Sapu Lidi

Saya sering merasa tidak tenteram saat membaca puisi karena terkadang sang penyair berhasil menyeret saya ke gelanggang pergumulan masalah yang ia usung.Pun begitu dengan puisi kawan saya ini. S. Rohmah telah menunjukkan betapa kecintaannya terhadap puisi sama besarnya dengan kecintaannya dalam memperjuangkan perempuan.Narasi puisinya yang ciamik, tidak sekadar mempertemukan percakapan imajiner, melainkan menjelma ruang persemayaman yang menghubungkan antara perjuangan dan leluhur.Cara S. Rohmah dalam memandang perempuan merupakan ciri utama dari keseluruhan kumpulan puisi ini. Pembaca akan disuguhkan tulisan beraroma khas perempuan Madura meski sang penyair tak tinggal di sana.Bagi saya, buku puisi ini serupa pisau Yusuf untuk Zulaikha. Bila tak percaya, carilah jawabannya dengan membaca keseluruhan puisinya.(Nurillah Achmad. Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival 2019. Penulis novel Lahbako dan kumcer Cara Bodoh Menertawakan Tuhan)"Di kedua lengkung telinga hampir sempurna itu, ku antingkan melati mekar sedang berkelakar di pekarangan rumah. Kemarin sore mamak menyuruhku merangkai bebunga dari sulur melati, mulai dari yang bergelantung hingga yang sulit dihitung."Pembukaan puisi yang anggun, menikmati sedari awal sampai akhir halaman adalah perjalanan menyusuri kenangan mbak Siti. Beberapa puisi ditulis untuk orang yang baginya berarti, saya sempat tersipu saat sebutan Gus menjadi halaman terpanjang di dalamnya. Saya yang tersipu, sebab kalimatnya sangat membiru.Puisi hebat ini saya nikmati bersama kopi di pulau Bali. Kamu juga, cobalah nikmati juga. Siapa Gus? Siapa orang yang ditulis dengan sejuk? Atau tanggal berapa kenangan mbak Siti yang barangkali juga menjadi kenanganmu?. Bacalah, setelahnya pasti kau jatuh cinta.Wilda Zakiyah (Founder Cakanca.id & Penulis Antologi Puisi tunggal Naluri Semesta & Kitab Aksara)