Karya Santri Rebahan

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
Sebuah karya yang terlahir saat liburan, persembahan dari kami yang merasa bosan karena selalu mengisi hari dengan rebahan. Berjuang di tengah pandemi melawab kemalasan dengan menggerakan jari merangkai kata demi kata yang berarti . Ini adalah sebuah buku antologi yang diciptakan semenjak pergi hingga kembali ke pondok lagi Maka bagi para pecinta literasi. Lihatlah, buku ini berisi cerpen dan puisi semoga dapat menjadi motivasi

PINJAM BUKU

Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book

 

Perantara Istimewa

Oleh: Shabrina Hasnaa Fauziyah

 

Angin risau dan gemericik hujan jatuh di atas dedaunan rimbun. Pemuda itu hanyut dalam lamunan, berandai-andai jika kakaknya bisa seperti gadis yang dipujanya. Berjilbab anggun dan syar’i serta berakhlak mulia. Ia tidak rela, jika aurat kakak perempuannya itu ditonton banyak mata. Terus hanyut memikirkan cara terbaik agar kakaknya bisa mengkaji Islam. Sampai tiba-tiba suara petir menyadarkannya dari lamunan.

‘Astaghfirullah begitu sulit mendakwahi kakak sendiri.’ gumam pemuda itu dalam hati. Lalu beranjak mengunci pintu jendela.

Ia telungkup di ranjang, matanya sulit sekali terpejam. Mencari cara bagaimana mengatasi kakaknya yang keras kepala.

Entah berapa lama, ia terbenam dalam lamunan. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Lampu dinyalakan. Gadis semampai yang cantik, berbaju minim serta celana pendek, melangkah masuk tanpa merasa bersalah.

Seketika mata sipit Amzar membesar. “Astaghfirullah, pakai baju tuh yang sopan dikit!” Pemuda itu sontak membalikkan badan.

“Apa yang salah dengan bajuku?” jawab Layyan, angkuh.

Amzar mengepalkan tangan, beristighfar dalam hati. Menahan emosi.

“Lho, aku kan udah pernah bilang tentang batasan aurat perempuan kepada lelaki mahramnya. Pakai sarungku sementara.” tutur Amzar lembut, sambil memberi sarung yang ada di samping pembaringan.

“Ish, menyebalkan!” gerutu Layyan, “hidupmu terlalu ribet, Zar.”

“Memang ribet Kak, tapi ini perintah dari Allah. Perintah yang abadi, tidak ada seorangpun yang bisa mengubahnya. Tetapi, semenjak sistem Islam diganti dengan sistem yang bobrok seperti sekarang, semuanya berjalan semau manusia, tanpa ada batas, bebas. Itu namanya liberalisme.”

“Aku ke sini bukan untuk diceramahimu.” Gadis itu memotong perkataan pemuda yang tidak lain adalah adiknya sendiri, lalu mengambil laptop.

Pemuda tampan itu tergugu. Sukar untuk bicara, bibirnya terbungkam.

“Besok aku akan mengundang temanku, diskusilah dengannya. Siapa tahu nyaman.” ucap Amzar tersekat, “kajilah Islam lebih dalam, Kak.” Suaranya hampir tidak terdengar, sayup-sayup masuk kedalam pendengaran Layyan.

“Silahkan saja, tapi aku susah berpaling. Semoga usahamu yang ini berhasil.” Layyan berdiri di ambang pintu dengan tatapan merendahkan.

Dua detik kemudian. Gadis itu pergi, menutup pintu kamar, lalu menghilang.

Pemuda itu merasa kosong. Terus bolak-balik di ranjang tanpa bisa memejamkan mata. Memikirkan cara menghubungi temannya tersebut.

Menjelang dini hari, barulah ia tertidur dengan susah payah.

Amzar berlari pelan, ingin menghampiri gadis anggun yang sedang membaca buku di taman kampus.

“Assalamu’alaikum, maaf mengganggu. Bisa bicara sebentar?” Pemuda itu melihat jelas raut wajah gadis yang ada di hadapannya sangat terkejut. Cepat-cepat ia menundukkan pandangan.

“Waalaikumussalam. I-iya bisa.” Rindu terpaksa memegang tangan teman di sampingnya yang berniat pergi. Walaupun ini tempat umum, tapi tetap saja ia tidak berani berinteraksi dengan lawan jenis berdua. Takut orang yang melihat beranggapan aneh.

“Apakah bersedia berdiskusi dengan kakakku? Secepatnya.” tanya Amzar to the point. Ia tak suka basa-basi.

“Oh, tentu saja bisa. Tapi maaf, mungkin ada waktunya menjelang sore. Kebetulan ada jadwal mengisi kajian.” Mata gadis itu berbinar. Tentu saja ia senang mendapat kontakan baru.

“Tidak masalah. Nanti saya kirim alamat rumahnya.”  ucap pemuda itu sambil mengotak-atik ponsel, mencari nomer Rindu di salah satu grup kampus. Sedangkan Rindu hanya membalas dengan anggukan.

“Maaf mengganggu waktumu sekali lagi. Assalamu’alaikum.” Amzar tidak sengaja menatap bulat mata indah gadis itu, lalu beranjak tanpa basa-basi dan menoleh lagi. Meninggalkan Rindu yang terdiam dalam kegugupan.

“Waalaikumussalam.” jawab gadis anggun bernama Rindu itu dengan sangat pelan.

Rindu membuka ponselnya karena merasa ada getaran, tanda ada sebuah chat masuk. Tiba-tiba matanya redup. Ia mendesah pelan. Ternyata teman-temannya tidak bisa mengikuti kajian hari ini.

Lima menit kemudian, matanya kembali berbinar. Lalu beranjak, menuju parkiran motor.

 

“Perempuan yang menutup aurat tentu saja disegani oleh orang. Tak semua berani berlaku seenaknya. Karena mereka paham, orang tersebut menjaga kemuliaannya. Perumpamaannya seperti sebuah permen yang terbuka bungkusnya dengan yang tertutup. Kira-kira kalau Kakak diberi 2 pilihan tersebut, mau milih yang mana?”

“Yang terbungkuslah.” jawab Layyan, santai sambil mengupil dengan jari kelingkingnya.

Menyaksikan sikap cuek kakak temannya ini, Rindu jadi ilfeel.

“Ibarat sebuah berlian di toko, disimpan di bagian teraman. Tak semua orang bisa melihat atau bahkan memegangnya. Karena berlian tersebuh di bandrol dengan harga mahal. Berbeda dengan emas imitasi yang berjejer di sisi jalan. Bahkan orang yang lewat pun bisa seenaknya memegang tanpa membeli.”

“Setiap muslimah itu wajib menggunakan jilbab,” sambung Rindu sambil membenarkan posisi duduknya. “dalilnya ada di surat al-Ahzab ayat 59, Allah memerintahkan istri-istri Rasulullah, perempuan-perempuan muslim untuk menjulurkan jilbabnya (pakaian kurung) ke seluruh tubuh mereka agar mereka dengan mudah untuk dikenal, tidak mudah untuk diganggu. Sedangkan dalil untuk khimar atau kerudung ada di surat an-Nisa ayat 31, ‘Hendaklah menutupkan kain kudung sampai ke dadanya.’

Nah, jangan sampai tertukar antara jilbab dan kerudung, atau bahkan sampai menyalahartikan keduanya. Jilbab itu baju kurung yang menjulur ke seluruh tubuh, kalau sekarang mungkin lebih dikenal dengan sebutan gamis. Sedangkan kerudung adalah kain yang menutupi kepala minimal sampai dada.”

Mata Layyan fokus, tertarik mendengar gaya penuturan yang berbeda. Kecakapan dalam berbicara serta fakta-fakta yang dituturkan sulit untuk ditolak. “Aku sudah sering sekali mendengar penjelasan tentang menutup aurat. Tapi aku belum siap untuk berhijab.”

“Apa yang membuat Kakak belum siap? Bukankah semuanya sudah jelas? Ini perintah dari Allah. Tidak bisa di ganggu gugat.” tutur gadis anggun itu lembuh, namun tetap tegas.

“Diriku merasa belum pantas untuk berhijab karena sikapku pun masih jauh dari kata baik. Bagaimana tanggapan orang nanti melihatku berubah 180 derajat?”

“Maka dari itu, dengan diri kita menggunakan jilbab dan menutup aurat, perlahan akan membimbing diri menjadi lebih baik. Jangan jadikan alasan kalau berhijab itu akan menghalangi segalanya, menindas atau bahkan mengekang. Padahal jelas seperti di dalam surat Al-Ahzab, bahwa jilbab untuk menghindari kita dari mata-mata yang jahat. Menutup aurat juga harus lillah, karena Allah. Jangan pikirkan tanggapan orang lain tentang kita. Fokus saja dengan kerindoan Allah. Percaya semuanya berjalan atas izin-Nya.”

Layyan bertopang dagu. Pikirannya seolah diajak terbang melayang, lalu memandang segala persoalan dari atas. Sehingga nampak  jalur-jalur yang bisa diambil untuk membebaskan kemacetan berpikir.

Diam-diam Rindu melirik jarum jam yang ada di tangannya. Tak terasa sudah lebih dari 2 jam mereka berdiskusi. Menanggapi Layyan yang cerdas tapi keras kepala membuat Rindu memutar otak, memberi penjelasan diiringi dengan fakta yang terjadi pada saat ini.

Arus masa terus bergerak, purnama pun berganti. Amzar sedang menghibur diri dengan menonton pertandingan bola di salah satu stasiun TV. Entah karena tekanan persoalan yang bertubi, atau kegelisahan yang telah menumpuk selama ini, ia terdorong untuk mencari pencerahan pikiran, memanjakan diri. Bersantai ria di ruang keluarga sangat dirindukan oleh pemuda jangkung itu, dengan melupakan sejenak pikiran-pikiran yang membuatnya jenuh.

“Assalamu’alaikum.” sapa Layyan membuka pintu.

Kunyahan Amzar terhenti seketika, mendengar suara pintu terbuka. Pemuda yang sedang memegang bungkus makanan ringan itu membalikkan badannya. Terkesiap mendapati Layyan berdiri di belakangnya.

“Kak Layyan?” Mata sipit Amzar membulat, Layyan mundur perlahan. Hampir saja pemuda itu melayangkan tangannya ke muka kakaknya.

“Astaghfirullah, kemana hilangnya ilmu yang telah Kakak kaji? Berani sekali melepas kerudung lagi?” Muka pemuda itu sudah merah seperti udang rebus, menahan emosi. Tak menyangka kakaknya akan melakukan perbuatan seperti ini.

“Aku butuh kebebasan, Zar. Aku gerah harus berpura-pura baik di depanmu. Duniaku dan duniamu itu beda. Kamu mungkin tenang, karena lingkunganmu pun mendukung kealimanmu itu.” Telunjuk Layyan tepat di depan mata Amzar.

“Sudahlah, aku tidak mengharap kepedulianmu lagi. Biarkan aku bebas, bertindak semauku. Kamu nggak usah ikut campur!” Intonasi suara Layyan meninggi. Lalu bergegas menaiki tangga, tapi tangannya cepat diambil oleh Amzar, dicengkram kuat.

“Kakak adalah tanggung jawabku. Ibu dan Ayah mempercayai kita merantau jauh dari kampung untuk menuntut ilmu, membanggakan orangtua. Lalu begini perilaku Kakak? Berfoya-foya, menyenangkan diri sendiri?” Pemuda itu sekuat tenaga berkata lembut, berusaha meluluhkan  hati kakaknya.

“Bagaimana kajiannya dengan Rindu?” Amzar lanjut bertanya.

“Gak peduli. Asal kamu tahu, aku sudah lama tidak mengikuti kajian intensif itu lagi!” Mata Layyan menatap tajam adiknya.

Sedangkan Amzar kalap, tidak bisa lagi menahan emosi. Ia lepaskan tangan kakaknya dengan kencang, membiarkan kakaknya berlalu pergi dan menghilang. Meninggalkan Amzar di ambang kebingungan. Ia gelisah, dan tak mengerti harus berbuat apa. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu meraih ponselnya untuk menanyakan permasalahan ini kepada Rindu.

 

“Assalamualaikum, halo? Siapa ya?” ucap gadis di balik telepon itu lembut. Kepala Amzar seketika dingin, hilang sudah semua beban. Pemuda itu terdiam, tidak mengerti dengan perasaan aneh yang dirasakannya. Amzar tak merespon beberapa saat lamanya.

“Halo? Maaf dengan siapa ini?” ucap gadis itu lagi. Hampir saja Rindu memutus sambungan teleponnya, tetapi suara bariton tiba-tiba terdengar menjawab salam.

“Wa-waalaikumussalam. Ini Amzar, mau nanya perkembangan kajian kakak saya gimana? Kenapa dia malah melepas kerudungnya lagi? Apa benar sudah tidak berjalan?” Pertanyaan bertubi dilontarkan Amzar tanpa henti. Suaranya terdengar bergetar menahan emosi.

“Astaghfirullah, innalillahi saya baru tahu kalau Kak Layyan sampai berani melakukan itu. Memang kajiannya sudah lama tidak berjalan, karena dia selalu menolak dengan alasan sibuk kuliah, Kak.”

“Memang sudah tidak bisa dibujuk? Sampai terabaikan seperti itu?” Suara Amzar tiba-tiba berubah tegas. “Seandainya saya tahu sejak awal akan begini. Lebih baik saya memilih yang lain untuk menjadi mentor kakak saya.” ucap Amzar, dingin.

“Sa-saya benar-benar menyesal, Kak. Maafkan saya karena belum bisa berbuat maksimal membimbing Kak Layyan.” Suara Rindu bergetar, tak menyangka akan mendapat perkataan pedas seperti itu.

“Tak masalah, coba ajak diskusi lagi. Maaf jika kurang sopan.” Amzar merasa malu sekaligus bersalah. Sifat impulsifnya keluar bahkan di depan gadis anggun itu.

“Yaudah, Kak. Maaf sekali lagi. Assalamu’alaikum.” Suara gadis di balik telepon itu semakin terdengar pelan dan menghilang.

“Waalaikumussalam.” Amzar masih saja menempelkan benda pipih itu di telinga, tak sadar jika percakapan sudah berakhir.

Pikirannya dibawa terbang, menerka-nerka apakah Rindu beranggapan aneh terhadapnya. Sampai tiba-tiba suara teriakan kakaknya menyadarkan lamunannya. Tergopoh ia menaiki tangga, menuju kamar kakaknya itu.

 

“Kenapa, Kak?” napas pemuda itu terengah-engah. Panik dengan teriakan kakaknya.

Amzar mendapati Layyan sedang menangis histeris di pojok ruangan. Menjambak-jambak rambutnya sambil memukul-mukul dirinya sendiri. Persis seperti orang frustasi. Pemuda itu bingung, harus berbuat seperti apa. Karena sudah lama sekali penyakit kakaknya tidak pernah kambuh. Yang bisa dilakukan Amzar hanya mengelus punggung kakaknya untuk menenangkan. Lima belas menit berlalu, Layyan sedikit tenang.

“Apa yang terjadi, Kak?” tanya pemuda jangkung itu, sangat hati-hati. Tetapi, gadis yang ada di dalam dekapan adiknya itu hanya menggeleng kuat. Menolak diajak bicara.

Lima menit kemudian, suara tangis gadis itu pecah lagi. Mata sipitnya semakin kecil karena menangis. Amzar menatap iba, tetapi tidak bisa berbuat apapun. Akhirnya pemuda itu keluar kamar, mencari cara untuk membuat kakaknya tenang dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Di dalam pikirannya hanya ada satu nama yang terlintas, tanpa berpikir panjang ia menghubungi orang tersebut. Mencoba berulangkali menghubungi, tetap saja tidak ada jawaban. Ponselnya tidak aktif, kemana ia harus mencarinya?

Amzar mengacak-acak rambutnya gusar. Ia sangat bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin ia menghubungi orangtuanya. Pemuda penyayang itu tidak tega jika orang tuanya panik mendengar kabar kakaknya kambuh lagi dari penyakit bipolar[1] yang sudah lama diidapnya. Dengan terpaksa, ia kembali menemui kakaknya, menanyakan hal yang sama. Saat membuka pintu kamar Layyan, kedua mata kakak beradik itu bertemu, penuh iba. Layyan maupun Amzar tidak bisa berkata-kata, keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing.

“Bantu aku hijrah, Zar.” ucap gadis itu sesenggukan dengan tatapan memohon, memecah keheningan. Amzar terkejut, tidak percaya dengan perkataan Layyan. Ia terdiam cukup lama, berusaha mencerna baik-baik perkataan kakaknya.

“Akan kubantu dengan senang hati, Kak.” Mata Amzar berbinar, menemui titik balik dari semuanya. Pikirannya langsung tertuju pada sosok Rindu. Tetapi Amzar teringat bahwa nomor gadis itu tak bisa dihubungi. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencoba membimbing kakaknya sendiri.

Cermin memang tidak bisa berbohong. Kalau cantik, cermin akan memantulkan kecantikan itu apa adanya. Jadi, ketika Layyan melihat pantulan dirinya cantik, berarti benar adanya. Meskipun ia sering tidak percaya diri jika bersanding dengan Rindu.

Pagi ini ia tepat di depan cermin yang ada di kamarnya. Bibir merah kecilnya tersenyum ditahan-tahan terlihat malu. Pantulannya di dalam cermin terlihat bersinar dibungkus kerudung merah marun. Berpadu gamis sewarna dengan motif bunga-bunga kecil.

Layyan berputar sekali lagi di depan cermin seukuran tubuhnya, persis seperti model yang sedang mempromosikan barang jualannya. Ujung jilbab model umbrella-nya mekar menakjubkan. Ia sangat suka, suka sekali dengan gamis set pemberian Rindu.

Sebenarnya gamis set ini diberikan Rindu sebulan lalu saat ia dan gadis anggun itu memulai lagi kajian intensifnya. Namun baru hari ini Layyan berniat mengenakannya. Entah mengapa, waktu itu egonya masih tinggi untuk menerima pakaian pemberian Rindu. Jadi, ia hanya menyimpannya di dalam lemari.

Layyan berulang kali mengucap syukur karena Allah telah mengirimkan Amzar sekaligus Rindu dalam hidupnya.

Dua bulan sudah, ia terbebas dari keterpurukan. Pengalaman pahit yang dialaminya dengan teman-temannya saat berfoya-foya di suatu tempat maksiat, menampar keras gadis itu, menyadarkan betapa pentingnya pemahaman Islam dalam kehidupan seorang muslim. Pada akhirnya ia mengerti, betapa indah Islam ketika mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Gadis semampai itu keluar kamar dengan senyum yang merekah. Membuat tampilannya terlihat menjadi sempurna. Sedangkan Rindu yang menunggunya sambil menguyah makanan ringan yang disediakan, terkesima. Ia tidak bisa menolak kecantikan gadis yang ada di depannya itu, mirip sekali dengan model-model iklan yang ada di TV. Menakjubkan.

“Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya gadis sipit itu kepada Rindu. Padahal ia merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya, tetapi Rindu menatapnya dari atas sampai ke bawah.

“Ti-tidak, Kakak terlalu cantik memakai jilbab itu.” jawab Rindu sambil tersenyum.

“Ah, masa. Mungkin karena ini adalah gamis pemberianmu, aku jadi terbawa aura kecantikanmu.” Tidak bisa di sembunyikan lagi, pipi Layyan berubah merona karena dipuji gadis anggun itu.

Sampai tiba-tiba suara langkah seseorang terdengar menaiki tangga. Langkahnya terayun tidak canggung, karena ia tidak mengetahui ada seorang tamu di lantai atas. Baru saja pemuda itu ingin  mempercepat langkahnya, tiba-tiba ia mendapati 2 gadis cantik, kakaknya dan gadis yang dipujanya.

Amzar terkunci, terkunci di dalam mata indah milik Rindu. Gadis yang sudah lama sangat ia rindukan. Gadis yang berhasil mencairkan dinginnya sikap Amzar. Gadis yang sangat berpengaruh di dalam hidup kakaknya begitu pun dirinya.

Walaupun ia sempat sakit hati, karena perilaku Amzar kepadanya sangat mengecewakan. Padahal pemuda itu pasti paham, hidayah datangnya dari Allah, sedangkan dirinya hanyalah perantara.

“Rindu?” ucap pemuda jangkung itu begitu dalam dan bermakna. Hatinya sedang dilanda rindu yang meradang, memanggil gadis bernama Rindu.

“Kamu pasti kaget ya, Kakak bareng Rindu?” kata Layyan menggoda adiknya. Amzar senyum tersipu mendengar perkataan kakaknya.

“Kok bisa, sih?” tanya pemuda itu penasaran. Karena selama ini Amzar tidak bisa menghubungi nomor Rindu.

Rindu tersenyum menunduk karena ia paham maksud pemuda itu bertanya. Dua bulan lalu telepon genggam Rindu memang tidak bisa dihubungi, karena terjatuh dari motor.

“Amzar kepo. nih.” goda kakaknya lagi.

“Ah, itu sih rahasia kita berdua ya, Rin.” kata Layyan sambil memegang tangannya Rindu dan mengajaknya pergi. Hari ini ada kajian di salah satu majlis taklim. Mereka meninggalkan Amzar yang terlihat begitu gugup.

Pemuda jangkung itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil mengernyitkan keningnya. Senyum tipis tergambar di wajah tampan itu. Amzar bahagia, karena kakaknya sudah berubah dan kembali ke jalan yang lurus dan benar. “Alhamdulillah, Terimakasih Ya Rabb Kau telah mengirimkan Rindu, sebagai perantara hijrah kakakku, si gadis yang menginspirasi semua orang untuk menjadi lebih baik.” gumam Amzar dalam hati.

[1] Gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang. Ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania (bahagia) dan depresi (sedih).

Untuk melanjutkan baca BAB selanjutnya, silahkan melakukan pinjam buku harian

Pemesanan buku cetak

Penulis :
Santriwati Ma’had Al-Abqory

Ukuran :
14 x 21

Status :
Terbit

Ketebalan :
158 Halaman

ISBN :
978-623-94442-0-4

Harga :
Rp. 70.000

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar