Ramadhan 1442 hijriyah. Purnama salah satu malamnya menyala terang, mengusir gulita sekitar belantara di mana saya duduk menatap horizon yang dihiasi pelita kota Buitenzorg nun di arah barat laut sana. Sebuah kota ‘sepenggal surga’ dunia yang disinggahi para kompeni Hullanda sebelum Indonesia hadir dalam kancah dunia.
Setelah menghitung hari yang terus berganti sampai berbilang tahun, malam itu tepat purnama ke lima bulan puasa kami di kampung Maghfirah bersama kawan-kawan yang selalu saya bangga. Seketika memori di kepala memutar ulang hari-hari penuh warna dimulai dari hari pertama sampai pada purtama kelima di malam itu.
Saya berpikir, salah satu harta terbaik saat ini, setelah penjagaan Rabb jalla wa’alaa sehingga atas iman di dada, adalah kawan-kawan setia yang tidak sempurna. Tak sederhana bersama dalam rentang waktu yang cukup lama, meladeni aneka warna tempaan dan ujian yang melelahkan.
Akan tetapi, walau lelah, kami berharap selalu agar Allah ta’ala mencatatnya sebagai upaya dan usaha yang bernilai lillah.
Doa yang selalu kami panjatkan agar semua ini tak berujung penyesalan; seperti yang dipanjatkan sang komandan pembuka Afrika, Uqba bin Nafi’, “ربنا تقبل منا”
Ba’da doa mulia itu, teringat pesan al Musthafa shallallahu’alaihiwasallam “تهادوا تحابوا” Agar cinta terus bersemi di dada, salah satu formulanya adalah dengan saling bertukar hadiah bermakna.
Dalam senyap malam itu, pertanyaan menanti jawabnya, “hadiah apa yang dirasa paling berharga untuk kawan-kawan yang telah dan masih berjuang bersama menjadi bagian dari para pembuka?” kira-kira apa yang mungkin bertahan cukup lama agar kawan-kawan tak terlupa walau masa masa berganti dan berpindah generasi?