GANTI MENANTU

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
Baru saja, Haura Nusaibah menikah dengan Rayhan, anak dari taipan Sonny Pangestu. Sulit bagi Haura menjadi menantu yang baik. Sonny Pangestu tidak suka jika putra sulungnya menikahi gadis biasa. Trauma di masa lalu mengubah belief-nya tentang pernikahan. Menurutnya, Haura adalah menantu pembawa sial. Beragam upaya dilakukan Sonny untuk mengganti menantu dengan gadis yang dianggap setara. Lea namanya. Ia mencintai Ray sejak masa kanak. Namun cintanya tak pernah berbalas. Di sisi lain, Chyntia, mantan pacar Ray, hadir kembali. Lalu Jonas, dokter muda yang mengagumi Haura sejak masa SMA. Bagaimana Haura menghadapi lika-liku hidupnya? Bukan Haura, jika menyerah. Hafizah itu tetap mendampingi Ray bahkan ketika Ray bangkrut. Sonny sadar bahwa Haura adalah menantu yang tepat. Sayang, semua sudah terlambat. Sonny tak mampu memadamkan api kegilaan yang berkobar di hati Lea. Balas dendam akibat cinta yang salah, mengakhiri kehidupan Sonny, sejenak setelah ia mulai menyayangi menantunya.

Bunga bertaburan

senyum bertebaran.

 Tak ada luka.

Yang ada sukacita

 Dan tangis bahagia.

 Mentari pun tertawa

 Menatap dua insan

Dengan wajah berbinar

 Merekah

Tertautkan cinta

 

Hari bahagia untuk Haura dan Ray. Mereka merayakan cinta setelah lika-liku yang menyesakkan.

“Seperti mimpi. Pekan lalu, kita masih orang asing. Sekarang, kita sudah sah.” Ray duduk berhadapan dengan istri yang dinikahinya dua jam lalu itu. Tangan Ray menggenggam erat jemari Haura. Wajah perempuan manis berkulit kuning langsat itu berbinar. Jantungnya berdegup kencang, keringat mengalir di pelipis. Ini pengalaman pertama, tangan Haura dipegang laki-laki. Ray, pemuda yang dicintainya dalam diam.

“Alhamdulillah. Allah Maha Baik, mempertemukan kita dengan cara yang indah.“ Senyum Haura mengembang, pipi chubby-nya menampakkan lesung pipit. Manis.

“Sekarang, aku bisa memandangmu tanpa harus menunduk. Aku bisa sepuasnya menatap matamu. Tanpa takut dosa.”

Haura tertawa lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pipinya memerah. Bulir bening lagi-lagi terbit di ujung mata itu.

“Kamu cantik kalau lagi malu. Aku suka,” ujar Ray,”May I kiss you?”

“Hush! Malu!”

Ray tertawa; berhasil menggoda istrinya. Wajah putih Ray makin bersinar terbawa aura bahagia. Pernikahan sederhana mereka bertempat di rumah Haura. Sederhana karena hanya dihadiri keluarga dan tetangga terdekat.

Para tamu dan keluarga sedang beramah-tamah di halaman. Haura dan Ray, memilih bercengkrama di salah satu sudut rumah Haura.

“Maaf, Mas. Seharusnya aku berhias lebih baik hari ini. Aku hanya dandan ala kadarnya.” Haura menunduk. Tangannya sibuk memegang pipi yang nyaris tanpa make up dengan pakaian maxy dress marun yang dikenakan.

“Haura, Aku suka dengan dirimu yang natural. Begini saja sudah berhasil menawan hati. Justru, aku yang malu. Seharusnya, aku bisa memuliakanmu dengan pernikahan yang lebih indah. Waktu untuk mempersiapkan pernikahan ini hanya dua hari. Jadi hanya bisa begini.”

Gantian Ray insecure karena merasa tidak bisa mengemas acara pernikahan mereka secara layak. Pernikahan ini, terjadi dengan begitu cepat. Banyak hal tidak terduga terjadi. Sepekan lalu, Haura kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Ray membantu ibu Haura, Umi Rima, merawat Haura.

Saat itu, hubungan kedua anak manusia itu tidak baik. Haura belum memaafkan sikap Ray empat tahun lalu. Haura kecewa karena Ray hampir menciumnya di malam ulang tahun Alicia. Sejak malam itu, Haura dan Ray tidak pernah bertemu.

Kembalinya Ray dalam hidup Haura, membawa trauma. Ray yang begitu baik dan sabar, berharap mendapatkan kata maaf dari Haura. Namun keangkuhan hati Haura masih bercokol kuat.

Sampai kemudian, ketika Ray berpamitan ke Singapura, Haura berbalik memaafkan Ray. Tanpa menunda lagi, Ray melamar Haura. Umi Rima memberi kesempatan kepada Ray untuk menyiapkan pernikahan mereka dalam waktu dua hari saja. Ray kalang kabut dibuatnya.

“Mas Ray, aku bahagia. Beneran. Tidak perlu mewah, asalkan berkah.” Kali ini kedua tangan Haura memegang pipi Ray dan menatap mata bulat itu.

“Nanti deh, kita buat resepsi pernikahan yang bagus  ya.”

 

“Sst, tidak usah. Uangnya dihemat untuk beli rumah.” “Tapi Ra. You deserved it!”

“Tapi Mas Ray. Aku sudah bahagia. Tidak perlu menghamburkan uang.”

Ini adalah perdebatan pertama mereka sebagai pasangan halal. Tidak ada yang mau kalah. Sampai akhirnya, Ray melunak, “Hm, baiklah. Kangmas Ray manut sama Dinda Haura. Eh, boleh kan aku memanggilmu Dinda?”

“I’d love it.” Mata Haura kembali berbinar mendengar panggilan sayang dari suaminya.

Duduududu…..pengantin baru. Mojok berdua. Romantis.” Deandra, adik Ray, mendekati kedua insan yang sedang kasmaran itu.

“Ganggu aja kau, Deandra,” tukas Ray.

“Kakak sayang dan kakak ipar, ini aku ambilkan makan siang. Kalian tidak lapar kah? Sedari pagi Kak Ray belum makan.”

 

Deandra, yang juga sahabat Haura, menyodorkan sepiring nasi goreng seafood kepada Haura.

“Aku gak laper, Deandra. Makanan jiwaku sudah di depan mata,“ ujar Ray dengan senyum nakalnya.

Cape deh, Kak. Hari pertama menikah, mulai gombal fii sabilillah. Makan tuh cinta,” ledek Deandra lalu ia tertawa. Wajah perempuan setengah bule itu sekarang makin menarik. Pipi gembul itu sekarang sudah mulai tirus. Jerawat yang sering bercokol juga hilang.

“Makasih ya De. Kakakmu ini memang raja gombal,” sahut Haura. Ia menyendok nasi goreng dan menyuapkannya pada Ray. Kemudian ganti Ray yang menyuapi Haura. Deandra geli sekaligus terharu melihat kelakuan dua orang yang dikasihinya itu. Haura, sahabatnya sejak SMA itu, kini menjadi kakak iparnya.

Pukul empat sore, tamu undangan mulai berpamitan pulang. Mereka menghujani banyak doa kepada Haura dan Ray. “Selamat, Ra. Kamu sudah memenangkan banyak

cinta hari ini. Semoga sakinah sampai surga.” Mbak Rossa menitipkan banyak pesan dan doa untuk Haura.

“Aamiin. Aamiin. Terima kasih banyak ya, Mbak. Doa terbaik juga untuk Mbak Rossa dan Mas Rasyid.” Bulir bening terbit di ujung mata kedua perempuan berkerudung itu.

Ray tersenyum melihat pemandangan itu. Rossa dan Rasyid adalah bagian penting dalam perjalanan cinta mereka. Di pernikahan Rossa dan Rasyid, pertama kali Ray menyatakan cinta pada Haura. Keduanya menjadi dekat lalu tragedi almost kissing itu terjadi dan mereka berpisah.

Kemudian beberapa pekan lalu, mereka bertemu kembali saat menengok Rossa melahirkan di rumah sakit. Jalinan cinta yang manis itu kembali terajut walau dalam diam.

 “Ray, mama dan Deandra pamit juga ya.” Mama Sarah, menepuk punggung putra sulungnya itu.

“Kok cepat banget, Ma?” tanya Ray.

“Iya, Mama mau pesan makanan untuk dibagikan ke tetangga. Besok kita harus ater-ater. Kalian bisa bantu?”

“Siap, besok aku dan Haura saja yang membagikan ke tetangga dekat sini. Sekalian kenalan. Mau kan, Dinda?”

Haura mengangguk cepat.

“Oh ya sudah. Tadi kamu lupa gak bawa tas isi bajumu ya?” lanjut Mama Sarah.

“Ah iya benar. Ketinggalan di ruang tamu sepertinya.” “Dasar kamu pelupa! Biar nanti Pak Tony, secepatnya ke sini bawa baju. Ntar kamu pakai baju apa Ray,” ujar Mama Sarah sambil menggelengkan kepala.

“Ya, kan nanti gak usah pakai baju juga gak pa-pa, Ma.” Kontan semua   orang   yang   mendengar,   tergelak menanggapi kelakar Ray. Mama Sarah melotot. Deandra sampai harus menutup mulutnya dengan kedua tangannya, saking kerasnya tertawa. Haura mencubit lengan Ray. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

“Maaf jeng Rima, anak saya becandanya suka ngawur. Gak pa-pa dimarahi aja kalau kumat ngawurnya,” ujar Mama Sarah pada Umi Rima, ibu Haura.

“Tenang, jeng Sarah. Nanti Nak Rayhan saya minta cuci piring kalau lagi kumat,” tukas Umi Rima.

“Ampun Umi…” Ray menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Haura tak henti tertawa melihat kelakuan konyol suaminya itu. Ray Pangestu, laki-laki yang biasa cool dan keras kepala, sekarang tampak gokil.

Matahari berangsur tenggelam di peraduan

Rembulan telah bersiap menggantikan

 Senja pertama yang menenangkan.

Senja pertama, bersama kekasih idaman

 

POV Haura

“Sebenarnya, aku sedih, Papa tidak bisa hadir.” Suara Mas Ray berkejaran dengan deburan ombak yang mencapai bibir pantai. Aku dan Mas Ray duduk berdampingan menghabiskan senja kedua kami sebagai suami istri di Pantai Kenjeran.

“Mungkin beliau ada kendala, Mas. Seperti kata Mama, tidak dapat pesawat pulang ke Indonesia.”

“Aku tidak percaya, sekelas Papa Sonny Pangestu tidak dapat pesawat. Itu hanya alasan saja.”

“Mungkin Papa memang benar-benar sibuk, Mas.” “Sampai tidak bisa hadir di pernikahan putra

pertamanya?” dengus Mas Ray kesal,”Yang kupikirkan malah Papa tidak mau terlihat kalah dari putranya. Dari dulu Papa benci kekalahan. Makanya tidak mau pulang.”

Wajah Mas Ray berlipat. Binar matanya meredup.

Pandangannya kusut beralih padaku.

“Maafkan aku. Baru menikah sudah membawa masalah buatmu.”

“Ah sudah biasa. Memang dari dulu hobi Mas Ray membuat masalah denganku,” jawabku sekenanya. Usil.

“Dasar kau, Bu Nyai!” Sahut Mas Ray terkekeh. Dia mencubit halus cuping hidungku. Wajah terlipat itu sudah kembali normal.

“Begini saja. Kata orang Jawa, sing enom marani sing tuwo. Kita yang lebih muda, mendatangi yang lebih tua.”

“Maksudnya?”

“Ya kalau Papa tidak bisa hadir, kita aja yang ke sana minta restu Papa. Gimana?”

“Ke Turki?” “He eh.”

“Kamu gak takut bertemu Papa Sonny?” Aku menggeleng dan berkata, “Kan ada Mas Ray.”

Mas Ray tertawa lagi. Kali ini dia duduk di depanku. Tangannya menggenggam tanganku. Menatap lekat mataku. Duh, Mas! Aku bisa mati bahagia di sini.

Are you sure, Dinda Haura?”

Absolutely!” sahutku, “Kita pasti akan mendapatkan cinta dan restu Papa Sonny. Mas Ray atur saja waktunya. Aku siap kapan saja.”

“Haura! That’s why I love you. You’re kind hearted.” Tangannya masih menggengam tanganku. Erat. Lalu Mas Ray membenamkan kepalanya di pangkuanku.

“Your love is all i need to feel complete,” bisikku halus sambil membelai lembut rambut kecoklatan Mas Ray.

“Tumben nggak bilang nggombal?” wajahnya terangkat, mata indah itu menggodaku.

Aku tertawa lalu aku menatap lekat wajah jenaka suamiku sepuasnya. Senyum dan sorot matanya kembali membuatku mabuk. Aku suka.

“Pekan depan gimana?”

“Iya boleh. Pekan depan jadwal fisioterapi, belajar jalan. Sekalian nunggu kamu siap segalanya ya.”

“Maksudnya?”

“Ya Dinda masih amat malu. Mau ganti baju aja pintu kamar dikunci. Aku merana di luar kamar.”

Duh! Aku salah ya?

“Maaf Mas. Aku butuh waktu. Aku malu.” Aku menunduk. Di malam aku menjadi istri Mas Ray, aku tidak berani menampakkan aurat. Tubuhku masih terbungkus baju tidur dan kerudung.

It’s ok Dinda. Kita punya banyak waktu bersama. Aku akan menunggumu sampai siap.” Mata jenakanya mulai menggodaku.

“Mas tidak sedih?”

“Ya sedih. Tapi juga senang.”

“Kok?” Alisku tertaut mendengar jawabannya. “Tandanya, istriku ini berharga sekali. Pandai menjaga

diri dan kehormatan dari laki-laki. Wanita shaliha, perhiasan dunia yang teramat mulia,” urai Mas Ray panjang lebar.

Aku mengangguk. Mas Ray mendekatkan wajahnya. Hidung kami bertemu. Nafasnya terhirup indra penciumanku. Lalu dia mengecup lembut pipiku. Hangat.

I love you and everything about you,” bisik Mas Ray di telingaku. Hatiku makin berdesir. Merinding seluruh badan ini. Momen paling romantis. Setidaknya untuk perempuan cupu sepertiku. Tapi, aku tak lagi berteriak marah  seperti kejadian empat tahun lalu. Kali ini aku menikmatinya. Dan aku sangat suka. Bersama Mas Ray, semua terasa indah.

Semilir angin berhembus.

Menyapa kami lembut.

 Hangat dan teduh.

Senja ini paripurna nan syahdu.

Jika bersamamu

Duhai kekasihku.

****

Sementara itu …

Seorang laki-laki setengah baya duduk menyilangkan kakinya. Wajahnya kusut. Dahinya berkerut membaca sebuah pesan di ponselnya. Sesekali kacamatanya diturunkan, lalu dipasang kembali. Mengulang setiap pesan yang dibacanya.

“Bagaimana mungkin Ray bisa menikah dengan gadis biasa itu? Apakah tidak ada gadis lain yang lebih setara? Bukankah circle pertemanannya banyak dari kalangan artis dan pengusaha? Mengapa masih saja memilih si Haura itu?” gumam lelaki bernama Sonny Pangestu itu. Dua asisten yang duduk bersamanya hanya mampu mendengarkan. Tak berani berpendapat.

Laki-laku itu mengambil cangkir porselen berisi sahlep, minuman khas Turki yang terbuat dari susu, akar anggrek, kayu manis dan gula. Ia menghirup dalam-dalam uap yang mengepul lalu menyeruput beberapa teguk. Kemudian ia meletakkan kembali cangkir itu.

Pandangan matanya tak fokus. Pikirannya melayang. Potongan-potongan video masa lalunya berkelebat di kepalanya.

Saat itu, Sonny muda sedang bertemu dengan Sampurno Wibowo, laki-laki yang menjadi ayah dari gadis yang dicintainya.

“Saya mencintai… anak Bapak,” ujar Sonny dengan suara terbata,” Dan mohon izin akan menikahinya.”

“Kamu mimpi anak muda! Kamu siapa? Berani benar mau menikahi anakku.” Mata lelaki bernama Sampurno itu melotot pada Sonny muda. Kakinya disilangkan dan tangan bersedekap.

“Saya Sonny Pangestu. Saya sudah berpenghasilan. Kami juga saling mencintai. Saya memohon restu dan doa dari Bapak.” Dengan dada berdegup kencang, Sonny muda memberanikan diri berbicara.

“Berapa penghasilan kamu? Bisa kamu memenuhi kebutuhan Gladys setiap hari?” Kali ini Sampurno berdiri dan menunjukkan jari ke arah Sonny muda.

Sonny muda menunduk. Keringat dingin mengalir deras. Jemari tangannya bertautan.

“Kamu pikir, kamu bisa memberi makan anak saya dengan cinta?” lanjut Sampurno.

“Tapi saya janji saya akan berusaha.” Nada suara Sonny muda mulai naik, mempertahankan harga dirinya. Matanya mulai berani memandang laki-laki berperawakan tinggi dan besar di depannya.

“Mau sampai kapan kamu berusaha?”

“Sampai saya punya uang banyak,” jawab Sonny meyakinkan.

“Ah sudahlah. Keluargamu sudah bangkrut. Aset ayahmu sudah disita bank. Sedangkan kamu cuma jualan komputer. Sadari nasibmu! Jangan berharap mendapatkan istri di luar kastamu.”

“Tapi..”

“Saya sibuk. Silakan pulang,” usir Sampurno.

“Saya akan kembali lagi melamar Gladys membawa uang banyak.” Sonny berusaha mempertahankan harga dirinya.

Sampurno tersenyum melihat gelagat pemuda kerempeng di depannya. Nyalinya tinggi juga.

“Aku tidak mau Gladys menua menunggumu. Sudah! Kubur saja mimpimu!“ tandas Sampurno kemudian ia melangkahkan kaki naik ke mobilnya.

Sonny muda tertunduk. Harga dirinya hancur. Begitu pula cintanya.

Ini semua karena Papa bangkrut. Papa menikah lagi dengan perempuan desa bernama Kartini. Dia yang menjadi penyebab bangkrutnya Papa, dan penyebab utama masalahku. “Pak Sonny, saya berhasil membeli tiket pesawat ke

Jakarta. Dua jam lagi take off. Kita berangkat sekarang, Pak?”

Lamunan Sonny Pangestu buyar oleh berita asistennya.

Lama Sonny berpikir. Tak menjawab. Pulang sekarang atau tidak. Pulang sekarang berarti kalah. Kalah karena tak bisa membuat Ray menikah dengan calon pilihannya. Kembali ia meneguk sahlep yang mulai dingin di depannya. Menghabiskan tanpa ada sisa. Lalu tangannya mengambil ponsel dan mengetik  sesuatu.

Maaf Sarah. Aku tidak bisa pulang. Tidak ada tiket.

POV Ray

“Istri itu baik buruknya tergantung suami. Cantik, apabila suami memberikan hak berhias. Akhlak baik, bila suami mengajarkan budi pekerti. Pintar, bila suami mengajarkan ilmu yang baik. Sholeha bila suami membimbingnya kepada agama yang benar.”

Panjang lebar Ustadz Abdul Azhim memberikan tausiyah kepada kami. Beliau adalah guru mengajiku. Umi Rima yang mengenalkan kepadaku. Saat itu aku sedang terpuruk. Alhamdulillah, Ustadz Abdul Azhim membantuku untuk hijrah.

“Haura..” “Ya Ustadz.”

“Kamu sudah menikah sekarang. Suamimu memang imam-mu sekarang tapi ia bukan milikmu seutuhnya. Suamimu memiliki ibu yang tetap menjadi prioritasnya. Kamu, pandai- pandai membawa diri, jangan sampai membuat suamimu durhaka.”

Haura mengangguk. Takzim.

“Mohon doanya Ustadz untuk kami. Kami yang masih muda seringkali gegabah dan tidak sabaran.”

“Namanya juga anak muda. Bergairah, bersemangat dan  menyala.”

Mataku memandang Haura yang sedang merekah senyumnya. Senyum pengantin baru.

“Satu lagi, Haura masih hafal Surat Al Munafiqun?”

Haura mengangguk. Hafalan istriku amazing. Lima juz lagi dia bergelar hafizah.

“Coba ayat sembilan.”

 

Haura menyuarakan ayat ke sembilan surat Al Munafiqun itu.

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” Aku membacakan arti ayat yang dibaca Haura.

“Sudah jelas ya, jangan sampai kita lalai mengingat Allah karena harta dan keluarga kita. Kewajiban berdakwah juga tetap berlaku walaupun sudah berumah tangga. Malah harusnya semakin mendukung. Itulah namanya pernikahan da’awiy. Tidak sekadar cinta picisan yang mudah hilang.”

Duh! Terasa sekali menusuk sekali nasihat Ustadz. Aku jadi teringat bab visi misi rumah tangga saat mengikuti kajian pra nikah beberapa bulan lalu. Sepekan aku menjadi suami, belum membahas sama sekali visi misi keluarga baruku. Payah kamu Ray!

“Ustadz tidak bisa memberi kalian hadiah mahal. Tapi Ustadz punya sesuatu yang bagus buat kalian.” Ustadz Abdul Azhim bangun dari tempat duduknya dan mengambil sebuah buku dari lemari buku yang berada di samping kursinya. Beliau menyodorkan bukunya padaku.

“Raudhatul Muhibbin.” Bacaku.

“Ya. Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu. Ibnul Qayyim Al Jauziyah. Cocok untuk kalian yang sedang mereguk manisnya cinta.”

“Oh ya. Kalau Sutra Ungu, kalian sudah pernah baca?

Ustadz ada tapi bukan buku baru. Kalian mau?”

Tak satupun kami menjawab. Haura menunduk malu. “Sepertinya kalian perlu ya. Ini buku bagus dan santun untuk membahas segala hal keintiman suami istri. Hal yang penting namun seringkali dinomorduakan karena dianggap tabu.”

“Banyak aktivis dakwah yang bercerai karena belum memahami adab dan fiqih jima’. Mereka terlalu asyik dengan dunia dakwah sampai lupa dengan kebutuhan dasar sebagai manusia. Adab dan upaya meng-optimalkan. Masih ingat kan materi kajian gharizatunnas?”

Aku mengangguk pelan. Dengan gemetar, aku menerima buku bersampul warna ungu itu dari tangan Ustadz Abdul Azhim. Haura tak menunduk lagi. Ia balas memandangku. Senyum nakalnya diarahkan padaku. Wajahku ganti memerah. Skak Mat!

Kami pulang dengan membawa banyak oleh-oleh. Dua buku, satu AlQuran serta nasehat menyejukkan. Tak sabar aku ingin membaca Sutra Ungu bersama istriku Haura. Tak sabar juga melihat bagaimana reaksinya.

Ah, tapi kami masih harus menuju ke tempat praktik dokter Nabigh. Kontrol rutin kaki Haura. Sabar, Ray!

Rintik hujan mewarnai perjalanan kami. Rintiknya menambah hangat obrolan dan candaan kami.

Gerimis selalu indah

Gerimis tak lagi basah

Gerimisku gerimismu

Kita menari dalam rintiknya

Kita tertawa

Kitalah sang pencinta

POV Ray

Perempuan memang istimewa. Dimuliakan Allah dalam banyak ayat-ayat cintaNya. Perempuan sebagai anak, maka ia membukakan pintu surga bagi ayahnya. Perempuan sebagai istri, ia menyempurnakan agama suaminya. Perempuan sebagai ibu, kedudukannya lebih utama daripada ayah. Bahkan surga berada di telapak kakinya.

Kata orang, menghadapi perempuan itu harus ekstra sabar. Harus bisa membaca kode juga. Ketika perempuan memberikan jawaban terserah, pasti bukan artinya terserah, tapi ingin sesuatu. Bilangnya gak pa-pa, tapi artinya ada sesuatu yang tidak nyaman. Kita sebagai laki-laki, kadang suka pusing mengartikan bahasa perempuan.

Aku selama ini terlatih berinteraksi dengan Deandra dan Mama. Kedua perempuan istimewa itu sering membuatku mati gaya. Aku pernah bertanya kepada Deandra, mau oleh-oleh apa. Jawabnya terserah. Lalu aku membelikannya sepasang sneaker, eh ternyata dia maunya dibelikan jaket. Begitu pula dengan Mama Sarah. Pernah aku jumpai mata Mama sembab di pagi hari. Aku tanya ada apa, jawabnya gak pa-pa. Tak lama kemudian, Mama Sarah menangis lagi. Ternyata Mama sedang bertengkar dengan Papa Sonny.

Sekarang, bertambah satu lagi perempuan yang harus aku pahami kodenya. Perempuan yang baru satu pekan menyandang status baru sebagai Nyonya Rayhan, Haura Nusaibah.

Aku pernah bertanya padanya, mau honeymoon di hotel mana, jawabannya adalah terserah karena semua hotel serasa surga asal denganku. Tentu saja jawabannya sangat membuaiku. Namun ketika aku reservasi hotel di daerah Gayungan, Haura menolak. Maunya hotel yang dekat dengan kawasan religi Ampel. Haura ingin mengajakku jalan-jalan di situ. Duh, Gusti! Ampuni hambaMu yang tak bisa membaca kode.

“Mas, aku sudah siap.” Dengan maxy dress kuning bermotif bunga dan kerudung warna krem, Haura tampak cantik. Istriku itu, tak pernah berlebihan dalam hal berpakaian dan berhias. Namun selalu membuatku mabuk kepayang.

Kami berangkat ke sebuah hotel bintang lima di daerah Pabean Cantikan. Hotelnya bagus, review pengunjung juga positif, lokasi dekat dengan Ampel. Kami berrencana bermalam tiga hari dua malam, lalu kembali ke pondok mertua indah, alias rumah Umi Rima di Kejawan Putih Tambak.

Petualangan pun kami mulai. Aku memesan kamar tipe deluxe double dengan luas kurang lebih 29 meter persegi. Satu ranjang ukuran double dengan view menghadap pemandangan kota Surabaya. Fasilitas yang bisa kami dapatkan adalah kolam renang, sarapan, spa, restoran dan akses internet. Worth it untuk sebuah hotel bintang lima di daerah urban Surabaya.

Kami menghabiskan waktu malam kami dengan menonton tayangan film di TV kabel yang disediakan di kamar. Leap Year, film komedi romantis yang dibintangi oleh Amy Adams dan Matthew Goode, berhasil membuat kami duduk bersandar bersisian, menyimak sambil cekikian. Sesimpel itu bahagia.

“Mengapa laki-laki susah sekali diajak berkomitmen?” Haura membuka obrolan.

“Kata siapa?”

“Tuh model cowok kayak Jeremy.”

Jeremy adalah salah satu tokoh pria yang menjadi pasangan Ana. Dikisahkan, Ana berharap Jeremy melamarnya, tapi Jeremy tidak segera melakukannya. Sampai akhirnya, Ana merencanakan untuk melamar Jeremy di tanggal 29 Februari ketika Jeremy berada di Irlandia. Konon menurut kepercayaan orang Irlandia, perempuan yang melamar laki-laki di tanggal itu, maka laki-laki tersebut tidak boleh menolak. Namun dalam perjalanan menuju Dublin, Ana bertemu dengan Declan, pria tulus yang dikecewakan pasangannya.

“Silvi, salah satu karyawatiku, pacarnya masih belum siap menikah. Padahal mereka sudah pacaran 3 tahun. Bayangkan tiga tahun,” ujar Haura dengan mata melotot,”keluarga mereka juga sudah saling kenal. Mau tahu alasan cowoknya?”

Aku mengangkat bahu.

“Belum yakin saja. Aku ikutan kesel mendengar curhatan Silvi. Sudah dipacari 3 tahun, masih belum yakin akan menikahinya.” Kali ini bibir Haura terlipat.

“Lalu gimana sekarang?”

“Ya Silvi masih bertahan. Terjebak toxic relationship. Gak jelas mau dibawa kemana.”

“Kenapa masih bertahan?”

“Entahlah. Cinta ya cinta, tapi ya gak bisa tanpa kepastian begitu. Cowok model apa itu. Maunya enak-enak doang.”

“Gak semua cowok kayak gitu. Contohnya aku.” Kali ini aku sok-sokan mengibaskan rambut.

“Hah?!”

“Aku kan cowok istimewa. Aku masih mencintaimu walaupun sudah empat tahun berlalu tanpa ada kabar.”

“Ye, tapi kan aku tidak menjanjikan apapun

“Iya sih. Tapi aku juga tidak bisa mencari pengganti dirimu.”

“Ah, masak selama empat tahun itu Mas Ray tak pernah tergoda?” Mata nakalnya menggodaku. Gemas.

“Pernah. Sering. Tapi selalu saja aku masih berharap bisa bertemu denganmu kembali.”

“Begitu ya. Kalau aku beda lagi. Aku pada kondisi tak mau mencintai laki-laki manapun. Kondisi zero. Bebas dari baper. Sampai akhirnya kita bertemu di rumah sakit. Semuanya berubah.”

“Jonas?”

“Cemburu?” Haura kembali menggodaku. Matanya makin liar memandangku.

Just friend. Tak lebih.” Lanjutnya.

“Aku gak percaya. Coba cium aku dulu,” kataku pura-pura ngambek, lalu menunjuk pipi kananku.

Haura menoleh untuk mencium pipiku. Namun dalam waktu bersamaan, aku juga menoleh ke arahnya. Bibir kami bertemu. Lima detik. Aku memandangnya. Wajahnya memerah menunduk. Dadaku berdesir kencang. Gelora syahwatku sudah tak bisa ditahan lagi. Namun aku tetap menghargai kesediaan Haura.

“Apa kamu sudah siap?”

Haura mengangguk pelan. Perlahan mata bulatnya menatapku lembut. Aku tenggelam dalam tatapannya.

“Kita berdoa dulu.”

Aku mematikan televisi dan memasang lampu tidur. Temaram. Lalu aku membunyikan musik instrumental lembut dari ponselku. Suasana menjadi amat romantis.

Allahumma janibnasy syaithon, wa jannibis syaithon, ma rozaqtana.”

Aku mencium bibirnya yang ranum. Manis. Lama kami menikmatinya. Lalu kami tenggelam dalam romansa permainan cinta yang tak berujung. Permainan cinta yang memabukkan, namun diberkahi karena dalam bingkai ikatan yang halal. Kami menaklukan malam pertama kami dengan indah.

Saat ini, aku benar-benar menjadi seorang suami.

*****

POV Haura

“Mas Ray pasti belum pernah makan di pinggir jalan begini.”

Ia mengangguk. Aku mengajak Mas Ray mencari sarapan pagi berupa gulai Maryam di salah satu warung favorit kami. Letaknya di salah satu ujung jalan KH. Mas Mansyur, depan Quds Royal Hotel. Gulai maryamnya paling enak. Setiap pagi, warung ini ramai dikerumuni pembeli.

“Sesekali lah, Mas Ray makan seperti ini. Down to earth, ngobrol dan mendengar curahan hati rakyat jelata akan membuat kita semakin bersyukur. Semakin peka.”

Tak lama kemudian, sepiring gulai dengan potongan daging kambing dan suwiran roti maryam terhidang di meja mereka. Sebetulnya bukan meja, tapi bangku panjang yang beralih fungsi menjadi meja. Lalu, kursi plastik merek Lion Star dijadikan tempat duduk. Beberapa orang nampak makan di atas motor mereka. Sesederhana itu warung gulai Maryam paling ramai itu menyajikan tempat makan.

“Enak banget ya. Skala 9 per 10.” “Alhamdulillah kalau Mas Ray suka.”

Kami menikmati setiap suapan dari makanan berkuah dan ber-aroma kuat.

“Hari ini Dinda mau jalan-jalan kemana?”

“Mas pernah ke monumen Jalesveva Jayamahe?” Aku balik bertanya.

Mas Ray menggeleng. “Apa istimewanya?”

“Ih, ini arek Suroboyo apa bukan sih?” Mas Ray tertawa, hampir tersedak.

“Kalau di Amerika, ada Patung Liberty, maka Surabaya punya monumen Jalesveva Jayamahe. Di laut kita berjaya. Kurang lebih itu artinya. Nenek moyang kita pelaut ulung.” Jelasku panjang lebar pada suamiku yang semalam membuatku seperti melayang ke angkasa itu.

“Aku juga pelaut.” “Maksudnya?”

“Ya aku berhasil menyeberangi samudera hatimu.” Sekuat tenaga aku menahan tawa mendengar rayuan

Mas Ray. Tiba-tiba Mas Ray mendekatkan bibirnya ke telingaku, “Terima kasih ya semalam luar biasa.”

Pias. Wajahku memerah. Tapi aku tak mau kalah begitu saja. Aku membalas dengan berbisik padanya.

“Aku tidak mau jika hanya semalam saja.” Gantian wajahnya memerah.

Yes aku menang! Skak Mat!

Hari-hari bulan madu telah usai. Ray dan Haura puas berkeliling kota Surabaya, mulai dari kawasan Ampel, Kenjeran, Monumen Jalesveva Jayamahe, sampai Surabaya Carnival. Sengaja Haura memilih lokasi bulan madu di dalam kota Surabaya. Selain karena kondisi kakinya yang masih harus memakai kruk, Haura ingin Ray tahu kota tempat tinggalnya. Selama ini Ray tinggal di Surabaya, tetapi tak banyak tahu destinasi wisata kota Surabaya.

Pagi itu, setelah zikir Al Matsurat bersama, Ray dan Haura berjalan menikmati pagi keliling kompleks. Sesekali mereka menyapa tetangga yang berpapasan. Mereka mampir ke sebuah warung yang menjual makanan dan minuman ringan. Tak banyak yang duduk di warung itu. Selain Haura dan Ray, hanya ada dua laki-laki setengah baya sedang menikmati kopi hitam.

Ditemani secangkir wedang jahe panas dan ketan kedelai, mata Ray memandang jauh tak fokus. Pikirannya melayang.

“Mas, mikir apa?” tanya Haura menyadari suaminya tengah melamun.

“Cuma bertanya pada diri sendiri, bisa gak ya aku membawa keluarga kecil kita ke arah yang benar?” Ray menyeruput wedang jahe itu.

“Tidak ada orang yang benar-benar siap menikah. Tidak ada yang pasti. Namun setidaknya kita sudah belajar untuk bersiap. Ya, dengan membaca atau ikut sekolah pra nikah misalnya.”

“Ya kamu benar. Aku ikut sekolah pra nikah dua tahun lalu. Tapi rasanya masih kurang. Kamu bagaimana?” Ray menoleh ke arah istrinya yang sedang menjumput ketan dengan tiga jarinya, lalu memasukkan ke dalam mulut. Lama Haura mengunyah makanan itu dan menelannya.

“Aku lebih banyak membaca buku-buku pernikahan Ustadz Salim A Fillah dan Ustadz Fauzil Azhim. Oh ya, buku dari Ustadz Cahyadi Takariawan. Beberapa novel dari Kang Abik dan Helvy Tiana Rosa juga.”

“Memang kau kutu buku, Ra. Hahaha,” goda Ray.

Bibir Haura mengerucut. Ray menjadi gemas. Ia mencubit bibir merekah itu dengan perasaan cinta. Buk Nah, penjual di warung ketan, melirik mereka sambil tersenyum.

“Rencana terdekatmu apa, Din?”

“Aku mau melanjutkan hafalan Al Quran-ku, Mas. Tinggal lima juz. Sambil murojaah juz sebelumnya.” “Keren, aku baru tiga juz.”

It’s ok, Mas. Yang penting istiqomah.” “Lalu apa lagi rencanamu?”

“Mengurus kembali Haura’s Bakery. Sudah mau pembukaan outlet ketiga. Ditunda terus sejak aku kecelakaan sampai sekarang. Aku juga akan melanjutkan pembinaan mentoring adik-adik SMA.”

“Apa yang bisa Mas bantu?”

“Cukup Mas mengizinkan saja. Hehehe…” Haura  tertawa nyengir.

“Tentu saja mengizinkan. Mas, mungkin akan banyak berbisnis daripada karir keartisan. Café Ra and Ray butuh banyak inovasi. Setelah Mas selektif memilih peran yang tidak bersentuhan dengan perempuan, tidak banyak job yang masuk.

Sekarang, Mas lebih banyak bernyanyi,.” Panjang lebar Ray menjelaskan kondisi terkininya.

“Iya Mas. Sabar ya. Memang tak mudah dalam kondisi Mas. Yakin saja, rizki Allah seluas bumi dan langit. Gak kan ketukar.”

Ray mengangguk, lalu menyeruput habis wedang jahenya.

“Tiga hari lagi kita berangkat ke Turki. Kamu sudah siapkan semua?”

“Sudah dong! Semua keperluan Mas Ray sudah aku siapkan di koper hijau besar. Nanti Mas Ray cek ya.” Senyum Haura merekah.

Tak lama lagi, mereka akan bertemu dan minta restu Papa Sonny. Hati Ray berubah tak menentu dibuatnya. Akankah Papa Sonny menerima keputusan Ray menikahi Haura? Apakah Haura bisa menjadi menantu yang diidamkan Papa Sonny? Apakah dirinya bisa mengatasi konflik dengan Papa Sonny?

Hati Ray yang kusut membuyar sampai terdengar bunyi panggilan di ponsel Haura.

“Eh Mama nelfon. Video call.” Haura terkejut dengan panggilan video itu lalu meng-klik tombol hijau di layar ponselnya.

“Assalamualaikum, Mama.” Nampak wajah Mama Sarah di seberang sana. Rambut sebahu merah kecoklatan dengan riasan sederhana.

“Wa alaikum salam, Haura cantik. Sedang apa?” “Oh, sedang menikmati pagi dengan Mas Ray.” “Wah, romantis sekali. Ada Ray ya?”

“Iya Ma. Ini disamping Haura.” Haura memberikan ponselnya pada Ray.

“Halo Ma,” sapa Ray dengan tersenyum lebar dan mata berbinar.

“Halo Ray. Cerah sekali wajahmu. Sudah menemukan kebahagiaan ya dengan Haura cantik?”

“Ah Mama. Mau tahu aja,” ujar Ray dengan wajah bersemu merah.

“Oh ya Ray. Papa sudah kembali ke Indonesia. Tidak lagi di Turki.”

“Wow! Padahal kami mau berangkat tiga hari lagi. Batal dong?” Ray terkejut mendengar berita dari Mama Sarah.

“Ya begitulah. Papa-mu memang antik. Kapan hari gak bisa pulang di pernikahanmu. Ini mau dikunjungi, malah pulang.”

“Hehehe … ” Senyum Ray dipaksakan merespon berita dari Mama.

“Kamu dan istrimu yang sabar ya Ray.” “Ya, Ma. InsyaAllah”

“Oh ya. Sekalian Mama kabarin. Sabtu besok, kamu ke Semarang ya, sama Haura.”

“Kenapa Ma?” tanya Ray penasaran.

“Ada pertemuan rutin keluarga Pangestu. Sekalian aja mengenalkan Haura ke keluarga besar Papa. Ada Opa dan Oma serta Pakde Paklik yang di sana. Papa juga Mama minta hadir.”

“Wuih.”

“Gimana? Bisa?”

“Din? Bisa?” Ray menoleh ke arah Haura. Meminta pendapatnya.

Haura mengangguk. “InsyaAllah bisa, Ma.”

“Baik. Mama pamit dulu ya. Mau ada meeting ini. Lanjut nanti siang ke Semarang bertemu Papamu. Assalamualaikum.”

“Wa alaikum salam, Ma.” Klik! Telepon ditutup.

Haura dan Ray berpandangan. Tanpa bicara. Mereka seakan bisa memahami apa yang dipikirkan pasangannya tanpa harus berbicara. Haura menghela nafas panjang. Bola matanya sibuk bergerak-gerak. Dahinya sedikit berkerut. Ray memegang tangan istrinya lalu meletakkan tangan halus itu di pipinya.

“Kita pasti bisa melewati pertemuan itu dengan baik.

Bismillah ya.”

Haura mengangguk. Senyum kecil Haura terselip di tengah gundah di hatinya.

POV Mama Sarah

Aku sibuk. Setiap hari. Lebih-lebih sekarang. Mempersiapkan pesta penyambutan pernikahan Ray dan Haura. Aku lakukan semuanya sendiri, eh tentunya bersama Yuri asistenku. Mulai dari membuat undangan, mengkonsep acara, sampai reservasi tempat. Mas Sonny mana mau mengurusi hal begini. Dia saja enggan menghadiri akad nikah anak pertamanya, apalagi membuat pesta seperti ini.

Pernikahan Ray yang teramat mendadak dengan Haura, membuatku kena getahnya. Keluarga besar Suryojoyo Pangestu mendampratku habis-habisan karena sudah mendukung pernikahan mendadak itu. Terutama Bapak mertua, Suryo Lesmana Pangestu, beliau berang karena tidak diundang di pernikahan mereka.

Bagaimana bisa mengundang, lha mendadak. Hanya diberi waktu dua hari mempersiapkan akad nikah. Itupun kupikir akan ada prosesi tambahan seperti resepsi pernikahan, ternyata tidak. Ray dan Haura tidak berkenan jika harus mengadakan resepsi pernikahan karena kondisi kaki Haura saat itu masih harus ditopang dengan kursi roda.

Baiklah, sebagai win-win solution, aku mengadakan pesta untuk memperkenalkan Haura pada keluarga besar Suryojoyo Pangestu. Aku maunya yang sederhana dan alami. Seperti kepribadian menantuku itu. Sederhana dan cantik natural.

Honey, let’s breakfast,” ajakku pada suamiku, Sonny Pangestu. Kami menyewa satu kamar di The Kenanga Resort and Convention sembari mempersiapkan segalanya. Besok acaranya juga di sini. Di salah satu taman berkonsep barbeque party. Kami berjalan beriringan menuju restoran. Sesekali aku membalas pesan chat melalui ponselku.

“Sibuk banget ya,” ujar Mas Sonny.

“Iya ini lho, Mas Tamim masih bingung bisa hadir atau tidak.”

“Udah. Biarin aja lah.

“Lha kalau Mas Tamim gak bisa hadir, lalu bagaimana Papa Suryo bisa hadir. Siapa yang menemani beliau, honey?”

“Ya gak usah datang aja sekalian.”

“Ih, honey, kamu… Ah, sudahlah,” mood-ku buyar mendengar respons suamiku ini. Ampun-ampun hatinya masih kaku dalam menerima kenyataan bahwa Ray sudah menikah dengan Haura.

Kami sudah sampai di restoran yang dikemas secara prasmanan. Aku mengambil semangkuk nasi dan semangkuk soto khas Semarang. Lauk yang cocok untuk menu ini adalah perkedel kentang dan sate usus. Mas Sonny mengambil sepiring nasi dan babat gongso.

Kami menghabiskan makanan dengan sesekali bercanda mengingat masa-masa ketika Ray dan Deandra masih kecil. Sudah lama sekali aku dan Mas Sonny tidak bercanda seperti ini. Kesibukan kami yang padat, membuat kami hanya bisa bertemu sepekan sekali. Bahkan pernah dua pekan sekali.

Pernikahan kami tidak semulus dugaan orang. Beberapa kali Mas Sonny tergoda perempuan. Namun akhirnya dia berhasil kembali kepada keluarganya. Tentu saja, jika tidak ingin kehilangan warisan dari keluarga Suryojoyo Pangestu. Keluarga aristokrat keturunan kraton.

Soto berkuah bening dari ayam kampung di depanku sudah habis tak bersisa. Aku mengambil makanan penutup berupa buah potong.

Tililit….tililit….

Nada panggil ponselku berbunyi. Video call dari Ray.

“Assalamualaikum, Ma.” Nampak wajah ganteng putraku di balik layar.

“Wa alaikum salam. Halo Ray. Kamu dimana?” “Kereta api Ma.”

“Lho kamu jadi naik kereta? Bukankah kamu sering pusing kalau naik kereta?”

“Iya. Tapi Haura minta naik kereta.” “Oh begitu. Tapi kamu gak pusing?”

“Nggak. Karena ada Haura hehehe… Mama dimana?’ “Lagi sarapan sama Papamu. Tuh orangnya”

“Btw Ray, kamu nginep sini kan?”

“Nah itu maaf ya Ma. Aku sudah terlanjur booking hotel di tempat lain. Aku baru tahu kalau Mama sudah booking buat aku disitu.”

“Oh ya sudah. Hotel bintang lima kan?”

“Bintang tiga saja. Haura maunya yang lebih hemat.” “Hm, baiklah.”

“Mana Haura?”

“Ini lagi tidur.” Ray mengarahkan kamera ponselnya ke wajah Haura yang tertidur.

“Hm, nyenyak sekali dia tidur di bahumu Ray.” Ray tertawa mendengarnya.

“Iya semalam dia tidak tidur. Mikirin acara hari ini.”

“Waah. Pasti dia gelisah akan bertemu papa mertuanya.” Lagi, Ray tertawa.

“Tuh Pa, lihat anak mantumu lagi tidur. Cantik ‘kan?” “Salam buat Haura ya. Kamu nanti ke sini jam 4.”

“Iya, Ma. Assalamualaikum.” Klik! Telepon ditutup.

“Ternyata Ray tidak menginap di sini, Pa. Baiklah. Aku sampaikan ke Yuri dulu.” Aku berlanjut mengetik pesan ke Yuri, asistenku.

“Mantu kesayanganmu itu … sudah banyak memberikan pengaruh pada Ray. Bahkan sampai pilihan kendaraan.” Mas Sonny membuka percakapan baru. Aku terkejut mendengarnya. “Dia sudah membuat Ray bertekuk lutut tanpa ampun,”

lanjutnya.

Honey, bukankah memberikan pengaruh yang baik itu baik? Lihatlah, setidaknya Ray jadi tidak mabuk naik kereta api?” Akhirnya aku membuka suara juga.

“Ya kan awalnya saja baik. Nanti ke depan, coba lihat

saja.”

Honey,doakan yang baik-baik ya untuk mereka. By the

way, kalau Mas Sonny tahu bagaimana Haura, Mas akan menarik semua perkataan buruk itu.”

Aku bergegas meninggalkan Mas Sonny yang terkejut mendengarkan pernyataanku.

****

Tepat pukul Kereta api Argo Bromo Anggrek melaju semakin pelan bahkan akhirnya berhenti di stasiun Tawang Kota Semarang. Ray dan Haura bersiap turun dari kereta dengan satu tas koper dan dua ransel di tangan mereka.

Nuansa klasik sangat terasa ketika berada di Stasiun Tawang. Didirikan tahun 1868 stasiun ini merupakan stasiun kelas besar tipe A yang terletak di Jalan Taman Tawang No. 1, Kota Semarang, Jawa Tengah 50211. Lokasi Stasiun Tawang bisa dikatakan strategis, karena letaknya sangat berdekatan dengan Kawasan Wisata Kota Lama.

Selain nuansa klasik, stasiun Tawang juga memiliki keunikan lain. Jika di stasiun pada umumnya Anda dapat

mengetahui kedatangan kereta dari bunyi bel “Westminster Chime”, maka di Stasiun Tawang, bel tersebut malah mengalunkan nada lagu “Gambang Semarang”.

Puluhan penumpang turun di stasiun Tawang dan bergegas berjalan menuju pintu keluar. Dengan bantuan tongkat elbow penahan siku, Haura berjalan perlahan. Ray, suaminya, dengan sabar menyamakan langkah Haura supaya tidak tertinggal.

“Kita nanti dijemput driver bernama Pak Mardi. Kita duduk dulu ya. Aku mau menghubungi Pak Mardi.”

Haura pun merebahkan badannya yang lelah di salah satu kursi yang disediakan pihak stasiun. Ia membuka botol air minum reusable yang dibawanya dan menenggak isinya sampai habis.

Tak lama kemudian, mereka berhasil bertemu dengan

driver bernama Pak Mardi.

Kulo Mardi, Pak Rayhan,” kata Pak Mardi memperkenalkan dirinya.

“Iya Pak. Minta bantuannya untuk mengantar kami selama tiga hari di Semarang ya Pak.”

Inggih, siap. Meniko barang-barang, saya bawakan mawon. Mesakke kakinya Ibu.” Pak Mardi menawarkan diri membawa barang bawaan Haura karena kasihan dengan kaki Haura. Haura tak menolaknya.

Maturnuwun Pak Mardi,” ujar Haura berterima kasih. Haura   berjalan   santai   menikmati   keunikan   stasiun

Tawang. Di mobil pun, Haura menikmati pemandangan kota yang banyak sekali bangunan bersejarah. Ia berada di kota tempat keluarga besar suaminya tinggal. Sebongkah rasa penasaran dan ribuan pertanyaan menggelantung di hatinya. Membuatnya tak tenang selama beberapa hari ini. Seperti apa

dan bagaimana keluarga besar Pangestu. Bagaimana sikap Papa Sonny nanti kepadanya? Baiklah, Semarang. Aku datang dengan cinta.

BACA BUKU 3 DIMENSINYA

Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno

Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini

Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini

Pemesanan buku cetak

Penulis : Neea Sweet

Ukuran :
14 x 21

Status :
Terbit

Ketebalan :
255 Halaman

ISBN :
978-623-5304-76-2

Harga :
Rp. 83.000

5 1 vote
Rating
Subscribe
Notify of
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar

Top up Dana Saldo

Rp. 15.000

Bonus 100 poin

Rp. 25.000

Bonus 200 Poin

Rp. 50.000

Bonus 350 poin

Rp. 100.000

Bonus 800 poin