Marni : cinta yang tak harus emiliki, memang nyata adanya

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
Keputusan Marni untuk merantau di pulai seberang sebagai tenaga pendidik mempertemukannya dengan Umar. Saat rasa cinta ke Umar mulai tumbuh, dia menyadari bahwa keinginan dari orang tuanya yang bertentangan dengan perasaan yang dia alaminya.

PINJAM BUKU

Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book

CHAPTER 1

 

September 2011

Sore itu di Desa Selimau, udara sore berhembus sepoi menelisik dedaunan delima yang tumbuh rendah di depan rumah panggung kayu nan mungil. Tampak di beranda rumah tersebut, Marni sedang berbincang serius dengan Zulfa.

“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Mar?” Kata Zulfa.

Marni yang sedang mengupas buah mangga, menghela nafas pelan, dengan ragu dia menjawab “Yakin Zul, sudah kupertimbangkan jauh – jauh hari”.

Suasana hening sejenak. Mereka memandangi jalan setapak, memandangi warga Selimau yang akan pergi beraktivitas sore. Tampak oleh mereka Bapak Sulaiman dengan kawanan sapinya yang hendak Beliau gembalakan di padang rumput samping pemakaman umum. Ada juga anak – anak yang riang gembira mengayuh sepeda berkeliling desa,  menikmati sore. Tiap warga yang lewat rumah tersebut, selalu berhenti sejenak sekedar menyapa dan melempar senyum kepada keduanya. Selebihnya, Marni dan Zulfa hanyut dengan pikiran mereka masing – masing.

 “Dari suaramu, kelihatan loh kalo kamu masih bimbang. Coba dipikirkan lagi matang –matang, Mar. Apa kamu tega meninggalkan anak – anak didikmu disini? Sudah sembilan tahun kamu jadi andalan Pak Zainal untuk urusan Matematika, Mar. Gak bisa dicari tandingannya” Tukas Zulfa. “Belum lagi ibu – ibu wali murid yang saban sore kau ajari menanam sayur di pekarangan supaya uang belanja mereka irit. Kamu sudah lengket di hati mereka, Mar”. Cerocos Zulfa setelah lama diam, mencoba sedikit mempengaruhi Marni.

Marni termenung kembali. Kali ini diletakkannya mangga yang belum usai ia kupas. Tampaknya hasrat untuk menikmati mangga di sore itu seketika padam. Bagaimanapun, omongan Zulfa ada benarnya. Tidak mudah meninggalkan tempat dimana dia ditempa menjadi sosok Marni yang tegar seperti sekarang ini. Tempat dimana hampir satu dasawarsa dia habiskan untuk mengabdikan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah, serta tempat dimana dia bisa menemukan keluarga lain yang sangat hangat menerimanya.

“Mar, lha kok malah melamun to? Piye disini aja ya? Kamu boleh balik ke Jawa, tapi habis itu balik lagi” tukas Zulfa yang memecah lamunan Marni. Marni yang sedikit kaget segera menguasai keadaan. Dilihatnya sahabatnya itu mengatupkan kedua tangannya tanda memohon. Iba juga Marni melihat tingkah Zulfa. Namun dia tidak boleh goyah.

Gak lah Zul, Aku harus pulang. Bagaimanapun aku anak tunggal Zul. Saat ini Ibu sangat membutuhkan aku disampingnya. Mungkin sudah waktunya aku balik. Menghabiskan masa tuaku disana. Kamu jaga anak – anak ya Zul. Ajari mereka biar jadi anak pintar” Ujar Marni sembari mengerlingkan mata yang kini mulai sembab

Kali ini Zulfa tak kuasa memohon – mohon lagi. Alasan Marni sudah cukup membungkam mulutnya dari menahan Marni untuk tetap tinggal disini.

Sebenarnya Zulfa memang sudah tahu alasan Marni akan meninggalkan perantauan dari jauh – jauh hari. Sekira sebulan yang lalu, kerabat dekat Marni mengabarkan via ponsel bahwa Ibunya Marni sakit dan meminta Marni untuk pulang. Marni yang memang dasarnya berwatak keras meminta kerabatnya untuk bersabar sedikit saja. Dia akan pulang 2 bulan lagi saat libur semester tiba. Namun tampaknya sakitnya Sang Ibu tak bisa lagi berkompromi dengan Janji Marni. Penyakit Ibu Hasma makin parah saja. Setelah mendengar penjelasan serta sedikit gertakan dari kerabat, pertahanan Marni goyah juga. Dia memutuskan untuk pulang.

“Ya sudah Mar, aku cuma bisa berharap semoga sekembalinya kamu ke rumah, ibumu makin sehat ya Mar. Kalau ada waktu luang dari mengurus ibumu, sempatkan untuk menghubungiku, sekedar mengabarkan keadaanmu disana” Zulfa berkata demikian dengan mata berkaca – kaca.

“Iya Zul, pasti” ujar Marni sembari memeluk sahabatnya yang tambun itu. Tangis pun pecah sore itu.

o-o-o-o-o-o-o-o-o-o

Siang hari, setelah pulang dari mengajar di sekolah, Marni merebahkan diri sejenak. Sebenarnya hari ini sekolah tidak benar – benar diisi dengan kegiatan belajar mengajar, namun semacam acara pamitan Marni ke murid – murid serta dewan guru. Marni bernafas lega akhirnya acara tadi berjalan lancar meskipun raut muka sedih dari guru dan murid – muridnya tidak bisa disembunyikan, pun begitu dengan dia.

Urusan pamit dengan yayasan tempat Marni bekerja pun telah selesai. Ia sampaikan jauh – jauh hari permohonan berhenti bekerja pada pimpinan yayasan yang berada di Semarang lewat sambungan telepon. Ia berprinsip bahwa ia masuk kerja dengan baik – baik, maka keluar pun harus ia sampaikan dengan baik – baik pula.

Tak berapa lama, kumandang adzan dhuhur terdengar dari musholla Desa. Marni tercekat, hatinya berdebar, ada rasa tertahan yang sulit Marni jelaskan ketika mendengar sang muadzin melantunkan larik demi larik kalimat agung itu. Ah, suara itu, suara merdu itu.. tak pernah berubah. sedikitpun tak pernah berubah, selalu berhasil mengakusisi perasaannya. Lantas Marni tersentak dari lamunannya. Bergegas ia mengambil  air wudhu di kamar mandi belakang yang letaknya terpisah dengan rumah utama. Zulfa belum terlihat pulang, dia sudah mengabarkan ke Marni kalau akan pulang jam satu siang karena masih ada jadwal mengajar.

Usai sholat, Marni makan siang sejenak lalu melanjutkan kembali mengemasi barang – barang yang akan ia bawa pulang. Ia masukkan batik jambi buat ibu, paklik dan buliknya. Tak lupa lacak titipan pakliknya tempo hari via telepon. Tidak banyak pekerjaan berkemas Marni karena sudah diangsur jauh – jauh hari. Saat berkemas itulah muncul Zulfa dari arah beranda. Setelah mengucap salam, Zulfa masuk ke kamar lalu melaksanakan sholat dhuhur.

“Kamu yakin gak mau pulang naik pesawat, Mar? kan enak cepat sampai. Cepat pula bertemu Ibumu. Lagipula yang nanggung kan Yayasan juga” Tanya Zulfa dari dalam kamar.

Gak ah Zul, aku mau mencoba perjalanan darat, selama ini kan kita naik pesawat terus kalau pulang pergi Jawa – sini. Lagian Pamanku juga sudah kuberitahu untuk bersabar sejenak. Lumayan juga selisih tiketnya bisa kugunakan untuk keperluan nanti di rumah” Jawab Marni sambil terus melipat baju untuk kemudian dimasukkan ke dalam koper.

“Memang jiwa iritmu dari dulu gak pernah berubah, Mar” timpal Zulfa yang keluar dari kamar sembari melayangkan cubitan kecil ke pinggul Marni. Sedangkan yang dicubit hanya membalas dengan senyuman simpul.

“Ayo ah, kita keluar. Itu halaman rumah sudah rame mau menyambut kepergian artis” goda Zulfa.

“Opo to, Zul. Suka banget meggodaku. Nanti kalau aku pergi kamu gantian yang jadi artisnya” sahut Marni tak mau kalah.

“Hihii.. bisa aja kamu Mar. Barang – barang sudah masuk tas semua kan?”

“Sudah Zul”.

Mereka lantas menuju beranda rumah. Rumah masih tertutup rupanya. Marni beranjak pelan ke sudut ruangan depan, mengintip keramaian di luar dari balik gorden. Tampak olehnya hampir seluruh warga Desa Selimau berkumpul disana. Ada Kepala Desa, Bapak Zainal selaku kepala sekolah, Bapak Cipto, Ibu Humaira, Ibu Zaida, Abdul dan seluruh murid – muridnya. Tak ketinggalan para wali murid, baik Bapak maupun Ibu serta warga lainnya turut hadir disana. Namun diantara kerumunan warga, ia tak melihat ada Nurmi disana. Sejenak Marni menghela nafas pelan, mencoba berfikir positif. Pandangan Marni lantas tertuju ke arah Umar, salah satu pemuda kampung Selimau. Saat melirik ke arah Umar, dada Marni berdegub hebat. Desas – desus di desa yang menyebutkan bahwa Umar menaruh hati pada Marni terlintas di otaknya. Pemuda itu gagah dan tampan sebenarnya, pun perangainya juga sopan dan menyenangkan. Bahwa kemudian Marni memilih untuk berusaha mengabaikan desas – desus yang berkembang, terlebih setelah insiden menyakitkan di kantor desa beberapa tahun lalu, dan berusaha untuk menghiraukan semuanya -lantaran alasan yang ia sendiri sulit untuk menerimanya- membuat dada Marni kian sesak.

“Kok malah ngalamun to? Ayo keluar. Itu sudah ditunggu” Ujar Zulfa membuyarkan kembali lamunan Marni

“Eh.. iya Zul. Ayo” kata Marni seraya membuka kunci pintu rumah.

“Mar” potong Zulfa pelan ketika Marni hendak membuka gagang pintu

“Maafkan aku ya Mar kalo selama di rumah ini aku sering bawelin kamu, sering merepotkan kamu. Pokoknya persahabatan kita jangan sampai putus disini. Teruslah menghubungiku. Aku bakal kehilangan kamu disini, Mar” lanjut Zulfa terisak – isak.

Marni tak mampu berkata – kata. Segera direngkuh erat sahabat tambunnya itu di pelukannya. Dia ciumi pipi Zulfa. Kini pipi Marni pun terasa panas oleh air matanya yang jatuh dengan deras.

Setelah mengusap air mata, keduanya pun lantas keluar menghampiri warga yang sudah berkumpul mengantar kepergian Marni. Marni terharu, tak menyangka bakal semeriah ini acara pelapasan dirinya. Sangat berbeda jauh kala ia, Zulfa dan Tiwi pertama kali menginjakkan kaki ke desa ini. Marni pun tak dapat menyembunyikan air mata yang sedikit merembes membasahi pelupuk matanya. Ternyata sedemikian berartinya Marni di mata semua warga Desa Selimau, begitu setidaknya yang dapat dia simpulkan dari banyaknya warga yang ikut berkumpul di sore itu.

Dengan gaya bak pemimpin upacara yang menyampaikan amanat upacara, Kepala Desa selaku pimpinan tertinggi Desa Selimau menyampaikan terima kasih kepada Marni yang turut serta mencerdaskan kehidupan anak – anak Desa Selimau, berterimakasih karena sudah sedemikian tegarnya mau tinggal di Desa yang jauh dari hingar bingar keramaian kota –bahkan akses kemana – mana susah– dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Tak lupa Kepala Desa mewakili seluruh warga berharap semoga ke depannya Marni bisa sukses di Jawa, dan agar tidak melupakan silaturahmi dengan warga Selimau. Pidato yang sangat umum disampaikan di acara – acara perpisahan.

“Wah sebenarnya kalo Bu Guru Marni mau, bisa tunjuk saja pemuda yang mau Bu Guru jadikan suami. Nanti kita pestakan disini besar – besaran, tujuh hari tujuh malam kalau perlu, potong lembu, jadi kan Bu Guru Marni tak perlu balik Jawa lagi” seloroh Kepala Desa sedikit memecah suasana yang sedikit formal tadi. Canda Kepala Desa langsung disambut tawa oleh seluruh warga. Tak pelak mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Umar. Umar hanya tersipu malu. Sedangkan Marni tampak sedikit gugup dan salah tingkah.

Kepada seluruh warga Desa, Marni mengucapkan banyak terima kasih karena sudah diterima menjadi keluarga besar Desa Selimau. Bahwa selama Sembilan tahun tinggal disini, ia belajar banyak tentang kehidupan, tentang persaudaraan dan banyak hal yang sangat berharga. Tak lupa ia sampaikan permohonan maaf jika selama tinggal dan menetap di Desa Selimau terdapat banyak kesalahan, pernah membuat sakit hati warga, atau hal – hal yang tak berkenan lainnya. Semua itu Marni sampaikan dengan sesekali mengusap air mata dengan ujung jilbabnya.

Marni lantas berpamitan dengan seluruh warga Selimau. Kepada laki – laki yang lebih tua, ia ciumi tangannya. Kepada laki – laki yang masih muda, ia lempar senyum seraya jabat erat tangannya. Kepada ibu – ibu yang lebih tua, ibu ciumi tangannya serta ia peluk erat tubuhnya. Dan kepada anak didiknya ia peluk erat serta ia ajak mereka toss, seperti yang sering ia lakukan di kelas. Ibu – ibu dengan mata semerah biji saga memeluknya dengan sangat erat seraya mengucapkan banyak terimakasih karena berkat didikannya, anak mereka jadi pandai matematika. Mereka yang hendak membawakan oleh – oleh berupa hasil kebun seperti pisang, kacang tanah, cabe, segera ditolak halus oleh Marni dengan alasan buah dan hasil kebun tersebut pasti akan busuk di jalan, alangkah sayangnya.

Ketika bersalaman dengan Umar, jantung Marni berdetak hebat. Dia sangat gugup. Kegugupannya terlihat jelas oleh yang lain sehingga mereka melayangkan sebuah suitan yang membuat keduanya kian salah tingkah. Marni hanya mampu melayangkan tatapan serta senyum manis. Begitupun Umar. Namun dibalik tatapan mata tersebut, tersirat sebuah perasaan yang sangat dalam, yang mungkin hanya mereka berdua yang mampu menafsirkannya.

Setelah acara salam – salaman dengan seluruh warga, Marni diantar ke tempat travel oleh Abdul kawannya sesama guru. Butuh sekitar satu  jam perjalanan dengan medan jalan becek karena semalam diguyur hujan. Sesekali Marni turun dari boncengan dan memilih untuk jalan kaki jika berpapasan dengan kubangan jalan berlumpur nan dalam.

Setelah bersusah payah menaklukkan kondisi jalanan, akhirnya sampailah mereka di tempat travel yang dituju. Jangan dibayangkan tempat travel yang dimaksud adalah semacam loket dimana kita bisa memesan tiket serta tempat duduk calon penumpang untuk menunggu bus berangkat. Faktanya Marni diantarkan oleh Abdul di pinggir jalan raya, dan dia berdiri tegak seperti patung seraya melambai tangan tiap ada mobil dari Nipah Panjang atau Rantau Rasau lewat. Terkadang mobil sudah penuh dengan penumpang. Terkadang bangku belakang sama sekali kosong, namun mobil tak berhenti juga, segera mereka sadari bahwa mobil tersebut adalah mobil pribadi, bukan travel yang akan membawa penumpang ke Kota Jambi. Ketiadabedaan antara mobil pribadi dengan mobil travel kerap membuat calon penumpang yang menunggu di tepi jalan seperti Marni kebingungan.

Empat puluh lima menit sudah Marni berdiri tegak dengan Abdul disampingnya, bermandi peluh oleh terpaan matahari sore tatkala sebuah avanza hitam berhenti oleh lambaian tangan keduanya. Sang supir travel dengan sigap mengangkat bebawaan Marni untuk diletakkan di bagasi belakang. Marni segera masuk di barisan belakang, memaksa penumpang bagian tengah keluar sebentar untuk memberi jalan kepadanya. Marni menggenapi jumlah penumpang mobil travel sore itu. Setelah Marni masuk, Abdul pun segera pamit pulang karena matahari sudah hampir tergelincir ke barat. Travel membawa Marni menuju ke jantung Kota Jambi dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam, melewati jembatan kecil dari kayu yang hampir lapuk yang hanya mampu dilewati satu mobil saja -yang jika di seberang jembatan ada mobil sawit atau mobil lain lewat-, mobil travel yang Marni tumpangi harus berhenti sejenak di sisi seberangnya, melewati HTI akasia milik perusahaan raksasa nan ternama, melewati kebun karet warga, dan melewati Jembatan Aur Duri II yang berdiri kokoh.

Sesampai di Jambi, Marni menginap di tempat salah satu kerabat Pak Kepala Desa. Marni berencana akan mengelilingi Jambi untuk terakhir kalinya. Dia telah menyusun agenda dari jam 6 pagi hingga jam 10: bangun, mandi, sarapan nasi gemuk, naik ojek menuju Jembatan Pedestrian Gentala Arays, menikmati es tebu, berjalan menyusuri Gentala Arays hingga Jambi Seberang, lalu pulang dan bersiap ke loket bus.

Usai bermalam sehari, dan menuntaskan rencana yang telah ia susun semalam, siangnya Marni beranjak ke kawasan Simpang Rimbo. Disana sudah berjejer agen – agen bus yang melayani perjalanan ke luar Provinsi Jambi, termasuk ke Pulau Jawa, seperti tujuan kepulangan Marni sekarang. Marni lantas menuju ke salah satu loket bus dengan tujuan Jogja. Setelah menunjukkan tiket yang telah ia beli seminggu yang lalu, Marni meletakkan tas di bagasi bawah dan masuk bus. Tak lama kemudian seluruh penumpang telah menduduki kursi masing – masing sesuai dengan tiket mereka. Bus pun mulai melaju ke arah selatan. Sepanjang jalan Marni disuguhi pemandangan kebun sawit di kanan kiri. Dia terkaget – kaget. Begitu banyak perubahan dari awal dia datang ke tempat ini. Dahulu tempat – tempat ini masih berbentuk semak belukar dengan pohon karet tua siap sadap. Dia ingat betul, kala itu pagi hari dia melewati jalanan ini, terlihat ibu – ibu ramai berada di bawah pokok karet, mengambil hasil sadapan yang telah mereka pasang sehari sebelumnya. Mereka menghidupi keluarga mereka dari hasil karet. Kala itu harga karet masih sangat bagus.

Kini, dengan harga karet yang jatuh bebas, sedangkan dapur masih harus tetap mengepul, mereka lebih memilih menebang karet yang sudah tidak bisa mereka andalkan untuk kemudian mereka tanami sawit. Dan lihatlah sekarang, sejauh mata memandang hanya terlihat barisan pelepah hijau sawit dengan batang kokoh tumbuh tinggi menjulang dan mulai memunculkan buah pasirnya. Masuknya perusahaan – perusahaan besar serta dibangunnya pabrik pengolahan sawit di wilayah tersebut ikut mendorong petani bermigrasi besar – besaran mengganti komoditas karet yang selama ini diwariskan secara turun temurun oleh tetua mereka dengan sawit.

Tak terasa air mata Marni kembali membasahi pelupuk matanya, dia bakalan rindu pemandangan seperti ini. Sawit, karet, jalan berkubang dalam, dan segala kenangan lain. Dia tidak akan menemukan pohon sawit seluas puluhan kali lipat lapangan sepakbola di kampungnya nanti. Dia tidak akan menemukan jalanan berlumpur dan berkubang sangat dalam di kampungnya nanti, karena terakhir pulang empat tahun yang lalu ketika ayahnya meninggal, jalan di kampung Marni sudah mengalami pengerasan, “mungkin sekarang sudah beraspal” begitu pikirnya.

Di waktu yang sama, dia heran dengan dirinya sendiri, mengapa dia harus sedih meninggalkan tempat dengan segala keterbatasannya ini. Seolah – olah dia sangat menikmati hidup di tempat seperti itu. Angannya lalu melayang ke masa – masa sulit, yang mengantarkan hidupnya hingga sampai ke titik ini. Betapa tak mudahnya jalan terjal yang harus Marni hadapi di awal – awal kehidupannya paska kelulusan. Mengingat itu semua, mata Marni kembali meleleh.

CHAPTER 2

 

Di suatu rumah yang terbilang besar untuk ditinggali sendirian, tampak Bu Hasma sedang menjemur pakaian di samping rumah. Sesekali ia memegangi dadanya untuk menahan batuk yang membuatnya kesakitan. Sebenarnya, batuknya ini sudah ia idap sejak lama. Namun seiring bertambah usianya, tubuhnya makin tak kuat menahan batuk yang kian hebat. Ketika periksa di puskesmas kecamatan dua tahun silam, Hasma baru mengetahui bahwa batuk yang menyerangnya bukanlah batuk biasa, melainkan TBC. Penyakit itu pula yang kemudian menggorogoti tubuhnya pelan – pelan, membuat nafsu makannya tak selahap dulu. Tubuhnya yang dulu subur kini turun secara drastis. Namun begitu, ia tak ingin manja merepotkan orang di sekitarnya. Praktis setelah suaminya meninggal empat tahun silam, segala hal ia lakukan sendiri. Namun kini, ia merasa perlu seseorang untuk menemaninya, dan orang tersebut adalah Marni, anak semata wayangnya.

Ketika khusyuk merenung itulah, datang Badri. Badri merupakan adik Hasma satu – satunya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Semenjak suaminya meninggal, Badri selalu menyempatkan diri menengok kakak tuanya tersebut, hampir setiap hari. Sebenarnya Badri sudah menawari Hasma untuk tinggal dengannya, namun dengan tegas Hasma mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal di rumah yang menjadi kenangan keluarga kecilnya selama bertahun – tahun.

Badri sadar, mengharapkan Marni kembali saat itu untuk menemani Hasma juga tak mungkin ia lakukan. Ia tahu betul watak keponakannya sekeras batu, persis seperti Hasma. Setidaknya itu yang Badri alami kala mencegah Marni balik lagi ke perantauan usai kepulangannya ketika sang bapak meninggal. Namun kini, lihatlah. Batu itu pun perlahan luluh. Ia akan kembali ke sarangnya. Badri tampak bahagia sekaligus bangga dengan sikap legowo Marni.

Badri sendiri berprofesi sebagai perangkat desa, tepatnya Kepala Urusan Pembangunan. Keluarga besar Hasma memang cukup disegani di Desa Jerang, hal ini lantaran Mbah Buyut Hasma pernah menjabat sebagai Kepala Desa, bahkan Kepala Desa pertama di kampung itu. Keturunan mbah buyutnya kemudian banyak yang berpencar tempat, dan tetap menjadi orang sukses dan berpengaruh di tempat masing – masing. Ada yang menjadi guru, tenaga kesehatan, polisi, atau perangkat desa seperti Badri, dan mereka ini kebanyakan berstatus pegawai negeri.

Selain menjadi perangkat desa, Badri juga giat mengerjakan sawah yang ia miliki maupun sawah kas desa yang ia dapat dari jatahnya sebagai perangkat. Tiap pagi sebelum berangkat ke kantor desa, ia sempatkan untuk ke sawah sekedar melihat perkembangan padinya, atau untuk memberikan pupuk serta menyiangi rumput. Badri juga menggarap sawah milik Hasma paska meninggalnya Pak Amin, istri Hasma. Sawah seluas 1.5 Ha itu Badri garap dengan sistem bagi hasil, 50 % untuk dirinya serta 50 % untuk Hasma dari total pendapatan bersih. Dia tak ingin mengambil untung terlalu banyak dari kakaknya. Bahwa dia masih bisa membantu kakaknya tetap memiliki penghasilan, sudah lebih dari cukup baginya. Dari hasil menggarap beberapa hektar sawah miliknya dan Hasma ini, membuat Badri memiliki pundi – pundi penghasilan dan tabungan yang cukup besar.

“Yu, sudah enakan badannya?” Tanya Badri sembari masuk ke dalam untuk mengambil minum.

“Enakan Bad, kemarin habis ke puskesmas lagi minta obat sama Bu Dokter” Jawab Hasma

“Jalan kaki? Kenapa gak bilang Badri saja to? Kan bisa kuantar. Kalau aku gak sempat kan bisa minta tolong iparmu Siti” cerocos Badri sembari keluar. Kali ini ia keluar dengan 2 gelas lurik ukuran sedang berisi teh hangat dan sepiring pisang rebus.

Hasma mengambil sebuah pisang rebus, lalu mengupasnya “Oalah cuman jalan kaki 10 menit saja kok, Bad. Hitung – hitung jogging biar badanku sehat. Aku ini gak perlu kau manja berlebihan gitu lah Bad, nanti malah apa apa dikit kerjaannya merepotkan orang” tukas Hasma sambil memamah biak pisang rebusnya.

Badri tersenyum kecut, ia tahu persis watak kakaknya yang keras itu. Selain keras, Hasma juga dikenal sebagai pribadi mandiri yang pantang merepotkan orang lain. Segala tugas jika ia mampu mengerjakannya sendiri, tak mungkin ia meminta bantuan orang lain. Namun Badri pun sadar, umur kakaknya sudah tak muda lagi, tenaganya sudah tak sekuat dulu. Sekeras apapun ia mengatakan bahwa ia sanggup melakukan semuanya sendiri, Badri akan selalu menawarkan bantuan kepadanya.

“Ya sudah kalau begitu. Tapi kalau nanti ada perlu apa – apa langsung telepon Badri, lho Yu. Bagaimanapun aku sudah janji sama Mas Amin akan menjaga sampean, Yu”. Hasma hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Badri memang adik yang bisa ia andalkan, sifat baiknya tak berubah meski kedua orang tua mereka sudah tiada dan mereka sudah berkeluarga sendiri – sendiri. Di dalam lubuk hatinya, ia bangga memiliki adik seperti Badri.

Mereka lantas membicarakan topik lain, tentang sawah Hasma yang sebulan lagi sudah bisa dipanen, tentang kesibukan desa menyambut panen raya dan sedekah bumi hingga acara – acara pesta beberapa tetangga yang berlangsung di bulan ini. Setelah hampir setengah jam mengobrol, Badri pamit balik ke kantor desa.

Di atas jok motornya, sambil menstater mesin, Badri berujar kepada Hasma “oh iya Yu, kemungkinan besar besuk sore atau malam nanti Marni sampai rumah. Nanti biar Badri saja yang jemput dia di terminal. Rapikan saja kamarnya. Jangan lupa masak masakan kesukaannya, biar dia betah di rumah”. Kata “betah di rumah” Badri tegaskan betul sembari mengerlingkan mata ke Hasma tanda menggoda. Mendengar tuturan Badri, senyum Hasma merekah lebar, namun sedikit getir.

o-o-o-o-o-o-o-o-o-o

Hasma mengambil kunci di atas lemari lalu berjalan ke sebuah kamar yang terletak berseberangan dengan kamarnya. Dibukanya perlahan kamar tersebut, aroma debu menyeruak membuat Hasma kembali terbatuk – batuk. Ia berjalan pelan menuju ranjang dengan ukiran kayu jati berpernis coklat mengkilat. Di bukanya seperai warna putih motif angsa dan bunga – bunga itu. Kini ia menggantinya dengan seperai warna krem lembut polos yang dibawanya sedari tadi. Warna krem merupakan warna kesukaan Marni, begitu pikirnya. Dipasangnya dengan cekatan sudut demi sudut seperai. Tak lupa Hasma semprotkan parfum aroma lavender lembut ke atas seperei serta ke sarung bantal dan guling, berharap besuk malam Marni akan tidur dengan nyenyak di kamar yang sudah lama ditinggalkannya di perantauan.

Perasaan sentimental lantas menyeruak ke dalam kalbunya kala tatapannya tertuju pada sebuah bingkai foto di atas meja di pojokan kamar tersebut. Segera diraihnya foto keluarga kecilnya dengan Marni yang masih dalam gendongan suaminya tersebut. Kini tangis Hasma kembali pecah. Diciuminya bingkai tersebut berkali – kali. Dalam hati ia berkata, andai Marni tidak keras kepala waktu itu, mungkin sekarang ia tidak akan tinggal disini sendirian. Mungkin sekarang dia bisa menikmati masa tuanya sekarang dengan Marni dan Cipto di sampingnya, serta dengan cucu – cucu lucu yang ada di pangkuannya. Andai – andai lain berkelebat di angannya, andai- andai yang membuat Hasma tersenyum, andai – andai yang sangat diharapkan Hasma bisa menjadi kenyataan. Namun kembali ia tersadar bahwa, bagaimanapun juga, sifat keras Marni mengalir deras dari darahnya. Dia tak bisa berbuat apa – apa selain legowo menerimanya. Toh ternyata Cipto juga tak sebaik sangkanya, begitu setidaknya menurut tuturan tetangga dan kerabat – kerabatnya.

“Buat apa harus kutanam, kurawat dan kupupuk kebencian kepada buah hatiku sendiri. Buat apa? Demi apa? Dia bahkan yang nanti akan menemaniku di ujung senjaku. Dia yang kelak akan menyuapiku makanan kala tanganku sudah tak sanggup lagi sekedar memegang ujung sendok. Dia yang kelak akan memandikanku, menjemurku tiap pagi, memotong kuku panjangku, dan membersihkan kotoranku kala tubuhku makin lama makin ringkih termakan usia, dan tak ada daya lagi sekedar berjalan menuju kamar mandi. Dia yang kelak akan menciumi tangan dan mataku serta memijitku dengan lembut ketika aku hendak beranjak tidur, dan memelukku dari belakang ketika tubuh tuaku memaksaku untuk gelisah di perjalanan malam. Dia yang doa – doanya paling aku dan suamiku tunggu – tunggu sebagai amal yang mengalir tiada putus ketika kelak jasadku sudah berada di pembaringan abadi”

Lalu dia sedih mengingat suaminya, mengingat pesan beliau ke Marni. Ah andai aku bisa meralat perkataan suamiku, hari ini juga akan kulakukan, asal Marni bahagia. Begitu pikirnya. Melihat kenyataan ini matanya kembali basah.

Kini ia sudah lebih bisa berdamai dengan keadaan, dia sadar di usia senjanya tidak ada yang lebih menyibukkan dirinya selain beribadah kepada Yang Kuasa. Bahkan dia sudah bisa menerima Marni dengan luapan kasih sayang. Dia hanya ingin kelak ketika Tuhan memanggilnya, dia menghadap dalam keadaan damai, tak ada lagi dendam – dendam dan sakit hati yang bersarang di dadanya. Dia hanya ingin damai.

Untuk melanjutkan BAB selanjutnya anda bisa melakukan pinjam buku harian.

Penulis :
Anis P

Ukuran :
14 x 21

Status :
Terbit

Ketebalan :
218 Halaman

ISBN :
978-623-95334-6-5

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar