Beli buku versi cetak

PINJAM BUKU
Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book
Menatap langit yang kali ini tanpa bintang. Hanya hamparan warna gelap yang membuat mataku jadi berimajinasi sendiri menciptakan sebuah ilusi gambar di atas kanvas raksasa itu. Aku bukan tidak menyukai kehidupanku saat ini. Ketika aku terlahir jadi seorang anak biasa. Yang kedua orang tuaku lebih sering membuat keributan dibanding canda tawa dalam keharmonisan.
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku, Miqdad. Dia adalah seorang santri. Yang masih berstatus menjadi santri. Katanya, dia sebentar lagi lulus. Dan aku masih berseragam SMA. Adikku bernama Syakira atau biasa dipanggil Sasa. Dia baru berusia 7 tahun. Dan karena kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Papa. Sasa terpaksa harus kehilangan kedua penglihatannya, sewaktu Papa dulu membanting tubuh Sasa hingga kepalanya terbentur tembok. Aku tidak tau kenapa itu bisa membuat matanya rusak dan tak bisa melihat. Dokter bilang begitu, jadi ya begitu.
Keluargaku tidak sempurna. Bahkan aku hampir sangat membencinya. Karena menjadi bagian dari mereka adalah neraka bagi kehidupanku. Aku tidak suka Papa yang suka selingkuh. Aku pun tidak menyukai Mama yang terus mempertahankan Papa. Dan aku juga tidak menyukai adikku yang cacat. Terlebih aku membenci Bang Miqdad yang selalu tinggal di pesantren, tidak pernah pulang untuk sekedar tau urusan keluarga. Dia tidak hidup dari uang Papa dan Mama. Karena dia pesantren bebas biaya, aku tau itu. Karena dia adalah orang yang cerdas dan bisa diandalkan. Lain dengan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiam diri di dalam kamar untuk melihat langit.
Malam ini, aku duduk menghadap jendela. Kamarku di lantai dua. Jendelanya menghadap jalan. Perumahan selalu sepi. Mereka seperti tidak punya kehidupan selain beristirahat di dalam rumah yang hening dan tidak berselera tawa. Aku meringkuk memeluk kakiku. Dan memutuskan untuk keluar menuju balkon dan duduk disana.
Aku lihat ada beberapa mobil bak terbuka yang terparkir di jalan dihadapan rumahku. Mobil itu membawa beberapa barang-barang yang sepertinya itu adalah isi rumah.
‘Apa malam-malam begini ada yang pindah rumah?!’ pikirku. Ada beberapa orang yang turun dari mobil mewah yang satu itu. Aku lihat, dia menatap ke arahku. Yang aku hanya diam saja memandanginya. Aneh, dia mirip orang-orang di pesantren Bang Miqdad. Pakai sarung dan peci. Dia tersenyum ke arahku dan melambai. Aku hanya cuek lalu lebih memilih masuk kamar.
Aku tidak mau peduli dengan tetangga baru di depan rumah. Mereka sama saja tidak memberiku keuntungan. Karena rumahku akan selalu saja sepi dan ramai oleh suara perdebatan.
“Ayraaaa..” Aku mendengarnya. Aku dengar itu adalah teriakan dari Mama yang akan meminta tolong untuk membuatkan susu Sasa. Padahal ada pembantu yang siap sedia membuatkan, kenapa harus aku?!
“AYRAAA KAMU DENGER NGGAK?!” teriaknya. Aku balas teriak.
“IYA!” Dengan berjalan santai menuju kamar Sasa yang berada tidak jauh dari kamarku.
“Apa Ma?!” tanyaku santai, dengan tetap berdiri diambang pintu.
“Susu buat Sasa. Tolong bikinin”
“Kenapa sih harus Ayra, Ma?! Kan udah ada Bi Tur yang lebih siap siaga bantuin apapun kegiatan rumah”
“Kasihan, Bi Tur sudah istirahat. Lagian kamu nggak ngapa- ngapain kan? Yaudah sana!” Aku memutar kedua mataku. Kenapa sih?! Males banget harus bikinin susu tiap malem! Lagian kenapa itu mata nggak di operasi aja, nyari donor mata. Duit segini banyaknya buat apasih kalau nggak buat anak?! Dengan malas aku turun ke lantai bawah. Karena dapur ada disana. Saat aku membuka kulkas. Susu yang mau aku buat tinggal kardusnya doang.
Oh, Tuhan pasti aku disuruh beli di luar nih malem-malem gini.
“AYRAAA!!” Mama teriak dari atas. Aku melongokkan kepala ke ruang tengah.
“Abis Ma susunya” kataku pelan.
“Iya, itu tadi Mama lupa bilang. Sana kamu beli dulu, sekalian yang ukuran gedenya, yah!” Aku mengumpat dalam hati.
Terkutuklah kamu adik cacat! Waktu santaiku dibuang dengan hal-hal sepele kaya gini! Pengen banget jawab ‘nggak!!’ tapi nanti uang jajan yang jadi korban.
Aku menutup gerbang sekenanya. Dengan memakai jaket aku keluar rumah. Disekitar sini ada minimarket. Dan tetangga yang sepertinya dia baru pindah masih sibuk angkat barang. Pukul 9 malam mereka masih di luar. Apa enggak bisa pilih jadwal lain selain malem? Kayak enggak ada waktu buat besok aja.
Laki-laki berpeci itu yang sedang berdiri dekat mobil menyapa ramah aku dengan senyumnya. Dan aku tidak mau basa-basi busuk untuk sekedar meladeni senyumnya. Aku enggak kenal sama dia. Berpakaian seperti itu tidak menjamin bahwa dia itu laki-laki baik. Aku cuek dengan terus berjalan menuju minimarket.
“Selamat malam, Mba” Kasir itu menyapaku. Hih, capek deh jadi mereka. Setiap yang masuk harus mereka sapa begitu. Kalau sehari ada 500 manusia bolak-balik kesini, itu jontor nggak yah bibir ngucapin salam mulu?! Setelah selesai mengambil satu dus susu besar aku menuju kasir. Enggak ada yang mau ku beli selain ini. Biar cepet balik ke rumah!
“Sekalian isi ulang pulsanya, mba?” Aku menggeleng.
“Ada promo untuk belanja di atas 50rb yah, Mba. Bisa beli produk yang ada di hadapan mba ini dengan harga yang lebih murah”
“Enggak!” kataku judes. Lama ah bertele-tele. Aku sibuk! Cepetan ngapa sih! Dia membungkus belanjaku. Aku menyerahkan uang satu lembar seratus ribu. Cuman kembalian duaribu. Aku segera mungkin menjauh dari minimarket itu. Udah malem, dan udaranya dingin banget. Aku nggak suka lama-lama diluar. Lebih baik berdiam diri di balkon kamar menatap langit daripada harus berjalan menatap lingkungan sekitar yang gelap dan sepi.
Saat aku kembali, tetangga baru itu masih disitu. Dia kali ini hanya menatapku tanpa tersenyum. Sepertinya dia seumuran denganku. Tapi tidak tau juga sih. Tidak mau tau. Aku mengunci gerbang dan masuk rumah. Sesuai permintaan Mama aku membuatkan segelas susu untuk Sasa. Harus hangat! Dan harus aku antarkan sampai ke depan pintu kamarnya.
“Nih Ma, susunya” Aku langsung ngeloyor pergi saat tangan Mama sudah menerima gelas susu dariku. Aku mengunci kamar.
Ku buka jaketku dan merebahkan diri di atas kasur. Aku tidak begitu menyukai kehidupanku. Aku adalah penyendiri. Aku tidak terlalu suka berteman, ketika menurutku pertemanan adalah hal memuakkan. Tidak ada yang menyenangkan selain akhirnya mereka saling bertengkar dan berpisah hanya karena masalah laki-laki. Atau mereka suka saling membicarakan satu sama lain di belakang mereka.
Well, aku belum memperkenalkan namaku. Iya, tadi Mama sudah memanggilku dengan sebutan Ayra. Cukup dua kata, Ayra Saila. Yang artinya anak perempuan yang selalu dihormati dan akan menyinari hidupnya. Aku tidak tau, tapi kata orang nama adalah do’a. Dan aku masih menunggu sebuah keajaiban do’a dari namaku. Aku menunggu kehidupanku bersinar seperti matahari. Terang dan bercahaya. Aku menunggu kapan waktu itu akan datang dalam hidupku. Karena yang ku rasa saat ini adalah hidupku masih saja gelap seperti langit yang sering aku tatap.
Aku membenci banyak hal. Termasuk diriku sendiri yang lebih menyukai kesendirian dan sepi. Yang lebih menyukai perbincangan dengan kucing peliharaanku dibanding harus berbicara pada manusia. Whisky namanya, dia sudah tertidur lebih dulu di bantal sebelahku. Bukan kucing ras yang sengaja aku beli di toko-toko itu. Dia hanya seekor kucing kampung yang aku rawat sedari kecil. Dulu aku menemukannya tercebur got di sekitar rumahku. Dan semenjak itu aku merawatnya hingga dia berumur 2 tahun saat ini.
Aku menatapnya yang tertidur pulas.
“Selamat malam, Whisky!” Aku mematikan lampu tidurku dan menenggelamkan diri dalam selimut tebalku.
Aku hanya berharap ada sesuatu yang dapat memecahkan ruang gelap dalam hidupku dan memberiku sedikit sinar cahaya untuk menghangatkan dingin yang memelukku.
Bersama malam yang masih saja sama, aku ingin melupakan semuanya!
Angin menerpaku begitu saja. Melewatiku atau bahkan memelukku sekejap lalu pergi. Bawa saja semuanya. Beban yang terasa berat untuk aku bawa. Kesedihan yang selama ini menggenggam erat hidupku. Dan segala rasa yang meresahkan hatiku.
Aku menemukan cahaya dalam ruangku. Yang sedang membawaku kepada pelita. Memberiku terang seketika. Dan berusaha untuk menciptakan sebuah tawa.
Aku mulai senang berayun. Saat angin mulai berlari menerbangkan banyak dedaunan. Aku merasa seperti semua beban terlepas begitu saja dari pundakku.
“Lebih kenceeeeng!” teriak Habib. Dia mendorongku lebih
keras.
“Aaaaa.. Hahaha!!”
Aku tertawa. Aku baru saja tertawa tanpa beban.
Selama ini yang aku takutkan adalah mempercayai seseorang. Tapi kali ini, Habib berhasil meyakinkanku bahwa tertawa itu adalah hal yang mudah. Aku percaya itu sekarang!
Aku tidak tau kenapa aku terus tertawa dan Habib dengan mudahnya juga ikut tertawa.
Apa itu kesenangan yang dia bicarakan tadi? Apa itu berarti aku menikmatinya?
Benarkah?!
Habib adalah makhluk aneh! Seketika semuanya dia buat mudah dan sederhana! Menyulap hari-hariku yang abu-abu jadi sedikit lebih berwarna.
Ayunanku berhenti. Dengan sisa tawaku, juga tawanya. Dia duduk di ayunan sebelahku. Aku menatapnya. Dia baik!
“Haduhhh, capek!” keluhnya.
“Makasih” Aku memelankan suaraku. Nggak tau dia denger
apa enggak. Dia kipas-kipas dengan tangannya.
“Sama-sama, Ayra..”
Aku menoleh lagi padanya. Dih, dia denger?
“Pulang yuk? Jangan kelamaan di luar rumah. Nanti kamu
saya culik, tau rasa” Dia bangkit dan nyelonong pergi duluan. Yehh, apaan sih dia? Dasar alien! Nyebelinnya tetep aja ada! “Dasar alien!” gerutuku.
“Enak aja! Saya duluan itu yang ngomong kalau kamu alien. Kok malah ngatain saya alien sih? Kalau gitu sesama alien jangan mengejek. Sama-sama aneh!” Aku ketawa.
“Maaf, ya. Aku alien berkelas!” Aku menyombongkan diri.
“Kalau saya tega mah udah saya jorogin kamu!” katanya
sedikit geram.
“Hahaha.. Bukan karena nggak tega. Tapi, kamu itu nggak berani”
“Saya pegang nih kamu?” Dia bersiap untuk menyentuh
pundakku. Aku menghindar.
“Eitss, berani nyentuh aku dengan sengaja. Aku tendang kamu!!” ancamku.
“Haha. Lebih takutkan siapa sekarang?” Aku melirik sinis
padanya.
Sepanjang jalan Habib terus meledek untuk menyentuhku. Aku harus berteriak beberapa kali untuk menghentikan aksinya. Dia sangat menyebalkan!
Tapi, dia mengantarku sampai di depan jalan gedung apartemenku. Karena taman yang dikunjungi tadi cukup dekat dengan apartemenku.
Dia yang mengajakku untuk keluar kamar tadi siang. Dan ini memang sudah sore. Makanya dia mengajakku pulang. Aku hanya keluar sebentar. 2 jam.
“Kamu masih ada uang?” tanyanya. Ku anggukan kepalaku. Masalah uang sih, tenang aja. ATM-ku penuh. Yang kosong itu bahagia dalam keluargaku.
“Yaudah. Jangan banyak pikiran. Kalau dengan menyendiri bisa membuat kamu merenungkan segalanya. Silahkan lakukan! Tapi jangan lakukan sesuatu yang bakal merugikan hidup kamu, Ay”
“Dan kalau kamu butuh seseorang. Kamu tau kemana harus pergi”
Dia pamit. Aku hanya terus berdiri melihatnya yang sudah jauh langkahnya.
Dia berbalik melambai padaku. Aku tetap mematung menatapnya. Lalu membalas lambaiannya.
Baru kali ini, aku berteman. Dan ternyata itu tidak seburuk yang aku bayangkan. Atau mungkin karena Habib adalah manusia yang berbeda dari beberapa orang yang aku kenal, hingga dia mampu membawaku berbaur dengannya dalam waktu yang singkat ini.
Menyusuri setiap memori dalam ingatanku. Dia masih terlihat seperti itu. Aneh dan selalu melakukan hal yang tidak aku duga.
Sejauh ini, aku harap tidak akan menemukan kekecewaan darinya.
Aku menghempaskan diri diatas kasur. Tersenyum tiba-tiba karena kejadian di taman tadi juga sepanjang jalan pulang.
Aku tertawa. Benar-benar tertawa! Aku tidak menyangka bahwa bisa semudah itu tertawa.
Atau, karena aku senang berada didekat Habib jadi aku bisa menikmati perasaan senangku?
Aku tidak tau!
Yang jelas. Aku hanya ingin bahwa hari-hariku akan terus seperti itu.
Dan aku baru menyadari bahwa di taman tadi aku menyebut namanya. Untuk kali pertamanya. Rasanya aneh!
Tapi, aku senang!
Perlahan tapi pasti, aku membuka ruangku untuk diberi sedikit demi sedikit penerangan darinya. Dia itu petugas PLN kayaknya!!
Atau emang bener alien yang sengaja dikirim Tuhan untuk menyenangkan aku?! Wahhh pantesan aneh!
“Habib.. Habib.. Habib..”
Aku senyum tiba-tiba. Dan langsung beranjak menuju kamar mandi. Aku belum sholat ashar!
Matahari terbenam perlahan. Melahirkan warna jingga yang memukau setiap mata yang memandang. Disana, terkandung ribuan cerita yang menyimpan banyak pilu.
Tentang rasa kehilangan. Tentang hati yang patah. Tentang cinta yang disia-siakan. Tentang kerinduan yang tak tersampaikan. Tentang jiwa lemah yang terabaikan. Tentang hidup yang tanpa kebahagiaan. Tentang luka yang terdalam. Tentang waktu yang berlalu masih saja sama memilukan.
Aku menyukai senja. Terlebih karena kehadirannya hanya sesaat. Meninggalkanku banyak tanya. Kemana dia pergi setelah ini?
Dan hadirnya selalu memberi banyak kesan mendalam bagi para penyukanya. Mengantarkan warna kepada gelap yang menyapa. Resah dan remangnya sang malam. Mengajarkan aku akan arti bahagia yang tidak pernah bisa bertahan lama. Dia akan menghilang bak senja yang ada dipelataran.
Aku juga pernah sangat bahagia ketika sang perusak segalanya belum ada. Aku juga pernah mendapat hangatnya sebuah pelukan dari keluarga sebelum semuanya hancur berantakan.
Barangkali, rindu inilah yang membuatku muak menghadapi kenyataan hidup. Dan akhirnya aku memilih untuk menyendiri bersama sepiku.
Jika saja, aku mampu menerima. Mungkin tidak akan ku alami luka yang separah ini.
Sudah jelas aku membenci kehadiran mereka yang masih berpura-pura perduli padaku. Padahal tidak. Keegoisan mereka untuk bahagia mereka sendiri, adalah satu alasan yang membuatku sulit untuk mempercayai seseorang.
Bagiku, tidak ada yang lebih memuakkan dibanding dengan kepura-puraan.
“Ayra..”
Aku menoleh.
“Papa..”
“Kamu ngapain di apartemen Papa? Pantesan enggak dikunci” Papa berdiri dengan seorang perempuan berkerudung. Yang entah itu siapa.
Aku mengalihkan pandanganku. Dan kembali kepada senja yang hampir menghilang.
“Ayra, kenalin ini”
“Hmm..” Aku tidak mau peduli. Dia siapa dan untuk apa
disini.
“Ayra kesini, denger Papa nggak?”
Denger? Apa Papa juga pernah denger keluh kesah Ayra? Apa Papa pernah ada disamping Ayra untuk mendengarkan semua cerita Ayra? Sekarang, dengan egoisnya Papa bilang untuk aku mendengarkan omongan Papa? Adilkah itu?
“Ayra kenapa diam? Kesini!”
Aku mendekat ke arah Papa, dan tidak mau banyak bicara. Karena semuanya adalah percuma.
“Ulurkan tangan kamu. Kenalkan ini Mamah kamu juga”
Aku tau, itu. Siapa yang Papa bawa. Siapa yang Papa kenalkan padaku. Aku sudah tau itu!!
Dia menjabat uluran tanganku.
“Nama kamu siapa, sayang?” tanyanya dengan nada yang terdengar seperti pencitraan di depan Papaku agar terlihat baik padaku.
“Pasti tante udah tau kan nama aku? Kenapa harus nanya?” “Ayra!!”
“Apa, Pa? Ayra kesini buat nenangin diri. Bukan nambah beban pikiran dengan liat Papa bawa selingkuhan Papa kesini!”
“Kamu jaga mulut kamu, ya!! Dia ini istri Papa!!” “Sudah, Pa. Gapapa..”
Ha, aku muak!!
Dan aku tidak peduli!!
Menikah dengan dua orang perempuan? Untuk apa? Ketika Papa tidak pernah bisa adil dalam membagi waktu. Aku saja tidak pernah diperdulikan.
Serakah!! Iya, menurutku serakah!! Aku benci mereka!!
“Ayra!! Kamu mau kemana??” teriakan Papa tidak aku
perdulikan.
Aku ingin pergi dari sini. Aku tidak mau satu atap dengan perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangga orangtuaku. Dan juga bahagiaku!
Apa mereka tidak punya pikiran? Apa mereka tidak pernah memikirkan bagaimana keadaanku sedari dulu hingga sekarang? Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran mereka? Hidup mereka saja? Lalu untuk apa aku disini?! Hah?? Untuk apa aku ada didunia ini jika tak pernah diperdulikan oleh mereka??
Aku menuju lobi. Kemana saja asal tidak dengan kedua orangtuaku saat ini.
“Aduhh..”
Aku tidak tau jalanku yang salah atau jalan orang yang ku tabrak yang salah. Yang jelas aku tidak mau disalahkan!
“Maaf” katanya.
“Kamu ngapain disini?!” tanyaku heran.
“Ehh, anu saya lagi ada urusan. Kamu abis nangis, Ay?” “Nggak perlu tau!”
“Saya tau” Dia menatapku, tapi ku palingkan wajahku.
“Eh, saya tau kamu pasti mau keluar kan? Baru adzan tadi, pasti belom sholat. Ke mushola dulu yuk? Nanti saya ajak keluar”
Dimanapun aku, maka akan ku temui dia dalam setiap sudut langkahku.
Maka akan ku temui dia, dalam keadaan sedihku. Maka akan ku temui dia, dalam kesendirianku.
Kenapa? Dan jawabannya adalah aku tidak tau.
Yang jelas dia mirip banget alien yang bisa pindah tempat seketika. Mungkin begitu. Atau mungkin dia punya kekuatan supranatural yang bisa tau keadaanku bagaimana. Haa menyeramkan!
“Kamu kenapasih?!” tanyaku. Sambil berjalan melewati
jalanan malam yang masih saja berisik. “Kenapa apanya, Ay?” tanyanya bingung. “Selalu ada dimanapun” Dia ketawa.
“Apaan sih, nggak lucu deh!” Dia berhenti melangkah, dan
menatap ke arahku.
“Kamu percaya rencana Tuhan, Ay?” Aku mengerutkan
dahiku.
“Nggak!” Lalu ku lanjutkan berjalan lagi.
“Loh selama ini kamu hidup dengan apa kalau enggak sama rasa percaya?”
“Nggak tau”
“Kamu itu sebenernya percaya, Ayra. Hanya saja, kamu tidak mau terlalu mempercayai percayamu. Takut kecewa”
“Apasih ngomong muter-muter nggak jelas!”
Dia ketawa lagi.
“Sekarang kamu mau kemana?” tanyanya. “Kemana aja!”
“Pulang ke rumah, ya?” Aku menghela napas. “Biar apa?”
“Itu kan rumah kamu, Ayra. Masa pulang ditanya biar apa. Kamu nggak kasihan sama Whisky?!”
“Hah? Yaampun aku lupaaa!!!” teriakku. Seminggu aku nggak kasih dia makan. Dia masih hidup apa nggak? Oh, Tuhan aku nggak rela kalau dia mati!
Habib nyengar-nyengir nggak jelas.
“Kenapa kamu?! Gila yah?”
“Yee sembarangan aja kamu kalau ngomong. Lucu aja saya liat tingkah kamu. Paniknya cuman karna kucing doang” Eh, apaan dia? Doang?!
“Heh! Denger yah! Jangan bilang ‘ cuman karna kucing doang’. Kamu nggak akan tau rasanya nggak dimengerti kecuali sama kucingmu!”
“Aduhh, Ayra-Ayra .. Sampai kapan sih kamu nggak percaya kalau keluargamu itu benar-benar perduli sama kamu?” Loh memang mereka tidak perduli.
“Saya ajak kamu pulang, ya. Ke rumah. Dan besok kamu harus sekolah. Cukup sampai hari ini kamu kaya gini”
Aku diam tidak menanggapi.
“Whisky, baik-baik aja kan?” tanyaku. Dia senyum.
“Tenang. Aku udah kasih tau Bibi buat nggak lupa ngasih makan, kok” Fyuuuhhhh! Lega banget! Aku kira kucingku nggak akan ada yang ngurus. Dan takut banget kalau sampe dia mati kelaparan. Lain kali kalau mau kabur, aku harus bawa Whisky.
Telepon Habib berdering.
“Eh, bentar, Ay”
Dia mengangkat teleponnya.
“Iya, Umi?”
“Hmmm, iya. Lagi dijalan mau nganterin”
“Iya siap-siap, Umi”
“Iya, enggak akan lupa kok” “Siap, Umi”
“Wa’alaykumussalam”
Dia menutup teleponnya.
“Ibu, kamu?” tanyaku hati-hati. Dia nyengir.
“Iya, biasa, Umi khawatir saya nyulik anak orang” “Dihh, berarti kamu biasanya kaya gitu?” selidikku.
“Nggak sih, baru sekarang aja saya sering nyulik anak orang buat dibawa lari dari rumah. Soalnya orangnya frustasian enggak jelas sih. Kalau dikandang terus takut tambah ngamuk, ntar kandangnya dirusak”
“Maksud kamu, aku ini apaan?!” sewotku. “Saya nggak bilang kalau itu kamu, loh yaa..” “HABIIIIIIIB !!!”
“Hehe..”
Sepanjang perjalanan aku memilih untuk diam menikmati setiap suasana. Tidak pernah keluar rumah semenjak tidak ada Bang Miqdad. Kali ini aku baru bisa menatap langit dari luar rumahku.
Dan Habib juga lebih memilih untuk celingukan atau sekedar menyapa orang-orang dijalanan.
“Ayra, yang lebih utama dari kebahagiaan adalah kepercayaanmu pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa bahagia tanpa harus didapatkan dari oranglain. Jangan menunggu untuk dibahagiakan. Sementara kamu bisa menciptakan bahagiamu sendiri. Jangan melihat kesulitan, ketika kamu masih mudah untuk melakukan segala sesuatu tanpa batas. Lihatlah langit yang selalu kamu tatap. Bahwa disana selalu ada bintang meskipun ia mendung tertutup awan. Kamu hanya harus percaya. Bahwa kamu selalu mampu melakukan segalanya sendiri”
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur. Habib selalu berkata panjang lebar. Selalu mencoba mendorongku untuk meyakini sesuatu.
Aku menoleh ke bantal sebelahku. Whisky sudah terlelap. Tadi, aku hanya berpapasan dengan Bi Tur. Dan ku tanya dimana Mama. Dia menjawab, Mama sudah tertidur dikamar Sasa. Ya, dan dia tidak mencari kemana aku selama seminggu ini. Dia tidak pernah khawatir pada keadaanku. Anaknya hanya Sasa.
Aku membalikan tubuhku ke arah Whisky. Hariku dipenuhi oleh alien.
Habib selalu memberiku banyak alasan untuk bahagia. Tapi aku tak pernah mau melakukan perubahan sedikitpun. Aku masih merasa bahwa semuanya akan selalu sia-sia. Dan aku tidak siap untuk menerima segala konsekuensinya.
“Meoong..” Whisky terbangun. Dia langsung mendekat ke arahku.
“Kangen yaaa?” tanyaku. “Meoong..”
“Yaampun kasian banget. Sini, sini peluk dulu” Aku
memeluknya erat.
“Whisky, hari-hariku berat sekali. Maaf yaa sampai lupa sama
kamuuu”
“Meoong” dia selalu menjawabi ketika aku selesai bicara.
Seperti dia memahami apa yang aku katakan.
“Tidurnya aku peluk yaaa!”
Aku cium puncak kepala Whisky. Aku menyukai kebersamaanku dengan Whisky. Membuat aku jadi lupa bahwa aku tidak diperdulikan. Karena Whisky selalu menghiburku disaat aku sedang banyak memikirkan sesuatu.
Suaranya, tingkahnya yang kadang membuatku tertawa. Atau cara tidurnya.
Tidak jarang dia memecahkan barang-barang dikamarku. Atau merobek buku pelajaranku. Dan ketika aku memarahinya, dia akan memasang muka paling melas hingga membuatku berlari untuk memeluk atau menciumnya. Dan tidak jadi marah!
Aku melirik jam. Pukul 9 malam. Oh, ya ampun!!
Aku lupa belum sholat isya!!
Bergegas ke kamar mandi. Dan Whisky yang tadi dalam dekapan ku lepas begitu saja. Dia terkejut, dan mengeong.
“Maap, Whisky! Aku sholat dulu!”
Sampai dikamar mandi, aku keluar lagi dan menatap jengkel pada Whisky!
“Kamu kalau abis pup itu disiram! Dasar jorok!!” sewotku.
Dan dia hanya menjulur-julurkan lidahnya.
“Awas kamu, Whisky!” aku mengancamnya. Dan dia hanya
mengeong menjawabi ancamanku.
Untuk melanjutkan baca BAB selanjutnya silahkan bisa pinjam buku harian atau bisa membeli buku versi cetaknya