya, hehe”
“Dasar kamu ya, awas aja sampai jadi omongan tetangga”
“Aman komandan” jawabku sembari berlalu.
Gata adalah sahabatku, sebenarnya kami adalah saudara jauh. Waktu masih SD aku selalu bertengkar dengannya dan selalu memanggilnya “Tiang Listrik” karena badannya yang kurus tinggi. Akupun tidak lepas dari ejekannya, dia memanggilku “Mak Lampir” karena dulu penampilanku memang acak-acakan. Pembawaanku yang tomboy membuatku acuh pada penampilan. Aku dan Gata adalah 2 orang yang bisa dibilang berkebalikan jiwanya. Aku yang acak-acakan seperti laki-laki dan Gata yang rapi, bersih dan selalu wangi seperti seorang wanita. Dan ini masih terbawa sampai aku sekarang masuk SMP.
“Gataa, main yuk” teriakku keras di depan rumahnya.
“Gata masih beres-beres, anak perawan sepagi ini sudah mengajak main saja apa tidak ada pekerjaan di rumahmu?” Sahut Nyai Mas dari jendela rumahnya. Aku berlalu dan memutuskan untuk masuk rumah Gata.
“Eh Anala aku masih membereskan rumahku”
“Iya tidak apa-apa aku akan membantumu” aku mengambil sapu dan ikut menyapu dalam rumahnya.
“Baik sekali sahabatku ini” celetuk Gata sambil menarik rambutku. Aku hanya mendesis karena kesal dan melanjutkannya sembari bernyanyi.
Aku masih ingat dengan jelas, kedekatanku dengan Gata bermula karena permainan Teka Teki Silang yang sering kami mainkan di rumah Ayuk Hida. Hampir setiap pagi kami bermain di bawah pohon mangga. Aku dan Gata akan berlomba untuk menjawab pertanyaan yang dibacakan Ayuk Hida dan yang kalah diantara kami akan dicoret menggunakan tepung. Tidak jarang kami jadi bulan-bulanan warga karena tertawa terlalu keras sangking bahagianya. Aku suka bermain ini dengan Gata karena dia juga sama pintarnya. Gata adalah kakak kelas 2 tahun di atasku. Aku adalah salah satu siswa di SDN Pandan Jaya yang belum pernah digeser dari peringkat pertama sejak kelas 2 begitu juga dengan Gata. Dia siswa pindahan dari Tangerang saat duduk di bangku kelas 4.
“Sudah jam 11.00, kita harus sekolah” pasti Gata yang mengingatkan ini karena dia yang paling lama mempersiapkan penampilan
“Ah enggak seru, kalah sih jadi mau cepat selesai kamu tuh”
“Sudah siang Anala, belum nyetrika baju”
“Yaudah” akhirnya kami bubar barisan. Aku pulang dan langsung bersiap-siap.
“Gata cepat, ayo berangkat” aku sudah di depan rumahnya dengan penampilan ala kadarnya. Setelan biru putih dengan dasi yang kuletakkan di bahu, rok pendek selutut, baju pendek yang kulipat, kaos kaki sependek mata kaki, dan rambut yang kuikat sembarangan. Aku tidak memakai apapun di wajahku, aku anti sekali dengan makhluk yang bernama bedak kala itu.
“Sebentar, ini sudah hampir selesai”
“Gata Gata, kamu ini harus pakai minyak rambut dan bedak segala. Mau sekolah atau fashion show” ejekku sambil tertawa
“Bawel banget si Anala, sudah selesai nih. Ayok berangkat”
“Aku atau kamu yang membonceng?”
“Aku sajalah, malu aku dibonceng kamu Anala”
“Dih, biasanya juga gitu.” Akhirnya kami berangkat membersamai yang lain.
Sesampainya di sekolah aku langsung turun dan dicerca banyak pertanyaan dari fans Gata.
“Anala kalian jadian?”
“Kok Gata mau si sama kamu?”
“Kalian cocok banget loh.” Bahkan guru-guru kami juga tidak kalah hebohnya.
“Astaga, Gata itu cuma sahabatku. Lagian apa cocoknya aku dengan Gata. Si menyebalkan itu bukan tipeku. Lagian kami ini sahabat dan tidak boleh lebih daripada itu. Cinta-cintaan itu menghancurkan hubungan” ceramahku pada mereka sambil meninggalkan gerombolan itu dan berlalu.
2
Malam ini hujan mengguyur desaku, aku memutuskan tetap berangkat menuju madrasah untuk mengaji. Aku mengaji di Madrasah Diniyah Babul Jannah. Madrasah yang ada di desaku sejak aku duduk di bangku SD. Madrasah ini bersebelahan dengan Masjid. Malam itu sedang hujan dan aku nekat berangkat karena takut ada adik-adik lain yang tetap mengaji dan tidak menemukan siapapun di madrasah. Aku sempat mengirim pesan singkat pada Gata sebelum berangkat sendiri
“Gata ayok berangkat ngaji”
“Ini sedang hujan Anala, pasti tidak ada yang berangkat juga. Aku mengantuk jadi mau tidur saja”
“Dasar kebo kamu ini”
“Paling juga kamu pulang sebentar lagi, aku yakin tidak akan ada Ustad yang berangkat”
“Aku akan tetap berangkat.” Aku berangkat sendiri menerobos hujan dengan payung. Sesampainya di Masjid turun semakin deras dan aliran listrik pun padam. Aku duduk di bawah beduk dengan memeluk lutut.
“Sepertinya tidak akan ada yang berangkat” ucapku lirih sedikit menggigil.” Selain karena tanggung jawabku sebagai santri yang dipercayai oleh pada Asatid, aku juga berani melakukan ini karena didikan dari papa. Aku tidak takut gelap, tidak takut sepi, bahkan tidak takut untuk sendirian dalam suasana yang mencekam. Papa dan mamak sudah membentuk karakterku sedemikian rupa sejak kecil. Mereka tidak pernah mempersoalkan jika aku tidak membantu pekerjaan rumah, tidak beres-beres, cuci piring, memasak, mengepel, mencuci, itu bukan masalah yang berarti. Mereka keras padaku soal pendidikan dan menuntut agar aku menjadi manusia yang punya wawasan luas. Pernah suatu hari aku tidak mau mengaji karena ada hafalan asmaul husna lantas aku berbohong bahwa kelasku sedang libur. Alhasil karena mamak tau aku berbohong soal pendidikan, ikat pinggang papa melayang ke punggungku yang hanya memakai kaos sangsang. Kuingat betul jumlah pukulan itu tepat 13 kali. Aku menangis tersedu meminta ampun
“Rasakan ya! Ini yang kamu dapat jika berbohong” Seru mamak sambil terus memukulku
“Ampun, Mak”
“Papamu tidak akan menolong jika ini masalah pendidikan, pekerjaan rumah sudah kutahan untuk tidak mengajarkan. Pahit Tin, pahit, jangan ajarkan dulu pada anak kita. Papamu selalu bilang begitu jika Mamak menyuruhmu membantu. Tapi mamak tidak akan tinggal diam jika kamu lalai pada sekolahmu, pada mengajimu, pada pendidikanmu”
“Mamak ampun, sakit” rintihku menangis tersedu.
“Sudah! Berhenti menghukum cucuku” kulihat Nyai memegang tangan mamak lalu menggendongku.
“Nyai, sakit sekali, apakah punggungku merah?
“Tidak apa-apa Cik, sebentar lagi juga akan sembuh, nyai olesi minyak kayu putih ya”
“Apa mamak tidak menyayangiku, Nyi? Tega sekali menghukumku begini, padahal baru sekali aku tidak mengaji. Biasanya aku juga selalu jadi kebanggaan di sekolah dan masjid lantas baru sekali aku nakal dan langsung dihukum begitu berat?” aku merengek di atas paha nyai.
“Mamak menghukummu begini justru karena dia sangat menyayangimu, dia tidak ingin kamu mengalami hal yang sama dengan apa yang mamakmu alami. Mamakmu hanya lulusan Sekolah Dasar dan ia mau anaknya punya pendidikan yang lebih baik dari dia.”
“Benar kata Nyai, kami berdua sangat menyayangimu, Nduk. Papa dan mamak tidak ingin kamu menjadi manusia yang bodoh. Coba ingat lagi, mamakmu sudah banyak menumpahkan cintanya padamu, dan kemarahan juga bentuk cinta. Kita pulang ya sayang.” Rayu papa kepadaku.
Setelah marah pada orang rumah biasanya aku akan “merantau” ke rumah nyai yang hanya di sebelah rumahku. Aku biasa melakukan ini karena merasa nyai pasti akan membelaku. Dan kedekatanku dengan nenek berlanjut hingga aku tumbuh menjadi remaja.
Aku sudah berada di barisan paling depan untuk senam pramuka pagi ini. Aku biasa memimpin yang lain bahkan kakak kelas untuk senam. Sejak SD aku suka ikut pramuka, setiap pulang dari kegiatan aku merasa menjadi polwan cilik. Gagah dan berani. Tidak jarang setiap sabtu sore setelah pramuka aku akan minta papa untuk mengajariku bela diri. Tapi namanya belajar bersama papa sendiri, aku tidak terlalu serius dalam pelajaran. Banyak tertawanya saja.
“Pasukan saya ambil alih, seluruhnya, siap grak. Rentangkan kedua belah tangan grak, tegap grak.” Aku memberi aba-aba pada seluruh pasukan sebelum senam.
“tet tetet tetet tet tetet tetet” suara speaker mulai terdengar keras. Semua senam dan dilanjut pada kegiatan lain.
“Kak, hari ini belajar apa?” tanyaku pada Gata yang saat itu sudah menjadi saka bhayangkara.
“Semaphore, siapkan teman-temanmu dalam barisan”
“Siap”
“Semuanya, siap grak.”
Aku di barisan paling depan. Saat itu aku ada sedikit masalah dengan Gata, dan karena ketidak profesionalannya sebagai senior dia membawa masalah kami sampai pada kegiatan pramuka.
“Anala!”
“Siap”
“Tunjukkan bagaimana huruf G.”
Aku menggerakkan tanganku asal, aku lupa menghafalkannya. Dan tentu saja tangan yang ku bentuk membentuk huruf yang salah.
“Salah! Push up 5x.” Aku terperanjat.
“Siap” aku push up dengan kaki yang kutekuk. Belum selesai rasa lelahku Gata sudah memintaku membentuk huruf lain. Alhasil setelah 4x push up karena tidak hafal aku menangis tersedu di depan semua orang. Gata hanya melihatku sinis.
“Salah sendiri tidak hafal” kata Gata pada senior yang lain.
“Kamu tidak boleh begitu Gata, banyak yang belum hafal juga. Kita baru sekali memberi materi ini, wajar jika Anala belum hafal. Kenapa juga dari tadi yang kamu tanya hanya Anala? Jangan bawa-bawa masalah pribadi kalian disini.” Timpal salah satu senior pada Gata. Senior yang tadi mengingatkan Gata akhirnya menghampiri dan berusaha menenangkanku
“Tidak apa-apa, nanti hafalkan ya Anala”
“Kenapa harus aku yang diberi pertanyaan dari tadi” jawabku lirih sambil menangis.
Gata memang seperti itu, setiap kami ada masalah hal-hal di luar kami juga terkena imbasnya. Ini bukan kali pertama, dan jelas bukan kali terakhir. Meskipun sepasang sahabat, kami sering sekali bertengkar hanya karena hal-hal yang tampak sepele. Gata selalu menceritakan tentang pacarnya kepadaku. Aku adalah penengah untuknya dan pacarnya. Aku kenal semua mantan Gata, dan tidak jarang mereka membenciku saat dulu masih pacaran dengannya. Mereka percaya bahwa tidak ada laki-laki dan perempuan yang bisa bersahabat tanpa saling memiliki perasaan. Padahal kami bisa, waktu itu kami bisa.
Pertengkaran kami saat itu dipicu oleh mantan pacarnya yang menjauhi Gata karena aku berkata bahwa Gata berubah semenjak jadian dengan pacarnya yang baru. Pacar baru Gata ini tidak lain adalah sahabatku. Jadi sahabatku pacaran dengan sahabatku. Semenjak itu aku merasa tersisih, aku benci cara Gata. Dan hubungan itu tidak bertahan lama. Mereka selesai karena pacarnya memilih lelaki lain. Gata akhirnya meminta maaf padaku dan entah mengapa aku selalu memaafkannya secara otomatis. Gata memiliki lebih dari 15 mantan dan semuanya aku kenal. Yang benci padaku berujung sayang. Aku adalah orang yang memastikan bahwa Gata dan pacarnya akan baik-baik saja. Aku flashdisk kehidupannya.
Suatu malam saat ada pengajian di rumah Gata, aku dan dia ada di atas loteng. Aku menemaninya menelpon pacarnya dan aku seperti kambing ompong hanya diam dan mendengarkan.
“Halo sayang” kata Gata sambil menunjukkan ekspresi menjijikkan pada wanita di ujung telepon
“Gata, menjijikkan sekali kamu, tak usah begitu. Sebentar lagi juga putus” kataku sambil mengangkat bibir
“Ih mulutnya ya Anala, dijaga sedikit. Aku sedang menelpon pacarku” bisik Gata bersungut-sungut
“Awas aja kalo putus ngebaik-baikin aku lagi”
“Iya bawel ih, diam dulu”
Gata memang begitu, hubungannya tidak pernah lama dengan mantan-mantannya. Gata mudah bosan dan tidak suka mengejar. Bahkan kebanyakan dari wanita itu malah yang menembak Gata lebih dulu. Ya wajarlah sahabatku ini tampan rupawan, putih, tinggi semampai, dan pintar. Tidak heran jika banyak yang tergila-gila padanya, kecuali aku.
Aku juga pernah suka pada beberapa orang, tapi aku bersyukur karena dari awal kisah cintaku yang masih cinta monyet itu, rasaku selalu bertepuk sebelah tangan. Aku tidak pernah mencicipi dunia pacaran mungkin karena terlalu fokus juga pada dunia percintaan Gata sampai aku melupakan diri sendiri. Aku tipikal orang yang bisa mengagumi diam-diam dalam waktu yang lama. Cinta monyetku saat kecil adalah temanku bertengkar di dalam kelas. Aku suka berkelahi dengan teman laki-laki yang nakal saat SD. Mereka takut kepadaku karena aku galak, bahkan aku diejek dengan sebutan “sapi galak.”
Tidak apa-apa, aku suka disebut begitu karena aku benci jika disepelekan dan dianggap lemah seperti wanita yang lain.
3
Malam ini aku mengaji di mushola yang jaraknya jauh dari rumah. Bukan tanpa sebab, ini semua karena madrasah yang biasanya kudatangi sedang ada di masa redupnya. Sejak berdiri pada 2008 silam, Babul Jannah mengalami berkali-kali ombak cobaan. Kadang terang kadang redup, kadang seolah mati kadang bersemangat sekali untuk hidup, begitulah. Malam ini aku ikut mengaji bersama mbak-mbak yang lebih dewasa dariku, kitab yang dikaji juga begitu. Kyai menerangkan tentang bab kewajiban hijab, beliau menceritakan tentang azab wanita yang disiksa karena tidak menutup auratnya. Aku menangis ketakutan saat pertama kali mendengarnya.
“Rasulullah pernah bercerita kepada Ali r.a : Wahai Ali pada malam mi’raj ketika aku pergi ke langit aku melihat wanita, wanita umatku dalam azab dan siksa yang sangat pedih sehingga aku tidak mengenali mereka. Oleh karena itu, sejak aku melihat azab dan siksa mereka aku menangis. Kemudian beliau bersabda : Aku melihat wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih. Wanita yang digantung dengan rambutnya dan otak kepalanya mendidih adalah wanita yang tidak mau menutupi rambutnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram” Kyai menjelaskan dengan serius dan melihat ke arah ku
“Nah, Nduk Nala, sekarang kamu tahu kalau menutup aurat itu wajib, tidakkah kamu takut akan siksaNya? apa tidak kasihan jika itu menambah siksa papa dan saudara laki-lakimu juga?”
Pengajian malam itu sukses membuatku mendapat hidayah yang selama ini aku abaikan. Sebelumnya aku tidak mau memakai kerudung sama sekali kecuali pagi hari 1 syawal, itu pun hanya sampai pulang dari rumah kakek. Aku bersyukur sekali karena selain keras kepalanya, papa juga mewarisiku pendirian yang teguh dan prinsip yang harus kugenggam kuat. Sebenarnya aku bukan anak perempuan yang awam sekali pada agama karena sejak masih balita aku sudah diajarkan agama dan mengaji oleh nenekku. Dulu, aku tidak mau memakai jilbab hanya karena ikut-ikutan seperti yang lain, pantang untukku melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Menurutku memakai jilbab dengan lepas pasang adalah bukti lemahnya pendirian. Aku bertekad untuk tidak pernah membuka lagi rambutku ketika sudah memutuskan berjilbab, dan malam ini ketetapan itu datang. Sepulang dari pengajian, aku menangis meraung di dalam kamar. Masih kuingat sekali kejadiannya, saat mati lampu di seluruh penjuru kampung papa dan mamak sedang berbincang di halaman rumah. Aku menangis tersedu memohon agar dibelikan pakaian panjang untuk dikenakan saat bersekolah.
“Aku tidak mau sekolah besok kalau papa tidak membelikanku pakaian panjang! Aku ingin berhijab!” raungku dari dalam kamar dengan tangisan yang mungkin didengar seluruh kampung.
Inilah buruknya aku jika sudah punya keinginan, harus sekarang dan tidak peduli bagaimana cara papa dan mamak mewujudkannya, yang kutahu mereka pasti mampu.
“Kamu kenapa Anala! baru pulang ngaji sudah kesambet setan saja” gertak papa dari kejauhan
“Aku ingin dibelikan baju lengan panjang, aku ingin ganti seragam sekolahku agar bisa memakai kerudung!
“Iya, besok kamu ke pasar dengan mamak, ya. Sudah, hentikan tangisanmu” nada bicara papa mulai turun dan aku diam tak menjawab lagi.
Aku menyeka air mata karena lega sembari menarik selimut untuk tidur ditemani gelapnya kamar. Aku tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya aku juga tidak mengerti kenapa harus menyampaikan keinginanku dengan ngambek dan tangisan, mungkin karena itu jadi senjatanya anak perempuan, hehe.
BACA BUKU 3 DIMENSINYA
Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno
Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini
Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini