Matahari terbit dari ufuk timur, perlahan naik ke permukaan bumi. Memancarkan sinarnya menerangi dunia. Embun pagi yang menetes pada daun, seolah menyadarkan dari lelamun. Aira yang keseringan menerbangkan pikirannya lantas ia tersadar dari lamunan. Rupanya gemericik air hujan tadi malam sempat menyuguhkan kedamaian, sedikit menghadirkan ketenangan. Meski begitu tetaplah tidak bisa mengubah keadaan, dari kehilangan yang mengakibatkan keterpurukan. “ternyata sudah pagi, kufikir masih malam hari“ ucap Aira dalam hati. Menangis sehari semalaman sepertinya sudah membuat ia lupa waktu, hingga tak menyadari jika hari telah berganti. Otaknya masih dipenuhi dengan kata “andaikan”, ya menurutnya andaikan ayah masih hidup pasti tidak akan sesedih ini. Masih bisa tertawa haha hihi, memandang dunia dengan segala isi disambut dengan sepenuh hati. Tapi kini semua telah berbeda, tidak begitu mengerti tentang semuanya. Hanya satu yang ia tahu, bahwa sayapnya telah patah karena kehilangan otot pelindungnya. Tak bisa lagi terbang dengan leluasa, menghadap angkasa penuh bahagia. Karena yang tersisa hanyalah duka lara, pedih terasa.
Bagaikan burung yang jatuh tersungkur, terperosok hingga terpojok. Dibawah kurungan sangkar, Aira merasakan hidup yang kini berubah menjadi sukar. Burung yang dahulu terbang melintasi nabastala, mengelilingi bumi beserta isinya. Saat ini burung itu tertunduk lesu, seperti terkena panah yang membuatnya tak berdaya. Panah nestapa, yang mengubah situasi segalanya. “Kenapa ayah tidak mengajakku pergi, ?” suara itu muncul dari benak gadis kecil yang bernama Aira. “aku ingin pergi bersama ayah“ kembali suara batin Aira berucap demikian. Selalu teringat memori kebersamaan bersama Ayah tercinta, masa-masa indah penuh kasih sayang. Perhatian yang tercurahkan, kini tak lagi didapatkan. Sukma yang tak lagi melekat di raga, membuat ayahnya tak bisa lagi berdiri kokoh seperti sedia kala. Wajah segar itu berubah menjadi wajah pucat yang membuat hati tersayat. Selalu terlintas memori-memori itu, yang kian menyelimuti kalbu. Rindu kepada orang yang telah tiada, merupakan rasa sedih yang tak terkira untuk Aira. Kini ia hanya bisa memandang foto ayah tercinta, di lihat dari foto keluarga yang termuat dalam album photo di laci kamar ibunya. Pada album photo itulah, terpampang jelas foto dirinya bersama ayah , ibu, kakak perempuan serta adik laki-lakinya. Keluarga inti yang foto bersama, memberikan kenangan tersendiri ketika salah satunya ada yang sudah pergi.
Ia seperti tidak menerima takdir yang sudah terjadi, rasanya ingin selalu membersamai seorang ayah yang telah dahulu pergi. Tidak menyadari apa arti dari semua ini, sebab terlalu dini untuk memahami. Cerahnya langit tak seperti cerahnya kehidupan yang Aira rasakan, seakan pahit seperti seduhan kopi alami. Kopi itu dipetik dari tumbuhan yang asri, dijadikan obat untuk Aira yang tengah demam berhari-hari. Konon, menurut orang zaman dahulu yang meyakini bahwa kopi bisa dijadikan obat alami untuk ikhtiar penyembuhan. Termasuk Narsih (ibunya aira) yang juga mempraktekkan hal itu kepada anaknya, dengan harapan Aira bisa sembuh seperti sedia kala. Demam yang begitu tinggi, seperti kompor yang menyala nampak membuat khawatir rumah dan segala isinya. Sempat terbaring karena tidak sadarkan diri, kini Aira kembali bisa melihat dunia dengan segala isi.
Hujan telah bersaksi melihat tangisannya yang tak kunjung henti, hingga membuat fisiknya jatuh tak terurus. Bagaimana bisa dirinya mengurus dirinya sendiri?, sementara batinnya diliputi kesedihan yang kian menggerogoti. Fisiknya tertidur sebentar, namun pikirannya tidak pernah tidur. Selalu mengajak diskusi perihal kehilangan ini, entah bagaimana harus menyikapi. Melihat atap rumah yang telah padam lampunya, pun dinding rumah yang sudah kering dari rembesan air hujan semalam. Memandang seisi kamar seperti bunga yang tak lagi mekar, sudut sudut pojokan yang selalu di beri pertanyaan “apakah kau menyembunyikan,?” tanya Aira kepada benda mati. Tetap saja tidak ada jawaban, benda mati itu tak bisa berkata apa-apa. Seperti Air yang juga tak mampu mengungkapkan rasa, dari perasaan kehilangan yang begitu dalam. Dirinya berasa seperti ditikam, tetapi tak mampu mengatakan sejujurnya pada seisi alam. Narsih yang peka akan keadaan anak keduanya (Aira), ia duduk di samping menemani Aira bangun dari tidurnya. Tepat sebelah kanan posisi tidur, Aira melihat sosok wanita berada di sebelahnya. Sosok itu tak lain ialah ibunya, yang sudah menemani dirinya sewaktu dalam keadaan tidak sadar dalam mengistirahatkan badannya. Pikiran yang teramat lelah, bertumpu pada beban mental. Merasakan kesedihan berlarut-larut hingga menggerogoti tubuh, kehilangan ayahnya adalah suatu hal yang sangat menyedihkan untuk Aira.
Sekedar mengingatnya saja tak kuasa, apalagi jika memori kenangan itu muncul secara tiba-tiba. Sungguh membuat nada bicara tak bisa lagi berkata-kata, hanya dirasa sesak di dada. Mulut membungkam, namun hati terasa seperti lebam. Darahnya merah, namun hatinya tak terarah. Masih selalu terngiang-ngiang tentang dikau yang disebut Ayah.
Ayahnya meninggal sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 1 SD. Pemilik nama Aira Ashifa Septiana ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Saat ayahnya meninggal, pada waktu itu kakak Aira masih berusia 10 tahun, Aira sendiri berusia 7 tahun dan adiknya berusia 2,5 tahun. Kehilangan sang ayah rasanya seperti jatuh tertimpa tangga. Kini sosok laki-laki yang sangat ia sayangi itu sudah pergi meninggalkan untuk selamanya. Tanggal 31 Agustus 2001 adalah hari sejarah untuk Aira, seorang gadis kecil yang harus ditinggalkan sayap pelindungnya. Gadis kecil yang belum mengerti apa-apa, ia harus melihat jasad sang ayah untuk terakhir kalinya. Wajah pucat dengan mata terpejam dan badan terbujur kaku berada di hadapan Aira. Kain putih yang menutup tubuhnya, seakan memberi isyarat sucinya cinta kasih dari sang ayah yang telah pergi untuk selamanya. Wanginya parfum jenazah seolah mencerminkan aroma harumnya kasih sayang untuk keluarga kecilnya. Kedua tangan menutup tegap menempel di perut, seolah memberi isyarat kepada keluarga agar siap dengan apapun yang terjadi. Hidung yang tertutup kapas menandakan sang ayah sudah tidak bernafas lagi. “ayah, bangun ayah” terdengar suara isak tangis dengan nada keras memecahkan suasana sekitar. Ialah suara Aira, anak kedua dari Almarhum bapak Islahul Umam.
Ayahnya pergi menghadap yang maha kuasa dengan meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Istrinya yang bernama Narsih, anak pertamanya bernama Sofi Ardiyanti, anak kedua bernama Aira Ashifa Septiana dan anak ketiga bernama Arya Kamandanu. Tetangga yang juga menangis melepaskan kepergian pak Umam, tampak ia merangkul Aira. Tak tahu harus bagaimana lagi untuk menjelaskan kepada Aira, bahwa ayahnya (pak Umam) sudah tidak bisa bangun lagi untuk selamanya. Ibunya (Narsih) yang baru saja siuman dari pingsan, ia seperti kebingungan melihat jenazah suaminya yang terlentang di ruang tamu disertai hujan tangisan dari ketiga anak dan juga kerabatnya. Narsih yang lemas tak berdaya, seolah shock dengan kepergian suaminya. Betapa berat baginya ditinggalkan sosok suami, sementara ketiga anaknya masih kecil-kecil. “aku mau ikut ayah aja huhuhuhu” suara tangis yang semakin lama semakin keras, tak juga berhenti malah bertambah tinggi. Suara itu terdengar jelas di telinga orang sekelilingnya.
Aira yang ngotot ingin ikut bersama ayahnya, seakan membuat kebingungan kerabat yang ada di sekelilingnya. “ra, kamu disini sanjaya. Jaga Ibumu, biarkan ayah pergi ya nak”, ucap Lestari (tetangga Aira). “ tidak, aku tetap mau ikut ayah” ungkap Aira dengan airmata yang masih saja menetes. Tangis itu seketika terhenti, ketika mendengar suara speaker masjid. Suara itu dilontarkan oleh bapak Irsyad selaku ustadz di kampung tempat tinggal Aira. Pak Irsyad mengucapkan salam terlebih dahulu kepada seluruh orang yang tengah takziah di rumah pak Umam (ayah Aira). Kebetulan letak masjid tak jauh dari rumah, hanya berhadap-hadapan saja antara rumah dengan masjid al Muhajirin. Dengan begitu, pak Irsyad menyampaikan segala hal terkait duka atas kepergian pak Umam, beliau juga menyampaikan amanat dari keluarga almarhum. Apabila almarhum pak Umam pernah mempunyai salah baik yang disengaja maupun tidak, mohon supaya berkenan memaafkan. Apabila almarhum memiliki hutang, bisa disampaikan kepada pihak keluarga supaya diselesaikan agar tidak menjadi dosa untuk almarhum di akhirat. Pak Irsyad telah selesai berbicara, itu artinya jenazah akan segera dibawa ke pemakaman.
Beberapa tetangga Aira (laki-laki) beserta kerabatnya (laki-laki) sudah siap dengan badan berdiri tegak dan tangan yang akan mengangkat keranda yang berisi jenazah pak Umam. Melihat keranda ayahnya akan dibawa, Aira menarik-narik tangan Adit seakan menghalangi agar tidak membawa jenazah ayahnya. “sudah ra, jangan begitu ra. ikhlaskan kepergian ayahmu” ucap Narsih mencoba menenangkan Aira. Begitu pula dengan tetangganya yang sigap menarik tangan Aira sembari memeluknya, lalu menghapus air mata yang menempel di pipi Aira. Sementara jenazah ayahnya sudah dibawa pergi oleh kerabat beserta tetangganya dengan jalan kaki menuju pemakaman. Ayahnya sudah punya rumah baru disana, rumah yang terpisah dari sanak keluarga. Tanah pemakaman itu telah menutupi raga yang begitu tulus mencintai, raga yang begitu tulus menyayanginya. Gundukan kayu yang dijadikan pagar untuk menutupi rumah barunya. Bunga yang ditaburkan di atap rumah (pemakaman), merupakan hadiah atas kepergiannya. Bunga itu berjajar rapi mengelilingi atap, membuat aroma harum semerbak di sekitar rumah (pemakaman). Lantunan doa pun dihadiahkan untuk mengantar kepergiannya. Pak Umam (ayah Aira) dimakamkan di TPU beji daerah Pekalongan.
Langkah kaki yang sudah tidak terlihat lagi di pandangan Aira, membuat ia lari keluar dari rumah untuk mencari jenazah ayahnya yang entah dibawa kemana. Langsung saja, dengan cepat Sundari menyusul Aira. Berlari sekencang anila, mengejar keponakannya yang tengah mencari keberadaan ayahnya. Beruntung belum begitu jauh ditemukan, Aira masih berada di sekitar rumah. Dengan tatapan kosong dan badan menunduk kebawah. Tertunduk lesu seakan tak ada semangat. Hanya diam terpaku, meratapi hal yang ia sendiri juga masih bingung “ada apa ini, ?” ucap Aira dalam hati. Sundari yang melihat keponakannya berdiri disitu, ia pun menggandeng tangan Aira dan menggiringnya pulang ke rumah. “ra, pulang yuk. Kamu sudah ditunggu keluarga. Jangan sedih lagi ya, doakan saja ayahmu. kalau kamu sedih nanti ayah juga ikutan sedih”. Ucap Sundari sambil memegang pipi Aira dan merabanya dengan lemah lembut.
Akhirnya, Aira termakan bujukan Sundari untuk pulang. Sundari berhasil membujuk Aira, mereka berdua pun berjalan menuju ke rumah. Sorot mata tertuju pada Sundari dan Aira, beberapa kepala tampak memandang mereka berdua. Penuh haru, begitulah dikisahkan. Perasaan khawatir itu akhirnya menepis menjadi perasaan haru atas kembalinya Aira ke rumah dengan tatapan lesu. Mereka semua tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya gadis kecil itu, sehingga ia bersikap demikian. “kelak jika kamu dewasa, kamu akan mengerti semuanya ra” ucap seseorang dalam batinnya. “Kamu hanya butuh waktu untuk mengerti semuanya, tidak harus sekarang. Nikmati saja dulu keadaannya, biarkan waktu yang menjawab semuanya”, ucap Arini (tetangga aira).
Semua terlihat berusaha untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan, terlebih Aira yang harus membutuhkan perhatian khusus atas duka yang teramat dalam menyelimuti hatinya. Simpatik pun dilakukan. Berbagai kata demi kata diungkapkan, bermacam-macam bingkisan dihaturkan dan berkalimat-kalimat lantunan doa diutarakan. Masih tentang kepergian pak Umam yang menyisakan duka sekelilingnya, duka nestapa untuk keluarganya. Tak ada yang tersenyum, semuanya terlihat senyap dan sendu. Pun juga kerabat pak Umam yang berasal dari daerah Sragi, tampak mata mereka berkaca-kaca. Mata yang sembab dibanjiri air mata. Keluarga yang ditinggalkan, meratapi kesedihan. Seolah belum siap untuk melepas kepergian yang mendadak. Tidak pernah terbayangkan, di usia yang belum begitu tua. Pak Umam harus pergi meninggalkan dunia dengan segala isinya, pergi meninggalkan sanak keluarga dan semuanya. Hanya satu yang ia bawa ialah amal semasa hidupnya.
Baju yang basah akibat tetesan hujan yang tak reda. Hujan itu bukanlah hujan biasa, melainkan hujan penuh duka. Bagai tetesan airmata yang mengucur deras di pipi, begitulah hujan yang tak kunjung berhenti. Petir halilintar yang menggelegar, seolah menggambarkan hati yang terkejut atas sebuah tamparan keras dari kehidupan. Dipukul oleh kenyataan, merasakan luka lebam dari pedihnya realita. Luka yang tidak bisa diobati melalui obat biasa, melainkan obatnya adalah bertemu orang tercinta. Sayang seribu sayang, hal itu kini tak bisa dilakukan. Hanya bisa mengenang, tidak untuk mengulang. Mengenang kenangan saat masih ada ayah di sisi, kebersamaan yang selalu terpatri dalam memori. Setidaknya di dunia ini ada satu laki-laki yang begitu tulus menyayangi, ialah ayah tercinta. Posisinya tak akan bisa tergantikan, ayah tetaplah menjadi laki-laki tersayang nomor satu untuk anak perempuannya. Meski raganya tak bisa lagi di raba, hanya tersisa bayang semata. Sorot mata ceria yang tak bisa lagi dilihat nyata, kini hanya tersisa bayang keranda. Tubuh gagah itu tak lagi bisa ditemui di pojok sana, yang tersisa hanyalah bayang kain putih yang menutupi raga. Motor kesayangan yang biasa dipakai untuk pergi menjelajahi dunia, kini motor itu tak lagi dikendarai. Hanya memakai keranda untuk mengantarkan dirinya sendiri menuju peristirahatan terakhirnya. Pergi jauh sejauh mungkin, tak bisa lagi dicapai dengan tangan terbuka. Pergi meninggalkan buah titisannya yang masih dibawah usia.
Tak akan kembali berkerumun di tengah hangatnya keluarga. Itu semua tidak akan terjadi lagi, dunia yang berbeda telah memisahkan antara raga dan sukma. Sukma telah kembali kepada pemiliknya, sementara raga akan tetap abadi dalam bayangan semata. Rumah yang telah dibangun untuk keluarga, kini ditinggalkan begitu saja. Beralaskan tanah, itulah tempat tinggal sang ayah. Tak lagi memakai baju, hanya memakai kain putih yang melilit tubuhnya. Bertutupkan kayu dan tanah diatasnya, sang ayah tertidur di dalam tanah. Tak bisa lagi berbicara, bertatap apalagi bersenda gurau bersama. Mata indah itu tak bisa lagi terbuka lebar. Ayahnya telah menutup mata untuk selamanya. Tak bisa lagi melihat dunia, sebab sudah berada di alam yang berbeda. Bentuk tubuhnya tak bisa lagi dilihat dengan kasat mata, kini yang tersisa hanyalah bayang-bayangnya saja bukan nyata. Bayangan tentang kenangan-kenangan yang melintas di pikiran, bayangan segala tentang ayah. Beralih dari bayang-bayang, kini bertumpu pada kenyataan. Kenyataannya ialah takdir yang sudah terjadi, takdir yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
BACA BUKU 3 DIMENSINYA
Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno
Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini
Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini