
PINJAM BUKU
Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book
SATU
Ia datang seperti wabah
Menyerang bagi siapapun yang lengah
Menggerogoti jiwa sadarnya
Setelah musim berganti ia pergi
Aku Nastya, kuliah fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di kota ku. Ya, walau bagiku kuliah universitas manapun tidak menjamin kualitas mahasiswa karna semua yang menjamin adalah diri sendiri, menurutku.
Se-internasionalnya campusmu jika kamu malas dan melalaikan waktu untuk masa depanmu maka kualitasmu akan rendah, begitupula dengan sebaliknya. Jika kamu bisa memanfaatkan waktu dengan baik untuk masa depanmu maka kamu akan memiliki kualitas tinggi untuk masa depanmu, karena masa depanmu adalah milikmu sendiri kamu yang berhak menentukan tentang segalanya termasuk keberhasilan dan kehancuran.
Sejak kecil, aku selalu di ajarkan tentang betapa harusnya memanfaatkan waktu, membuat rencana hidup untuk masa depan, membuat hidupku lebih terarah untuk masa depanku yang tentu itu semua di atur oleh ibu. Aku tadi bilang masa depan kamu yang mengatur bukan? Oke. Ralat. Masa depan orang tua bisa mengatur namun hasil akan tetap menjadi untuk mu dan keberhasilan orang tua dalam mendidik.
Hidup kaku dan terlalu serius kata orang yang menilai diriku pada saat pertama kali bertemu. Aku akan mendengarkannya dengan wajah biasa yang kata orang mirip triplek tak memiliki ekspresi. Lagi lagi orang orang menilaiku.
Aku di kenal cukup pendiam di campusku, saking malasnya aku berbasa-basi hingga tak ada kesempatan untukku untuk memiliki banyak teman kecuali Keyana. Ia temanku sejak SMP, sebenarnya sejak SD namun lebih resmi sejak SMP. gadis cerewet yang memiliki sejuta humor dan ekspressi. Berteman sudah cukup lama membuatku percaya dan terbuka. Belum lagi temanku yang ajaib ini memiliki sejuta tanya
“Tya, lihat deh cowok yang duduk di bangku pojok itu, arah jarum jam 12” ucap Keya menepuk pelan pundakku. Pandanganku yang sejak setengah jam terfokus pada layar laptopku kini beralih mengikuti intruksi Keya, sekilas, lalu kembali terfokus.
“kenapa? aku bertanya pada Keya yang sedang menyimpan kedua tangannya di bawah dagu sambil cungar-cengir.
Keya menatapku dengan hembusan napas kasar lalu memutar bola matanya malas. “oh ayolah Tya, kamu kapan bisa tertarik dengan lelaki kalau kamu acuh gitu? Eh eh eh tapi kamu normal kan?” ia menunjuku seolah sedang mencidukku.
“enak aja!” aku tak terima
”gini ya Key, aku itu lebih tertarik pada tumpukan tugasku di banding laki laki gak jelas itu, karena kalau aku acuhkan tugasku bisa beranak pinak” jelasku kembali fokus.
”kalau kamu acuhkan dia, nanti dia juga bisa beranak pinak loh” ia berbisik dengan satu tangan menutup mulutnya hanya mengarah padaku.
Aku memutar bola mata malas di balik kacamataku, ia selalu bisa menjawab semua argumenku dengan versinya yang menurutnya jenaka menurutku menyebalkan, asli.
Keyana, lebih dari 6 tahun berteman dengannya membuatku tersadar tentang bakatnya. Ia adalah pawang bucin dari segala perbucinan di planet ini. Semua laki laki tampan di fakultas kami ia hafal dan ia memiliki banyak teman, ah, maksudku ia sangat mudah bergaul walaupun hanya dekat denganku. Beberapa waktu ia membawa tumpukan biodata mahasiswa untukku yang entah dari mana asal usul ia bisa mendapatkannya.
”biar bisa ngerasain gimana jatuh cinta” katanya sambil membacakan nama-nama laki-laki dari biodata itu.
Misalnya seperti ini.
”ini namanya Bayu Jaelani dari Kalimalang, fakultas hukum semester 7, cita-cita pengacara yang sukses dan bisa membahagiakan orang tua, moto hidupnya tiada hari tanpa menghafal pasal, warna kesukaan maroon, bapaknya punya pakbik semen 5 roda dan ibunya guru PAUD” jelasnya membacakan biodata itu aku hanya diam dengan menyanyikan lagu indonesia raya di dalam fikiranku untuk mengusir jenuh.
”gila gila gila, ganteng banget gaes, liat deh” ia malah heboh sendiri sambil menunjukan sebuah foto berukuran 4×6 latar merah, cocok untuk syarat membuat SKCK fikirku.
Aku memandang foto itu lalu mengangguk satu kali walau aku tak sepenuhnya memperhatikan foto itu, hanya untuk menghargainya saja.
Ya…. kurang lebih seperti itu dan ada 50 biodata lebih yang ia tunjukan padaku.
Aku bertanya padanya “emang kalau aku ngerasain jatuh cinta emang kenapa?”
“biar kamu bahagia” jawabnya, ada binar harap di matanya. Setidak bahagia itukah aku?
Dan aku bertanya kembali bahagia sebesar apa? Ia menjawab sebesar ini sambil membuat lingkaran besar di udara sampai-sampai kedua tangannya terlentang dan kakinya berjinjit.
Aku menggeleng tak mengerti lagi.
“”aku udah gak ngerti lagi” ucapku sambil menggeleng takjub pada sikap kekanak kanakannya Keya.
”kamu itu skeptis, makanya kamu gak bisa merasakan jatuh cinta”
”enak aja!” aku tak terima
Ia malah tertawa terbahak sambil menepuk bahuku. Kebiasaan jeleknya ketika tertawa tangannya tak memiliki Akhlak
Di kelas aku dan Keya masih di kelas menunggu matkul yang sebentar lagi masuk, ya sekitar 30 menitan lagi, cocok bagiku untuk di pakai membaca buku. Bagiku, waktu itu adalah pilihan untuk masadepan, antara kemanfaatan atau kesia-siaan. Hidup ini harus menjadi orang yang bermanfaat bukan?
Terkadang aku merasa gatal melihat orang yang terlalu santai dengan hidup mereka tanpa memikirkan kedepannya bagaimana. Seperti sahabat aku yang satu ini, Keya, Ia malah cungar-cengir tak jelas sambil memandangi ponselnya tanpa kedip.
”kamu gila?” aku bertanya dengan leher memanjang mengintip layar ponsel Keya.
”enak aja!” ia tak terima
”kenapa senyum-senyum? Bukannya belajar ya kamu, malah cungar cengir gak puguh”
”ngomel mulu kek guru”
Aku melotot
”ah, lagian aku gak mau kayak kamu. Kebanyakan belajar jadi kaku kayak patung berjalan”
“mirip patung liberty nih, yang gayanya kayak gini” ucap Keyana menirukan patung liberty.
”enak aja!”
“makanya melar rin aja sih biar fleksibel biar pas di tarik gak sobek”
”kamu ngomong apa sih? Ngaur jawabnya, kebanyakan cengengesan”
”lihat deh Tya, ganteng kan?” ia menunjukan sebuah foto. Aku hampir lupa, makhluk yang satu ini selalu bucin pada sembarang orang. Hatinya terlalu lunak untuk di singgahi oleh para manusia penat.
“ini siapa lagi?” tanyaku
“Allert Szchuarez, orang Belanda. lihat deh foto-fotonya, keren-kerenkan? Lihat mobilnya dooong… gila dia KEREN banget”
Aku menggedikan bahu acuh.
“dia kagum sama aku karena aku orangnya asik untuk di ajak chating ngan, aku gak nyangka bisa di kagumi oleh orang sekeren dia”
Aku mengangguk, kisah lama. Sudah ku bilang ia terlalu lemah untuk di dobrak, bahkan walau hanya tertiup angin saja hatinya bisa langsung terbuka.
“aku suka sama dia” ia memutuskan.
“jangan langsung baper gitu, nanti nangis lagi ke aku sambil bilang semua cowo itu sama” aku memperingatkannya namun ia hanya memeletkan lidah dan berkata.
“ini beda”
Aku sudah menebak apa yang sedang ia pikirkan, itu terlalu mudah untukku. Pikiran dan ekspressinya terlalu transparan dasar Keyana.
Seperti itukah cinta?
Ia datang seperti wabah
Menyerang bagi siapapun yang lengah
Menggerogoti jiwa sadarnya
Setelah musim berganti ia pergi.
Rebahan di kasur minimalisku. Menutup mata sekedar melepas penat dengan tumpukan tugas dan materi seharian ini. “hanya 5 menit” aku bergumam pada diriku sendiri agar tidak larut dalam kemalasan atau membuang buang waktu.
Waktu sudah habis dan aku bangkit dan membuka lemari buku besarku mencari novel A Tale Of Two Cities,akhir-akhir ini aku senang membaca novel karya Charles Dickens ya lebih tepat mengulangnya karena aku sudah membacanya saat kelas 1 SMA, semua karyanya.
Ibu yang pertama kali mengenalkanku pada novel-novel keren ini saat aku kelas 3 SD dan menyuruhku untuk menghafal KBBI namun ibu kecewa karena saat lulus SMA bahasaku mulai berubah. katanya, aku menjadi sering berbicara dengan bahasa yang kurang tepat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apalagi saat berbicara dengan Keyana. Hancur semua KBBI yang selama ini aku hafal.
Sejak kecil aku selalu di didik untuk menjadi orang yang perfectsionist dalam hal apapun. Bahkan ibu selalu mengajarkanku tentang persiapan di hari esok. “menghadapi hari esok tanpa persiapan itu sama dengan bunuh diri” kata ibu saat kami berada di ruang makan.
saat kecil ibu sudah mengajarkanku membaca dan menulis mungkin saat umurku 3 tahun aku sudah bisa menulis dan membaca walaupun ujungnya aku masuk SD saat umurku 7 tahun tapi sebelum itu aku sekolah PAUD dan TK dan mengikuti berbagai lomba untuk seusiaku. Seperti mewarnai, menggambar, berhitung. Dan aku selalu menang.
Saat TK aku sudah di ajarkan materi kelas 1 SD, dan saat aku memasuki Sekolah Dasar aku sama sekali tidak kesulitan dan aku terus belajar untuk kelas berikutnya mempersiapkan segalanya. Saat SMA aku sudah mempelajari pelajaran kelas 12 saat aku kelas 10. Ya, aku terlalu terburu-buru walaupun rasanya aku tidak bisa santai dan bermalas malasan. “jangan pernah merasa puas akan ilmu” begitu kata ibu saat ibu mengajariku. \
Membaca novel adalah hiburan untukku untuk menghilangkan penat, mungkin dengan segelas jus wortel dan sepiring biskuit sebagai camilannya.
Duduk di ruang Televisi dengan kaki bersila di atas kursi dan buku yang di genggam. Tentu saja dengan TV yang mati menambah daya fokusku , hening, tanpa suara.
DRrrrdddd…
Ponselku bergetar tanpa ada panggilan masuk. Aku tak pernah mengaktifkan di mode dering, karena itu sangat mengganggu jika aku sedang belajar dan fokus. Walaupun bergetarpun sama hal nya.
Drrrrrddd
Aku tetap mengabaikannya. Karna itu tak mungkin ibu.
Drrrrrdddd
Aku menghela napas berat, Keyana memang tak memberikanku celah damai.
Aku sangat mengetahui siapa yang telfon. Jelas dan pasti itu adalah Keyana.
“halo”
“iiiihhhh ko gak di angkat angkat sih, aku pegel nih nungguin kamu di depan rumah”
“rumahku?”
“coba deh cek”
Aku beranjak dari posisi santaiku membuka pintu memastikan Keyana benar-benar ada di luar.
“gak ada, di luar rumah mana sih?”
“di luar rumah aku. Hahahaha”
Aku menghambuskan napas kasar, ia memang niat mengerjai dan membuang waktuku.
“nyebelin”
“hahhaa yaudah maaf-maaf, balik lagi aja gih masuk”
“terserah”
Aku melangkahkan kaki kembali masuk dan menuju ruang Televisi untuk kembali melanjutkan kegiatan membacaku.
Dan..
“Astaga!!” aku terkejut dan mundur satu langkah melihat Keyana yang sedang duduk dan meminum jus wortel yang tadi ku buat. Ia benar-benar mirip hantu yang bisa muncul dimana saja.
“ini apa sih? Ko jus nya gak enak”
Oke, ini makin menyebalkan, ia malah mengomentari jus buatanku bahkan meminumnya sebelum aku meminumnya. Aku menyorotnya tajam, kesal? Jelas. Tapi aku tidak bisa marah padanya yang entah kenapa.
“itu jus wortel” aku menjawab sambil duduk dan kembali memegang buku novelku.
“iihhhh” Keyana mulai dengan dramanya menjulurkan lidah seakan aku telah memberikannya sianida yang tercampur dalam jus buatanku tadi.
“kenapa gak bilang sih, aku kan gak suka sayur” ia berucap.
“aku tau kamu ada di sini juga enggak. By the way, ada perlu apa kamu wahai nona Keyana kemari tanpa di undang bahkan tanpa mengetuk pintu?” aku bertanya ia malah nyengir
“aku mau cerita nih, kami inget kan Allert yang aku ceritain itu?” ia mulai dengan sesi pertanyaan.
Aku mengangguk
“jadi, kami sempat video call tadi sore, dan tau gak? Ia muji aku loh, ia bilang aku cantik dan gemesin gitu dan dia bilang aku ramah, dia ingin ke Indonesia menemuiku dan dia ingin mengenalku lebih jauh dan menikah”
Aku memegang kepalaku, ia pernah berkata seperti ini sebelumnya, ya, semacam dejavu. Lebih dari 3 pria yang berkata seperti itu pada sahabatku yang berujung dengan peninggalan yang tragis menyisakan sebuah tangisan selama berhari hari dan beberapa box tisu, ia juga menginap di rumahku tidur satu kamar denganku lalu menangis semalaman hingga aku tak bisa fokus untuk mengerjakan segala aktifitasku dan aku juga semalaman begadang untuk memberikannya tisu untuk mengelap ingus lalu air mata. Ish itu sedikit menjijikan.
“lagi-lagi kamu percaya?” aku bertanya sambil menatapnya, aku melihat ada binar bahagia di retinanya tapi di sisi lain aku tak ingin dia kembali tersakiti oleh drama percintaan dan menghabiskan waktuu semalaman untuk menenangkannya.
“ini beda” dia berkata yakin.
Aku menghela napas “kamu bilang itu sudah 4 kali dan ini yang ke 5 kali Keyana” aku memperingatinya.
“ya.. pokonya ini beda. nanti deh pokonya kalau ia beneran kesini aku bakalan langsung kenalin ke kamu. Tapi awas lo ya kalau sampai naksir Allert juga” Keyana memperingatiku
“eh maaf aku lupa kalau kamu hanya cinta buku, hahahaha” ia tertawa puas.
“enak aja” aku tak terima. Jelas aku manusia normal tapi mungkin aku belum menemukan lelaki yang pas untukku.
Aku kembali melanjutkan membaca, Keyana diam, ia sudah faham dan terkadang ia mengerti walau lebih seringnya ia mengangguku.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu, aku melirik arlojiku. Ah, itu ibu.
“tante ya?” tanya Keyana. Ia sudah mengenal ibu dengan baik tentunya. Walau ibu tidak terlalu menyukai Keyana karena ia bukanlah orang yang sangat baik jika di ajak diskusi atau sekedar membahas novel yang telah di baca. Keya bahkan sangat tak menyukai segala jenis buku termasuk komik atau majalah. Dimata ibu, Keya juga sangat terlalu suka pecanda hingga ibu menilai bahwa Keyana tidak memiliki keseriusan dalam hidup. Tapi, meskipun begitu ibu tetap tidak pernah meremehkan atau menunjukan sikap tak sukanya, ia memperlakukan Keya, sahabatku, dengan baik.
“malam tante” Keyana memberi salam sambil mencium punggung tangan ibu, tentu aku sudah terlebih dahulu menyaliminya.
“eh, ada Keyana” ucap ibu dan Keyana nyengir.
“kamu sudah masak Tya? Atau kita makan malam di luar?” tanya ibu padaku.
“bagaimana kalau kita makan di luar aja tante, Keyana ikuta ya, soalnya Keyana juga belum makan nih, mama sama papa tadi lagi berantemnya di ruang makan jadi gak bisa makan deh” jelas Keyana. Orang tua Keyana memang selalu tidak akur dan selalu berbeda pendapat dalam segala jenis hal, sama halnya dengan ibu dan ayah, namun bedanya ibu dan ayah lebih memilih berpisah dan mencari kembali orang yang memiliki sudut pandang yang sama daripada harus menghabiskan waktu dengan bertengkar.
Ibu mengangguk menyetujui hal itu.
“baiklah, kalian siap-siap dulu saja ibu akan membersihkan diri terlebih dahulu”
Kami berdua mengangguk. Sejujurnya aku sudah memasak pasta setelah tadi membaca kembali sejarah pasta yang ibu berikan beberapa bulan yang lalu dan aku langsung membuatnya, aku pikir akan lebih menyenangkan jika kita duduk bersama menikmati pasta sambil membahas kembali tentang sejarah pasta di meja makan. Tapi mungkin lain kali aku akan melakukannya.
***
Kami bersiap-siap, Keyana dengan kaus putih dengan jaket merah jambu dan celana jeans pendeknya juga berwarna putih dan topi merah jambu sepatu skate tentunya berwarna merah muda.
Sedangkan aku hanya memakai jeans panjang dan baju hitam dengan kerudung senada dengan baju ku.
“kita makan apa bu?” aku bertanya.
“pasta, ibu ingin memakan pasta rasanya, kalian mau makan apa?”
“aku ramen” Keya menjawab
“aku pasta”
Setelah sampai di lestaurant originals kami langsung memesan
”sambil kita makan pasta bagaimana kalau kita bahas kembali tentang buku sejarah pasta?” usul ibu dan ku mengangguk binar.
“aku belum pernah baca sih tante, aku kan pesan ramen nih ya, jadi bagaimana kalau tante sama Tya aja? Aku menyimak deh sambil makan” alibi Keyana. Sebenarnya ku sangat tau kalau Keyana pasti akan menjawab itu.
Keyana tetap Keyana bukan?
Pesanan sudah datang dan aku dan ibu membahas kembali sejarah pasta. Sudah kuduga akan terpenuhi inginku.
DUA
APA CINTA ADALAH SEBUAH PERPISAHAN?
Aku dan Keyana duduk di perputakaan kampus. Aku yang sibuk membaca materi dan sejarah dan Keyana yang sibuk bermain ponsel yang ia tutupi dengan buku tebalnya yang terbalik. Aku terlalu malas untuk memberitahunya.
“Tya”
“hmm”
“Allert gak jadi ke Indonesia, dia sedang ada proyek besar di negaranya”
“alesan doang itu, dan kamu masih percaya?” aku bertanya mengalihkan pandanganku padanya sebentar. Aku melihat ada ekspressi kesedihan disana, sudah ku duga ia terlalu besar menyimpan harap pada laki-laki asing yang bahkan belum pernah di temuinya.
“katanya, aku saja yang ke negaranya. Menurut kamu gimana?” Keyana bertanya dan aku menghembuskan napas kasar seakan tak paham lagi apa yang sedang ia pikirkan.
“jangan kesana” aku berkata. Memberi saran yang sangat tepat untuknya yang terbaik dari yang terbaik seolah-olah aku tau kejadian apa yang akan terjadi jika Keyana pergi kesana.
“yah ellah, kamu mah ngelarang mulu. Ya gapapa dong aku duluan yang bertemu dengan calon ibu mertua disana?” ia nyengir kuda, aku sebal.
“kamu gak bisa samaratain orang Keyana, gak semua orang baik seperti yang ada di sekelilingmu, gak semua orang jujur dengan apa yang ia tampilkan, dan gak semua orang bisa kamu percaya. Apalagi ia itu orang asing dan kamu sama sekali belum pernah bertemu dengannya kamu gak tau asal usulnya, kamu gak tau apa yang ia ucapkan selama ini benar atau bohong” aku berkata panjang lebar menasehati Keyana yang bebeul. Ia terlalu mudah untuk percaya pada orang lain yang bahkan belum pernah ia temui sama sekali. Entah kenapa sejak awal aku selalu curiga pada Allert. Aku rasa ia bukanlah Allert yang berada di akun sosial medianya.
“kamu jangan sirik dong” Keyana tak terima.
Hey! Siapa yang sirik, aku bahkan tak tertarik pada bucin, pada laki laki yang penuh dengan topengnya.
Semenjak ibu dan ayahku bercerai, aku menjadi berpikir ‘APA CINTA ADALAH SEBUAH PERPISAHAN?’ bersifat sementara dan menuntut kesamaan?
Ayah dan ibuku berpisah karna sudah lagi tak sama pendapat.
Ibu dan Ayah bertengkar karena mereka tak saling setuju dengan pendapat satu sama lain.
Apa cinta itu harus sama?
“aku gak pernah sirik sama kamu apalagi soal lelaki, aku gak pernah tertarik untuk membahas lelaki. Tapi karena kamu sahabat aku maka aku harus berkata ini padamu” jujurku
“ya kan aku juga gak langsung iya-in permintaan Allert”
Aku diam.
“muka kamu pucet banget Tya” Keyana panik dan langsung membawaku ke toilet.
Ya, aku mengeluarkan sarapan pagiku di toilet.
“makanya jangan kebanyakan ngomong”
Aku memiliki kebiasaan aneh, jika berbicara terlalu banyak seakan aku juga mengangkat semua isi perutku untuk ikut berbicara.
“masih aja gak berubah hahaha” ia tertawa puas dan aku mendelik.
***
Aku memasuki taksi yang telah ku hentikan, akhirnya aku terpaksa pulang sendiri karena Keyana ada matkul tambahan. Saat pintu di buka tiba-tiba ada seorang lelaki yang menyerobot masuk ke dalam taksiku. Memutar bola mata malas dan aku tetap masuk ke dalam taksinya, toh ini juga taksiku, pikirku.
“jadi yang mana?” tanya supir taksi kebingungan.
“saya pak” ucap kami berbarengan.
Aku menatapnya tajam. Mana mungkin dia bisa mengatakan “saya pak?” jelas jelas ia masuk tanpa aturan, ini taksi karena aku yang memberhentikannya.
“ini saya duluan” jawabku
“nona, saya sedang benar-benar buru-buru” ia memohon.
Lelaki dengan wajah yang di tutupi oleh masker hitam dan kacamata hitam ini.
Huft.. aku menghela napas, tapi aku tidak ingin beranjak dari sana. Aku lapar. Butuh makan dan butuh asupan buku anatomi yang sempat tadi terlewat beberapa menit saat aku memuntahkan sarapan karena terlalu banyak bicara dengan Keyana.
“kalau begitu,berbagi saja. Saya gak ada waktu untuk kembali mencari taksi lain, itu sangat membuang waktu saya dan anda juga tidak mau mengalah bukan?” putusku akhirnya.
Ia mengangguk.
“jadi mau kemana?” tanya supir taksi lagi. Saya melirik lelaki itu menandakan ia yang terlebih dahulu.
“saya.. tidak tau saya harus kemana?” jawabnya.
”hah?! Yang benar saja” aku tak habis pikir
“antar saya ke restaurant dedaunan ya pak” putusku dan pak supir itu mengangguk.
Selama di perjalanan aku menyibukkan diri dengan buku anatomi ku tanpa memperdulikan orang itu di sampingku.
“kamu sedang membaca apa?” tanyanya.
Aku menoleh padanya, lalu mengangkat bukuku, biar saja ia sendiri yang membacanya.
Ia mengangguk.
Tak lama taksi berhenti, tujuanku sudah sampai, aku segera membayar dan beranjak untuk keluar.
“em.. nona,” lelaki itu memanggil dan aku menoleh tanpa menjawab.
“aku tak mempunyai uang rupiah, bolehkah aku pinjam uangmu? Aku janji akan menggantinya”
Aku mengeluarkan uang ratusan ribu 2 lembar lalu di berikan kepadanya.
Dan ia pun sama memberikan uang itu pada supir taksinya, ia juga turun disini?
“nona” lagi lagi ia memanggilku.
Aku menoleh kearahnya, pintu masuk restoran 2 meter lagi di tempat aku berdiri, namun lelaki ini terus mengikuti. Mengganggu.
“bisa berhenti mengikuti saya? Saya merasa terganggu” ucapku.
“sebetulnya, saya belum tau kemana saya akan pergi dan saya tidak punya uang rupiah” ia berkata. Ah, aku paham maksudnya dan akhirnya aku membuka tas kembali untuk memberikan uang kepadanya.
“bukan bukan itu” ia berkata
“saya lapar dan bisakan antar saya ke tempat penukaran mata uang?” tanyanya.
“oke” aku menjawab lalu berjalan menuju restoran tentu dengan dia yang mengikutiku dan berusaha menyamakan langkah kakiku panjang panjang. Aku masih heran kenapa ia sama sekali tak membuka masker dan kacamata hitamnya, apa jangan jangan dia sedang menyamar atau mungkin dia dalah penjahat?
Kami duduk di meja yang sama, jelas aku sedikit terganggu. Oh tidak, maksudku sangat terganggu karna keberadaannya.
“mbak” aku mengangkat tangan memanggil pelayan untuk memesan makanan.
“mau makan apa?” aku bertanya dengan mata masih tertuju pada menu makanan
“aku ingin makan nasi goreng dan jus naga” ia menjawab dan aku mengangguk.
“mau pesan apa kak?” kata pelayan saat menghampiri dengan tangan yang sipap untuk menulis pesanan.
“chicken katsu, cake caramel, jus wortel, nasi goreng dan jus naga nya ya semua satu” aku menyebutkan pesanan.
“baik kak, silahkan di tunggu sebentar ya”
Pelayan itu berlalu dan aku kembali membaca buku anatomi yang sempat terputus putus tadi.
“aku Kim Hyun Min, bagaimana dengan kamu?” ia tiba tiba memperkenalkan diri membuatku semakin tidak tertarik. Aku mengabaikannya dan berusaha untuk terus fokus pada apa yang aku baca.
“hei, mengabaikan seseorang itu sangat tidak baik” lagi-lagi ia berkata.
“maaf, aku tidak tertarik untuk kenalan” aku menjawab dengan pandangan masih terfokus pada buku.
“kamu mau kan bantu saya walaupun saya belum tau nama kamu?”
“mana sempat” jawabku
“kalau begitu saya akan mengikutimu”
Dasar keras kepala! Aku baru tau jika ada manusia lain yang keras kepala selain Keyana. Rasanya ku akan menggebrak meja dan berteriak
“pergi dari sini kau!! dasar orang gak jelas!” tapi aku masih punya akal untuk melakuakn hal itu, terlebih resikonya aku akan menjadi sorotan di restoran ini.
“ok” aku menjawab
“aku boleh mengikutimu?”
“aku membantumu” aku membenarkan.
Mana mungkin aku akan membiarkan orang asing ini mengikutiku.
Beberapa menit kemudian pesanan datang dan aku makan sambil mata masih tertuju pada buku ku.
Ia mulai membuka masker dan kacamata hitamnya, aku melihat sekilas, dan.
Aku gak ngerti lagi.
Udah gak ngerti lagi.
Seriusan, ini bukan lebay!
“kenapa melihatku seperti itu?” ia bertanya dan aku kembali terfokus pada buku dan makananku.
Aku mendengar kekehan kecil.
Kalau Keyana melihat lelaki yang berada di depanku sekarang pasti ia akan langsung melupakan Allert dan berubah menjadi cacing kepanasan di depan opa-opa korea ini. Wajahnya tidak asing, seperti aku pernah melihatnya tapi aku tak tau ia siapa dan aku tidak perduli.
“nona, bolehkah saya meminjam ponselmu?”
Banyak maunya!
Tapi anehnya aku tak bisa menolak dan memberikan ponselku tanpa mengalihkan pandanganku pada buku. Anatomi lebih tertarik di banding lelaki di depanku dan aku bisa membayangkan setampan apapun ia, ia pasti akan sama seperti di buku anatomiku.
“saya telah menyimpan nomor saya di ponsel nona, saya harap kita bisa saling bertukar informasi”
“saya gak minta” aku menjawab sambil memasukan makanan ke mulutku
“saya yang memberikannya nona”
“terserah, tapi saya harap setelah saya mengantar mu ke tempat penukaran uang anda langsung pergi dan kita akan bertemu lagi. Saya tak ingin membuang buang waku saya bahkan untuk menjawab pertanyaan anda” saya menjawab tegas dan ia tersenyum.
Kenapa ia tersenyum?
Kenapa senyunya manis sekali?
Dasar manipulatif!!
Aku menghela napas kasar mencoba untuk fokus apa yang sedanga aku kerjakan saat ini.
“saya sudah makannya. Cepat habiskan makanan anda”
Ia mengangguk.
Ia turis nyasar atau bagaimana sih? Tempat tinggal tak punya, uang rupiah tak punya. Tapi lancar berbahasa indonesia.
***
Kami berjalan mencari tempat penukaran mata uang, sejujurnya aku sama sekali tak tau di mana tapi aku hanya berusaha membantunya yang entah kenapa aku mau.
“nona, sepertinya saya lelah”
“astaga.. kita baru berjalan 50 meter” aku tak habis fikir.
“kenapa kita tidak memakai taksi saja?”
“di depan baru ada taksi”
“istirahat sebentar ya nona” ia duduk di kursi tentu di pinggir jalan.
Aku ikut duduk dan membuka ponselku dan astaga.. lagi lagi aku lupa untuk mencharger ponselku.
Hening..
Hari mulai gelap, bahkan aku lupa waktu. Oh tidak, hari ini aku sangat banyak menyia nyiakan waktu. Mungkin jika ibu mengetahui aku yang lalai seperti ini mungkin ibu akan pingsan.
“saya suka langit malam” ia berkata sambil terus memandangi langit, belum terlalu gelap dan masih terlihat awan di atas sana.
“awan saat malam lebih ramai dan aku jarang sekali bisa melihat langit malam seperti ini”
Aku masih diam.
“dahulu akhu hanya bisa melihat kilauan lampu tembak di atas sana. Ah, aku sangat mengagumi langit” ia berkata takjub
Bingung mau jawab apa, yang ku lakukan adalah ikut melihat langit malam bersamanya. Memang indah, awan-awan seakan memiliki cahaya tersendiri. Walaupun sejauh ini aku belum melihat bintang.
“aku terlalu banyak menyia-nyiakan waktu” aku menghembuskan napas kasar.
“nona tidak sama sekali menyia-nyiakan waktu nona, nona sedang memanfaatkan waktu nona yang berharga”
Aku menoleh kearahnya mengerutkan alis
“nona telah menolong saya” ia memperjelas
Ah, aku baru sadar. Ada sedikit senyum terbit di bibirku. Entah kenapa rasanya bangga pada diri sendiri.
“jika saya sekali lagi bertanya tentang nama nona apakah nona akan menjawabnya?” ia bertanya kembali
“Nastya” aku menjawab
“ah, Nastya-ya” ia mengangguk.
“sudah cukup istirahatnya, mari kita lanjutkan untuk mencari taksi. Saya gak mungkin untuk pulang larut karena masih banyak yang harus saya kerjakan untuk hari esok” ia bangkit dan mengangguk.
Kita berjalan pelan..
“apakah kamu tidak mengenal saya?” ia tiba-tiba bertanya.
“Kim Hyun Min” aku menjawabnya
“kamu mengenal saya?” ia malah bertanya seperti memastikan, jawahnya terlihat kaget.
“saya tidak bodoh, baru dua jam yang lalu anda menyebutkan nama ada sendiri dan baru 5 menit yang lalu saya menyebutkan nama saya, anda mau menguji saya atau bagaimana?” lagi. Saya menjawab sarkas
Ia menghembuskan napas kasar.
“maksudku……” ia menggantungkan ucapannya
“ah, tidak tidak, lupakan” ia menggeleng cepat.
Aku mengangguk dan perlu di ketahui aku sama sekali tidak memikirkan.
Akhirnya kami sudah sampai di jalan yang ramai taksi berlalu lalang.
Tak lama saat taksi lewat aku memberhentikan dan bertanya tempat penukaran mata uang Indonesia dan aku beruntung karna sang supir tau dimana tempatnya.
Selama perjalanan hening dan aku selalu menyempatkan waktu untuk membaca walau hanya satu paragraf.
Setelah 20 menit akhirnya sampai di tempat penukaran uang dan kita memasuki untuk bertukar uangnya.
Menunggu 15 menit lalu selesai akhirnya disitulah perpisahan kita.
“terimakasih nona Nastya, saya sangat terbantu, terimasih banyak” ia membungkukan badan berkali kali.
“sama-sama, baik, tugasku sudah selesai dan saya akan pulang”
“terimakasih sekali lagi, dan semoga harimu menyenangkan”
Aku mengangguk lalu berlalu masuk kedalam taksi.
Untuk melanjutkan membaca BAB selanjutnya, silahkan melakukan pinjaman buku harian
Penulis :
Selviana Rusliawati
Ukuran :
14 x 21
Status :
Terbit
Ketebalan :
213 Halaman
ISBN :
978-623-94442-8-0