Aku adalah seorang pelajar aktif di sebuah lembaga islami yang biasa disebut “Pondok Pesantren”. Pondok ini bernama pondok pesantren Al-Khoirot, memiliki fisik bangunan yang cukup besar. Bangunannya memiliki tiga lantai mulai dari asrama, sekolah, dan kantor sekretariat. Didepan gedung sekolah nampak lapangan basket dan sepak bola yang lerlihat sangat terawat.

            Aku berasal dari Bandung, jawa Barat. Aku mulai hidup di pondok sejak tahun 2016 hingga saat ini. Pada saat itu jumlah santrinya masih sekitar empat ratus sampai lima ratus santri. Kini, mencapai tujuh ratus hingga ribuan. Bukan jumlah yang sedikit dan juga bukan hal yang mudah untuk mengurus mereka bagi pengurus pondok pesantren.

            Awal mula menginjakan kaki disini aku langsung mulai mengikuti seluruh kegiatan yang ada, mulai dari sekolah formal, madrasah diniyah (madin) hingga kegiatan yang bersifat peminatan. Saat itu aku duduk di kelas 10 aliyyah MA Al-Khiorot dan kelas 1C madrasah diniyah. Disaat aku mulai melangkahkan kaki didunia pesantren, aku mulai berusaha berbaur dan merasakan atsmosfer yang sangat berbeda jauh dengan kehidupan di luar pada umumnya. Awal aku belajar, pasti tentunya dimulai dari menyesuaikan diri (adaptasi), karena hakikatnya manusia hanyalah seseorang yang menetap di suatu tempat dan menyesuaikan diri di tempat lain. Setiap hari aku mengikuti kegiatan pesantren, entah! Itu dalam keadaan semangat ataupun tidak ini wajib menjadi prinsipku.

            Aku mulai mengenali banyak teman, mereka adalah teman yang sama-sama berjuang dalam tujuannya. Waktu itu kelas 1C berjumlah sekitar empat puluh santri. Mereka datang dari berbagai suku, bahasa, budaya yang berbeda-beda yang kumpul menjadi satu. Aku satu-satunya orang yang berasal dari suku Sunda alias dari Bandung. Tidak kaget bagaimana?? Aku kaget dengan bahasa-bahasa mereka yang terdengar asing, tak pernah terdengar sebelumnya. Bahkan! Sebagian dari mereka terkesan kasar dari logat bahasanya. Mungkin perasaan ini hanya karena perasaanku saja, bawaan dari diriku sendiri yang kelam akan luasnya bahasa dan logat yang amat berbeda jauh dengan bahasa lokalku. Setelah berjalan lama, tak terasa waktu berjalan dengan cepat tanpa disadari aku sudah berjalan satu tahun. Ketika berada di kelas itu, pikiranku kacau seolah-olah memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan. Saat itu aku  merasa menjadi orang yang paling dewasa, namun sempit dengan pengetahuan dan kemampuan dalam memahami pelajaran. Bayangkan! Aku satu kelas dengan teman-teman yang umurnya jauh denganku. Saat itu, aku berumur 18 tahun, sedangkan mereka sekitar 14 bahkan ada yang berumur 12 tahun. Mungkin, ini  yang membuatku malu dan seperti orang yang paling terlambat dalam belajar. Seiring berjalannya waktu, dengan penuh semangat dan motifasi serta dorongan kuat dari teman-teman dan orang-orang hebat yang terlibat, aku mendapatkan kesempatan untuk naik kelas tanpa harus menunggu satu tahun berikutnya. Mereka biasa menyebutnya “Akselerasi”. “Alhamdulillah” gumamku dalam hati. Akhirnya aku bisa terbebas dari kekangan rasa malu. Ternyata rasa malu itu bisa menjadi motifasi bagi diri kita sendiri. “Heheheh…..” tertawa tipisku eskpresi senang. Setelah mengikuti ujian seleksi dengan hati dan perasaan yang dihantui dengan rasa tegang… Tiba-tiba… kringg..kringgg bel pun berbunyi tanda ujian telah selesai dilaksanakan. Seseorang didepanku berdiri dan berkata : “Silahkan dikumpulkan dan ditunggu hasilnya. Nanti akan kami umumkan sehari setelahnya”.

Dengan semangat dan penuh kepercayaan, aku mengumpulkan kertas yang kupegang dan menaruhnya sesuai permintaan orang tadi.

Keesokan harinya, waktu yang ditunggupun tiba, matahari bersinar sangat terang di rintangi oleh langit sangat biru tanpa ada awan sama sekali, suasana menandakan betapa panasnya kala itu. Terdengar suara dari luar yang tembus ke dalam kamar yang berbunyi “Kepada seluruh santri yang mengikuti seleksi ujian akselerasi, diharap segera ke kantor sekarang juga.” Dengan penuh rasa penasaran dan percaya diri, aku pun memberanikan diri untuk menuju ke sumber suara yang berada di kantor sekretariat.

“Assalaamualaikum…”  ungkapku mengawali pembicaraan

“Waalaikumussalam…” jawab mereka dengan kompak dan penuh antusias dengan mimik wajah yang sangat ceria, karena yang ada di pikiran mereka hanyalah kata “Lulus” aku pun demikian.

            Disaat aku duduk, seseorang gagah pemberani elok terlihat dari postur tubuh yang tinggi dan besar, berpakaian rapi dan berjenggot tipis seraya mengulurkan senyuman tipis kepadaku dan peserta lainnya. Ternyata dia adalah Ust. Al Qhodi, ketua pelaksana program akselerasi madrasah diniyyah. Aku baru tahu kalau ia sebagai ketua pelaksananya. Saat itu bukan ini orang yang mengumumkan program ini. Tapi… entahlah! Mengapa juga aku berpikir hal yang tidak perlu dipikirkan. “Hahh… ya sudahlah.” Gumamku dalam hati.

            Kemudian, dia berkata seolah memberikan kabar gembira dan meyakinkan pada kami sebagai peserta, kemudian ia mengawali dengan sapaan ramah “Bagaimana ujiannya? Pusing ? yakin lulus?” tanyanya. Dengan serentak kami menjawab “Yakin pakkk, kami yakin luluss… bismillah” penuh keyakinan dan percaya diri sampai-sampai, salah satu dari kita ada yang saling menjewer telinganya, merasa bahagia dan senang pada hari itu.

“Bismillah, Alhamdulillah sampean (kalian semua) lulus dan berhak naik kelas tingkat selanjutnya tanpa harus menunggu satu tahun kedepan” lanjutnya.

“Alhamdulillah….” serentak para seluruh peseta, penuh kegembiraan dan ceria.

Keesokan harinya aku dan teman-temanku yang mengikuti ujian akselerasi masuk di kelas yang berbeda, sesuai dengan kompetensi mereka. Aku masuk di kelas 2A sedangkan sisanya masuk di kelas B dan C.

Hari demi hari , minggu bergilir bulan, tahun pun kulalui, aku hadir dalam nuansa kebangkitan rasa malu yang menjadi motivasi dalam hidupku.

 

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar