Beli buku versi cetak

PINJAM BUKU
Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book
Jakarta, Januari 2020
Gumpalan awan tampak hitam memenuhi luasnya langit. Angin berembus cukup keras. Membawa awan semakin berarak datang, bergelayut. Mendung mulai membungkus kota. Tidak lama butiran-butiran bening berhamburan lembut, turun membasahi bumi.
Di luar, sepanjang jalanan sudah basah. Hiruk-pikuk kota semakin kentara. Sarat akan kendaraan, klakson kendaraan bersahut-sahutan seolah tidak sabar untuk melajukan secepat mungkin perjalanannya.
Percikan-percikan lembut air hujan membuat tempias di seluruh jendela gedung. Termasuk juga jendela gedung berlantai 5 dari sebuah Instalasi Komprehensif Psikiatri.
Di salah satu ruang tersebut, terlihat seorang perempuan terlentang diam. Tubuhnya miring ke kanan. Sementara tangan kanannya dijadikan sebagai alas kepalanya. Di atas brankar itu, ia hanya diam. Menatap kosong ke arah jendela yang semakin penuh dengan tempias air hujan. Entah bagaimana dengan perasaannya. Ia hanya diam. Tanpa gerak, kecuali berkedip dan bernapas. Bahkan rasanya untuk bernapas pun seolah begitu berat. Sesak dadanya.
Genangan di matanya melebur juga. Mengalir hingga menetes ke sebelah tangannya yang dijadikan sebagai alas kepala. Ada apa? Apa dia bersedih? Apakah dia terluka? Memang benar iya. Dia bersedih. Dia terluka. Menyadari keniscayaan hidup yang selalu berada dalam ruang lingkup yang serba hitam.
Apakah dirinya memang selalu ditakdirkan untuk berada di dalam ruang terbatas ini, yang memiliki warna serba bercat putih? Hanya ada sepasang jendela sebagai ventilasi, juga satu lampu putih di pusat langit ruang, juga ada satu set sofa yang sudah agak berumur di sudut ruang. Memang tidak jelek dan tidak rusak. Tetapi ia tahu, sofa itu masih utuh sejak dulu, saat pertama kali ia masuk ke ruang ini, kalau tidak salah sejak 16 tahun yang lalu.
Satu hal yang paling ia benci. Kenapa tubuhnya kembali menyatu dengan busa dan bantal yang berbalut serba putih ini? Ah, betapa ia benci. Semua ini menampakkan fakta bahwa dia memang benar-benar menderita.
Sekitar 15 menit yang lalu, ia mulai membuka matanya. Merasakan kekosongan hati meski ada jutaan bayangan yang ia pikirkan. Tentang dirinya, tentang hatinya, dan tentang hidupnya yang selalu hitam, seolah sekarang benar-benar tidak ada yang peduli. Bahkan untuk seseorang yang paling dekat dalam hidupnya, sekarang benar-benar menjauh seperti tidak menginginkan lagi. Buktinya, dia mengirimnya kemari lagi.
Ah, menyakitkan.
Tepukan lembut di atas bahunya, sempat membuat perempuan itu kaget. Tubuhnya menegang. Kepalanya ingin bergerak menilik seseorang yang melakukannya.
“Sudah bangun rupanya?” Suara berat itu menanyakannya. Membuat dia tahu bahwa yang melakukannya adalah Dr. Gustoraharjo, sang Spesialis Psikologi yang selama ini setia menjadi Psikiater andalnya. Meski untuk 4 tahun terakhir ia sempat berhenti karena berpindah ke Pikiater yang lebih nyaman.
Perempuan itu menyeka air matanya. Lantas bangun, duduk penuh upaya untuk menyambut dokter ini. Meski sebenarnya ia sangat malas, tetapi siapa di sini yang membutuhkan? Dirinya. Itu artinya ia harus menghargai setiap keputusan dokter tersebut.
“Apa kabarmu pagi ini, Annisa?”
Perempuan bernama Annisa itu hanya diam. Sebatas tersenyum miring, enggan untuk menjawab. Ah, untuk apa Dokter Gusto menanyakan kabarnya? Bukankah sudah begitu kentara bahwa dia tahu tentang apa pun yang ada pada Annisa? Bahkan mungkin Dr. Gusto lebih tahu ketimbang Annisa sendiri.
“Baiklah, mungkin bagimu tidak terlalu penting pertanyaan ini untuk kau jawab. Meski sebenarnya dari pertanyaan-pertanyaan kecil ini sangat berpengaruh untuk menentukan perkembangan psikismu.” Pria berjas putih yang memiliki wajah bersahaja itu tersenyum hangat. Selalu berbicara menggunakan tutur kata yang halus, bahkan gurat wajahnya selalu tampak menyenangkan.
Annisa hanya tertegun.
“Jadi, kapan kita memulainya?” Dokter Gusto menatap Annisa. “Apa untuk sekarang kau sudah siap?”
Ya, karena memang untuk pagi ini Dr. Gusto berjadwal menangani perempuan berkerudung di hadapannya ini. Annisa memang sudah menanti sejak semalam tadi. Namun, mengingat Dr. Gusto yang terlalu padat membuatnya harus sabar menunggu sampai Dr. Gusto benar-benar menyempatkan waktu.
Annisa mengangguk. Lebih cepat lebih baik. Rasanya ia ingin cepat-cepat meluapkan semua perasaannya yang hampir membeludak.
Lantas Dr. Gusto mengajak Annisa untuk mengikutinya. Keluar ruangan menuju ruangan khusus Psikiatri.
Dr. Gusto membuka pintu ruang tersebut. Menampakkan segala macam peralatan khusus di ruang ini. Sejenak saja mampu membuat Annisa terpaku. Melihat berbagai macam alat-alat khusus yang dikategorikan begitu canggih. Entah apa pun itu namanya, Annisa tidak tahu. Ini baru kali pertamanya ia berkunjung ke ruang khusus ini. Walau telah 16 tahun lamanya ia melakukan pemulihan dengan derita yang sama.
“Silakan masuk, Annisa.” Dr. Gusto mempersilakan.
Annisa mengangguk. Mengikuti perintah dokternya untuk duduk disalah satu kursi konsultasi. Hatinya cukup bergetar. Takut bila sesuatu yang akan ia utarakan tak mampu ia tahan dengan perasaannya.
Persis jarum pendek menunjukkan angka delapan, Dr. Gusto bersuara, “Pukul 08.00 Tepat. Kita akan memulainya.”
Annisa kembali mengangguk, menelan ludah sejenak. Ia menatap Dr. Gusto yang sudah siap dengan beberapa lembar kertas dan satu bolpoin.
“Baiklah, saya akan memulainya. Siap menerima berbagai pertanyaan yang hendak kau tanyakan. Dan insya Allah siap menggantikan solusinya. Selagi saya mampu.”
Annisa mengangguk lagi. “Saya tidak punya pertanyaan yang banyak untuk ratusan masalah yang saya hadapi. Kecuali satu, ‘Apakah hakikat kebahagiaan? Dan apakah kebahagiaan itu masih berlaku untukku?’ “
Dokter Gusto menatap cukup lama pada kedua bola mata perempuan di hadapannya yang seperti tengah menyimpan sesuatu yang tertimbun. Lantas ia mengangguk. “Aku paham. Bisa kau ikut aku sebentar?” Dokter Gusto bangkit. Langkahnya mendekati pada salah satu alat canggih yang ada di ruang ini.
“Bisa kau duduk di sini, Annisa?” Dokter Gusto menunjuk pada sebuah kursi yang tersedia di sana (mirip dengan alat yang digunakan sebagai tempat operasi gigi).
Ragu-ragu Annisa mendekat. Duduk di sana dan bersandar pada punggung kursi yang tersedia. Di sampingnya terdapat monitor kecil sebagai hasil riset yang dikaji. Di bawah monitor itu juga ada 3 lampu berwarna kuning, merah dan biru. Juga terdapat beberapa tombol angka seperti tuts komputer. Entah alat apa yang tengah Annisa hadapi. Nalurinya tidak sampai untuk menjebol semua fungsi alat yang secanggih ini.
“Pakai ini di pelipismu, Annisa!” Dokter Gusto mengarahkan sepasang kabel yang hampir mirip dengan teleskop. Benda itu berfungsi sebagai pendeteksi mindset termasuk kejiwaan seseorang. Ia akan diukur seberapa besarnya hasil orientasinya mengenai alam sadar dan tidak sadarnya.
Sesuai perintah, Annisa menempelkan di pelipisnya. Spontan, monitor itu menyala. Menampilkan tulisan, “Connecting“.
“Tutup matamu, Tenangkan perasaanmu, kosongkan pikiranmu, lepaskan semua beban, anggap dirimu menjadi seorang yang merdeka. Bayangkan sesuatu hal yang menyenangkan.” Agak berjeda, Dokter Gusto memberi arahan. “Jika semuanya sudah, hembuskan napas pelan-pelan.”
Dan sesuai perintah, Annisa melakukannya.
Hingga 5 menit kemudian, hasil riset menyatakan bahwa lampu biru lah yang menyala, meski agak redup. Dengan tulisan di dalam monitor kecil itu menyatakan 85% sebagai hasilnya.
Dokter Gusto menyuruh untuk membuka mata. “Cukup baik. Daripada sebelumnya.”
Dahi Annisa berkerut. Membingungkan tentang sesuatu yang baru ia jalani di ruang Psikiatri ini.
“Oh iya, aku belum menjelaskan kepadamu tentang alat ini. Alat ini sebagai pengukur seberapa jauh kestabilan antara alam sadar dan alam bawah sadar. Untuk mengenai ketiga lampu ini masing-masing memiliki peran, merah 100% jiwanya terganggu atau bisa dikatakan gila. Kuning 50% antara waras dan tidaknya. Dan untuk biru, 100% sehat. Kau dapat 85% untuk warna biru hari ini. Sudah ada kemajuan. 5 hari yang lalu hanya 53% saja. Benar-benar kemajuan yang pesat.” Dokter Gusto menjabarkan. Lantas menyuruh Annisa untuk bangkit dan kembali ke kursi konsultasi.
Mereka telah berhadap-hadapan. Dan seperti biasa, Dokter Gusto lalu menatap mata pasiennya penuh penilaian. “Kembali ke sebuah pertanyaan besar. Apa itu hakikat kebahagiaan? Dan apakah kebahagiaan itu masih berlaku untukmu?”
Annisa mengangguk. Siap untuk mendengarkan pendapat Dokter Gusto
“Definisi kebahagiaan, sebagian mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sebuah rasa senang yang timbul dari hati seseorang. Dia bisa dikatakan bahagia apabila dia bisa terlepas dari masalah, terbebas dari kerumitan hidup, dia yang merdeka, tanpa beban. Begitulah definisi kebahagiaan menurut sebagian para ahli. Jika menurutku, kebahagiaan adalah sebuah rasa ketenangan, kenyamanan, kedamaian, meski masih menyimpan jutaan masalah, tetapi jika dia mau melaluinya dengan tenang, dengan rasa yakin, dan hati yang tulus, itulah yang dinamakan kebahagiaan. Sebab kebahagiaan yang sejati itu memang tidak ada. Bahkan tidak akan pernah ada. Kecuali kita sendiri yang menciptakannya.” Dokter Gusto mencentang satu kalimat pertanyaannya, ‘Apa itu hakikat kebahagiaan?‘ di dalam buku note-nya yang sempat ia tulis tadi. Tanda telah tuntas ia jawab.
“Lalu untuk pertanyaan, ‘Apakah kebahagiaan itu masih berlaku untukmu’?”
Annisa semakin memperhatikan.
Jawabannya, semua tergantung dirimu, Annisa. Kebahagiaan selamanya masih berlaku untuk semua orang yang mau bersyukur pada Tuhannya. Bukankah Tuhan sendiri selalu berkata bahwa, ‘Siapa yang bersyukur kepada-Ku, maka aku beri dia tambahan kenikmatan. Yaitu berupa kebahagiaan.’ Di saat kita bersyukur atas realita yang kita hadapi, untuk membuat diri lebih tenang. Ketenangan diri inilah yang pada akhirnya memudahkan kita untuk menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.”
“Sekarang aku yang ingin bertanya, Apa alasanmu menanyakan tentang hakikat kebahagiaan, Annisa? Jika dulu aku tahu sesuatu yang menjadikanmu menjadi seperti ini karena tentang masa-masa dulu mengenai orang tuamu, lantas untuk sekarang, hal apa yang menjadikanmu seperti ini?”
Annisa menunduk, menelan ludahnya berat. Sulit untuk mengungkapkan.
Dokter Gusto tersenyum membaca gurat wajah pasiennya. “Sebentar,” tiba-tiba ia bangkit. Berjalan mendekati kabinet kecil yang ada di sudut ruang. Lantas kembali dengan membawa sebuah buku hitam yang baru diambil dari kabinet tersebut. “Selama kau berada di alam bawah sadarmu, kamu selalu memeluk benda ini. Apakah barang ini memiliki sejarah khusus atas semua peristiwa yang menimpamu? Aku belum pernah membukanya. Tak berani mengerti isinya tanpa izin dari pemilik. Bisa kau jelaskan, Annisa?”
Jantung Annisa mendadak berdegup cepat. Napasnya mulai tidak teratur. Bagaimana ini? Ia sama sekali belum siap untuk menguakkan segala peristiwa itu pada Dokter Gusto. Tetapi di satu sisi, ia juga butuh solusi untuk keluar dari masalah yang selalu berada di dalam ruang lingkup serba hitam.
“Buku ini milik sahabatku, kekasih hatiku yang tak sempat kumiliki. Semua tulisan yang tertuang dalam bukunya, hanya berisi tentang aku dan dirinya. Dari yang kami lalui bersama sejak awal, sampai akhirnya kami berpisah.”
Dokter Gusto mengangguk paham. “Sepertinya menarik. Bisa kau ceritakan detailnya?”
Sekilas, Annisa menengok ke arah jendela, di luar masih hujan. Angin berdesak-desak cukup keras. Gelegar halilintar terdengar sahut-menyahut. Tetapi beruntunglah, ruang ini memiliki kualitas yang baik. Kebisingan di luar tidak terlalu jelas untuk terdengar.
Dokter Gusto mengarahkan buku diary itu kepada Annisa. “Annisa…”
Membuat Annisa terenyak dan berpaling pada buku yang diarahkan kepadanya. Tak langsung meraihnya, Annisa menatap barang itu jerih. Sebagian hatinya terasa patah, sanggupkah ia untuk membuka dan menceritakan tentang segala sesuatu yang ada di dalam bukunya?
Ragu-ragu tangannya terangkat. Lantas membukanya dengan gemetar. Sedetik saja mampu menitikkan air mata. Mungkin saatnya lah untuk sekarang ia akan menceritakan semua pada Dokter Gusto. Ia benar-benar butuh solusi.
Ya, dari sekarang, kisah itu akan dimulai.
JUZ 1
Aku, Permulaan Kisah
Di hari Senin pertama, dari bulan Juli 2010
Dear Annisa,
Memulai sebuah peristiwa dari fase ke fase, bukanlah hal mudah dalam hidup ini. Beragam kisah, miliaran manusia mencoba beradu sandiwara, berpura-pura bahagia di hadapan dunia. Mereka semua sibuk, tanpa peduli takdir apa yang akan mereka terima. Yang jelas, semua hanyalah sebuah perangai, agar terlihat baik-baik saja.
Dan mungkin hal itu juga amat berlaku untuk diriku. Aku salah satu di antara miliaran manusia itu, yang selalu berpura-berpura bahagia, sekalipun itu di hadapanmu.
Jika kau bahagia atas ini,
Tak mengapa. Aku sungguh tulus melakukannya. Meski harus menimbulkan luka di antara masing-masing hati.
-Davian
***
Jakarta, Juli 2010
Pagi ini langit tampak cerah. Birunya terlihat sempurna membentang semesta. Hanya terdapat beberapa saputan awan yang berarak. Matahari juga belum begitu tinggi. Bahkan cahayanya masih terasa hangat.
Di bawah cuaca yang seindah ini, tampak jelas kain merah-putih berkelebat gagah di puncak ketinggian tiang bendera. Di halaman sekolahan SMA Negeri 68 Jakarta, terlihat lengang. Dari ratusan siswa di SMA tersebut semuanya sibuk berkutat di dalam kelas. Sibuk mendengarkan seorang guru yang berbicara panjang lebar di depan kelas. Termasuk juga kelas XII IPA 2.
Tak semuanya dari seluruh anggota yang berjumlah 38 siswa ini mampu mendengarkan penjelasan guru tentang materi pelajaran. Malah kebanyakan mengantuk, atau sebagian siswa bercakap-cakap melalui tulisan di kertas yang diam-diam dilemparkan pada lawan obrolannya. Hanya ada tiga sampai empat orang saja yang serius mendengarkan guru di depan, termasuk teman sebangkuku yang bernama Feni
Aku?
Aku hanya diam. Sibuk memainkan sebatang bolpoin yang ku coret-coret di atas secarik kertas. Memang, untuk pelajaran yang satu ini sangat membosankan. Sejak kecil aku tidak pernah menyukai pelajaran matematika yang mengandung jutaan angka menyebalkan. Aku tidak pernah suka perhitungan. Aku juga mendadak pusing ketika melihat puluhan angka yang minta untuk dituntaskan hasilnya.
Herannya, untuk satu temanku yang duduk sebangku malah asyik dan gemar pada pelajaran yang menyebabkan kepala ini mengepul. Jangan heran. Feni adalah salah satu murid terpandai di angkatan kami. Selalu menduduki paralel satu dari sekian ratusan siswa. Sementara aku? Hanya siswa biasa yang tidak mempunyai prestasi membanggakan sepertinya. Dulu hanya pernah sekali mendapat paralel 2 setelah Feni di kelas XI. Dan kelanjutannya, aku merosot, nilai ku tersaingi oleh siswa pindahan di kelas XI IPA 1. Alhasil akulah yang mengalah, aku harus menerima pararel 3.
Pak Hadi masih sibuk dengan penjelasannya. Yang tanpa lelah menerangkan pada 34 siswa yang tidak mendengarkannya. Dan aku selalu merasa bosan.
Tiba-tiba segumpal kertas mengenai kepalaku. Jatuh persis di atas meja. Aku menoleh, melihat siapa yang melakukannya. Rupanya laki-laki itu, yang kini menatapku jenaka dengan senyum lebarnya hingga menampakkan gigi gingsulnya. Kedua alisnya naik-turun seolah menggodaku.
Dia Farhan Davian. Salah satu teman terbaikku. Satu-satunya sahabat yang selama ini selalu ada untukku. Sekitar 5 tahun yang lalu kita menjalin hubungan ini. Dan semoga saja, semua akan terus berlanjut pada ujung waktu hayat kami.
Aku membukanya, membaca rangkaian kalimat yang tertulis pada kertas ini. “Istirahat langsung ke kantin, ya?”
Aku mengembus napas membacanya. Kembali menoleh dengan wajah datar. Sementara Farhan terus tersenyum seolah bangga atas ketidaksetujuanku.
15 menit tersisa pelajaran ini berakhir. Pak Hadi undur diri dari kelas kami. Betapa hati lega ketika semuanya telah selesai. Di susul bel istirahat nyaring memekakkan telinga seluruh penghuni sekolahan ini.
“Sa, ke perpus yuk…” Feni mengajak. Sesekali tangannya sibuk membenahi buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.
Aku selalu merasa tidak enak setiap kali Feni mengajakku. Sebab ajakannya selalu berbenturan dengan ajakan Farhan. “Aku mau ke kantin dulu deh, Fen. Kau ke perpus saja dulu. Nanti aku nyusul.”
“Serius, Sa?”
Aku mengangguk, meyakinkan. Lantas membiarkannya pergi lebih dulu. Dan sesuai niat, aku dan Farhan pergi ke kantin.
Di kantin, tidak ada sesuatu yang paling spesial kecuali kami yang memesan menu kesukaan kami. Aku, soto ayam dengan bumbu lengkap dan sambal yang super pedas. Dan untuk Farhan, bubur ayam dengan kaldu yang banyak. Kami duduk berhadapan di meja paling pojok. Sempat menjadi bahan perhatian semua anak-anak. Tapi kami abai, kedekatan kami memang selalu membuat semua orang bertanya-tanya, “Masa iya hanya sebatas sahabat sampai begitu lekatnya?”
“Kau sudah tahu kalau minggu depan sekolahan kita sudah mulai classmeeting?”
Aku mengangguk, sesekali menyesap es teh yang ku pesan.
“Kau ikutan apa?” Sesuap bubur ia masukkan ke dalam mulutnya.
Aku menggeleng, “Tak ada.”
“Pidato? Melukis? Olahraga? Kau kan pintar.”
Aku menggeleng berulang kali mendapat banyaknya pertanyaan. “Kalau ada kompetisi lomba makan bakso aku mau gabung.”
“Elah, mengadakan sendiri baru ada.” Ia mencibir. “Oh iya, ngomong-ngomong nanti kau dukung aku, ya?”
Beberapa mie putih yang baru ku sendok bertahan di udara, aku menatapnya.
“Biasa, aku kan jadi kapten basket, kau harus mendukungnya biar aku tambah semangat.” Ia nyengir menampakkan gigi gingsulnya. Harus ku akui, dia tampan, manis. Banget malahan. Tapi aku tidak pernah memujinya secara langsung. Justru aku mengatakannya bahwa dia jelek. Dan itu semua bertahan sejak 5 tahun yang lalu, saat semua mengawalinya untuk hubungan persahabatan ini.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Perasaanku sedang tidak enak, terpikirkan pada salah satu temanku yang ada di kelas XII IPA 1. Thabet Margaretha. Seorang gadis koptik yang asli dari negeri orang tiba-tiba datang ke tanah air dan memutuskan pindah sekolah di sini sejak kelas XI. Tidak lain yang kini menjadi pacar Farhan. Sahabatku yang kini duduk berhadapan denganku.
Kemarin, aku sempat bertemu dengannya dalam keadaan dia menangis. Aku tanya apa penyebabnya. Rupanya tentang hubungan mereka. Aku tahu selama beberapa bulan yang telah berlalu hubungan mereka terlihat tidak sehat. Tidak ada suatu keromantisan apa pun di antara keduanya. Alhasil, Thabet selalu menangis. Mengasihani perasaan yang selalu sakit.
“Aku mau tanya sesuatu denganmu, Han…”
Semangkuk bubur ayam telah ditelan olehnya. “Tanya saja.” Berlanjut menyesap es vanila kebanggaannya.
“Kenapa kalian putus?”
Mata Farhan tiba-tiba lekat menatapku. Ia memotong sejenak seperti terkejut atas pertanyaan ini. “Bagaimana bisa kau mengetahuinya?”
“Kemarin aku melihat Thabet di lorong toilet, dia menangis sendirian. Aku menghampirinya, menanyakan apa yang terjadi., dan dia mengatakan kalau kalian putus.” Agak berjeda, “Kenapa?”
Tak langsung menjawab, Farhan diam sejenak. Tatapannya kosong. Aku masih menunggunya bicara.
Terkadang aku bingung. Kenapa dengan Farhan? Semestinya ia bangga bisa mendapatkan apalagi dicintai oleh seorang Thabet yang sejak kepindahannya ke sekolahan ini sudah memiliki papan nama teratas. Menjadi siswa paling populer dan banyak penggemar. Dengan wajahnya yang cantik bak barbie dan tubuhnya yang semampai, membuat Thabet seperti sosok perempuan yang tercipta dengan segala kesempurnaannya. Bahkan otaknya jangan ditanya lagi. Brilian. Meski tidak secemerlang Feni. Sebab dialah di sini yang memang paling menguasai masalah akademik. Herannya, kenapa Farhan tidak meresponnya dengan baik dan bahkan seperti menyia-nyiakanya?
“Kami sudah tidak cocok, Sa…”
“Kata siapa? Kalian sangat cocok. Mestinya kau itu bersyukur, Han, bisa memiliki dan dicintai gadis sesempurna Thabet.” Jujur, sejak tadi aku memendam unek-unek itu. Bahkan sejak kemarin setelah mendengar kabar itu dari Thabet.
“Tidak semudah apa yang kau kira, Sa. Semua sangat berat untuk kujalani.”
“Kenapa? Bukankah dulu kau telah mengatakan padaku bahwa kau akan menjaga hubungan kalian?”
“Sementara aku harus menahan perasaan perih, Sa?” Farhan memotong cepat. “Kau sudah tahu sejak awal bahwa aku sama sekali tidak mencintainya. Dan kau yang menyuruhku untuk menjalin hubungan ini demi menghargai perasaannya. Pikirkan secara baik-baik bagaimana seandainya kau berada di posisiku!” Farhan seperti begitu jengkel, tatapannya tajam. “Cinta tidak bisa dipaksakan!” Lantas bangkit, beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkanku.
Aku masih diam di tempat. Puing-puing bayangan mereka berkelebat di hadapanku. Aku masih sangat ingat betul, bahwa hubungan mereka memang bukan kemauan Farhan. Akulah yang meminta Farhan untuk mengatakan cintanya agar mereka jadian demi menghargai perasaan Thabet. Aku hanya tidak enak pada Thabet yang setiap waktu selalu menanyakan tentang bagaimana Farhan, yang selalu menceritakan tentang perasaannya pada Farhan, juga yang selalu mengkhayalkan bahwa ia benar-benar bersatu dengan Farhan.
Thabet adalah teman dekatku. Tidak memungkinkan bila aku membiarkan ia terlarut pada angan kosong yang menyakitkan—hanya karena mengharapkan cintanya terbalas. Aku sesama perempuan tentu tahu bagaimana rasanya memendam perasaan. Menyakitkan. Seperti aku yang sampai saat ini masih memendam rasa, menyimpan rapat-rapat sebuah luka ketika tahu bahwa temanku sendiri, Thabet menyukai Farhan. Maka kuputuskan untuk merelakan perasaanku sendiri demi kebahagiaan seorang teman.
Aku menyuruh Farhan untuk menjalin hubungan dengan Thabet. Walau berbagai penolakan Farhan atas permintaanku, tetapi aku tetap berusaha dan harus berhasil menyatukan mereka. Bagaimanapun caranya, hingga aku benar-benar memaksa Farhan untuk menyatakan cinta pada Thabet. Bahkan mengancamnya pula andai Farhan tidak menuruti perintahku, maka putuslah persahabatan aku dengannya.
Hingga suatu hari, Farhan benar-benar memenuhinya.
Tiga minggu hubungan mereka, sebenarnya Farhan selalu mengeluh. Mengatakan padaku bahwa ia ingin memutuskan hubungannya dengan Thabet. Tetapi aku selalu menolak. Andaikan ia putus dengan Thabet, maka ia pun harus siap putus persahabatan denganku.
Sungguh, Apakah aku begitu jahat, ya Allah?
Aku tidak mengerti perasaan macam apa ini yang kurasakan. Aku menginginkan hubungan mereka terus berlanjut. Tetapi di satu sisi, hatiku sakit. Tuhan, Tolong berikan jalan penerang untuk menemukan jalan keluar. Kenapa Kau ciptakan perkara ini bila ujungnya akan menyakiti banyak hati?
***
Seperti apa yang diharapkan seluruh siswa SMAN 68 Jakarta, akhirnya classmeeting tiba juga. Bahkan tidak terasa untuk hari ini sudah hari ke-7 dari 7 hari pelaksanaan. Hari di mana detik-detik penentuan pemenang sebagai juara terbaik dari seluruh kelas yang ada.
Sesuai harapan Farhan, aku berusaha untuk menjadi pendukung paling baik baginya. Berdiri di barisan paling depan di antara puluhan siswa yang menjadi supporter masing-masing tim. Di daerah kiri arena, ada dua kelompok cheerleaders yang siap menampilkan aksi-aksinya. Thabet juga ikut di sana. Sayang, ia harus mendukung kelasnya sendiri, XII IPA 1. Bukan tim Farhan yang akan menjadi lawan timnya.
Pertandingan sebentar lagi dimulai.
Dua tim tengah memasuki kawasan lapangan basket. XII IPA 1 dikapteni oleh Sadega. Seorang cowok paling cool di angkatan kami. Dia Mahir, lincah. Beberapa kali ia menjadi seorang pemimpin olahraga ini dalam pengikutsertaan kompetisi di luar sekolahan. Sementara untuk XII IPA 2, dipimpin oleh Farah Davian. Dia tidak terlalu hebat sebenarnya. Akan tetapi dilihat dari caranya bermain yang baik dan selalu mengambil keputusan yang bijak, ia dijadikan sebagai kapten. Setidaknya aku bangga memiliki sahabat sepertinya. Toh, dia juga tidak kalah tampan dari Sadega.
Sial! Kenapa aku memujinya lagi?
Seorang wasit meniupkan bunyi panjang pada liprit yang berseru nyaring. Tanda permainan segera dimulai. Sorak-sorai bergemuruh memenuhi arena saat kedua tim itu memulai pertandingan. Aku berseru menyebut nama Farhan berulang kali. Memberinya masukan dan semangat khusus. Ia juga merespon, mengacungkan jempol sesekali sibuk dengan permainannya yang lincah. Nama Sadega juga tidak kalah diserukan oleh puluhan supporter kelas XII IPA 1. Saling sahut-menyahut antara seruan kami yang menyebut nama Farhan. Pertandingan ini sepertinya akan menjadi pertandingan sengit. Super big match.
Hingga babak pertama telah usai. Tim Farhan 24 poin dan tim Sadega 24 poin. Hasil sementara seri.
Aku berjalan mendekati Farhan, mengarahkan air mineral dingin padanya saat ia beristirahat di luar lapangan.
“Thanks.” Tanpa menunggu jeda, ia langsung menenggak air mineral yang kuberi. Sampai tandas.
“Capek?”
“Iyalah. Namanya juga olahraga. Tapi menyenangkan, berkat dukungan kalian, kami jadi semangat.” Ia berselonjor seperti meregangkan otot-ototnya.
“Demi apa pun, kami selalu di belakang kalian.”
“Kau tidak memihak lawan, kan?” Tiba-tiba Farhan menatapku. Aku mengernyit. Apa maksudnya? “Ya, barangkali walau sudah menjadi mantan kau masih tetap mendukungnya..”
Aku mendesah malas mendengar maksudnya. Aku tahu kesimpulannya. Ia mengira bahwa aku akan tetap mendukung Sadega yang notebane-nya sudah menjadi mantan. Oke, mantan. Perlu digarisbawahi bahwa kata itu sebenarnya perlu diralat. Semua orang memang menganggapku pernah menjadi pacar Sadega. Padahal tidak pernah sama sekali. Aku dan Sadega dulu hanya sebatas teman. Dekat mungkin bisa dikatakan Iya. Sadega memang pernah menyatakan perasaannya padaku. Tetapi sama sekali aku tidak menerimanya dan hanya sebatas memberinya kesempatan untuk berteman baik denganku. Hanya itu, tidak lebih.
Aku bukan seorang perempuan yang suka pacaran. Cukup menjadi sosok yang berarti untuk sebuah rasa yang istimewa, itulah komitmenku. Seperti halnya aku dan Farhan. Aku menyukainya, ia menyayangiku, dan bukan berarti kami pacaran. Cukup kami yang saling memberi arti untuk saling memahami dan menghargai. Entah sampai harus berapa kali aku mengatakan pada Farhan kalau hubunganku dengan Sadega dulu tidak lebih dari hubunganku dengan Farhan.
“Yeee… cemberut.” Farhan menarik ujung jilbabku. Membuat jilbab ini agak berantakan.
“Menyebalkan!” Aku berdesis sebal.
Tak lama suara liprit wasit berseru.
“Sudah dipanggil wasit. Kapten mau berjuang dulu, ya…” izin Farhan dengan nada sombongnya.
Aku mencibir. “Songong sekali, Bos!”
Terdengar suara gelak tawa dari Farhan. Lantas ia segera masuk ke lapangan. Membiarkan aku sendiri dan hanya pada perasaan yang semakin tumbuh. Tetapi aku langsung tersadar bahwa tidak seharusnya aku berlarut-larut akan masalah ini. Hidup tidak hanya memikirkan perasaan cinta. Hidup itu perjuangan. Masih banyak hal yang lebih penting dan berarti ketimbang memprioritaskan masalah asmara.
Babak kedua telah dimulai. Tak terasa hampir 40 menit lamanya pertandingan ini dimulai. 27-25 poin. Tim Farhan lebih unggul. Aku dan teman-teman semakin bersemangat untuk men-support mereka. Lima menit terakhir detik-detik kemenangan kami. Ini laga final. Jika tim Farhan memang memenangkan pertandingan ini, tandanya kelas kami lah yang menjadi juara.
Di lapangan itu masih terlihat adu-sengit. Terutama untuk Farhan dan Sadega. Mereka berdua seolah musuh yang berambisi tinggi untuk mengalahkan satu sama lain. Aku berseru menyebut nama Farhan. Bermaksud memberinya semangat lagi. Tetapi tiba-tiba sesuatu terjadi di luar dugaan. Farhan terjatuh. Baru saja aku melihat Sadega sengaja men-takeling kaki Farhan. Sadega bermain curang.
Farhan berseru mengaduh kesakitan. Kakinya terus dia pegang. Suasana mendadak ramai dan tegang. Pertandingan juga dihentikan sejenak. Seorang wasit datang berlari mendekati Farhan. Mencoba mencari keputusan terbaik untuk menengahi kedua tim yang hampir berkelahi dan tawuran.
Beberapa saat akhirnya Farhan dibawa oleh tim medis sekolah. Aku menyusulnya. Sangat menghawatirkan keadaannya. Aku takut terjadi sesuatu padanya.
10 menit telah berlalu tanpa terasa. Farhan masih di dalam UKS ditangani oleh empat orang tim medis. Hingga tak lama tim medis itu keluar. Aku bertanya apakah luka Farhan cukup parah? Dan salah satu mereka menjawab, “Tidak.” Aku bernapas lega mendengarnya. Lantas memutuskan masuk ke dalam, melihat kondisi Farhan yang terus menghawatirkan.
Di ruang yang agak sempit itu Farhan merebah di atas brankar yang tersedia. Kakinya yang terluka telah dibalut oleh gips. Seperti seorang atlet taraf internasional yang tengah cidera, saja.
“Han?” Aku memanggil setelah tiba di sisi-nya.
Farhan yang semula memejam mata sontak membukanya. Ia menatapku, bergegas duduk. Menyambut kedatanganku.
“Apa yang terjadi?”
Agak memutar bola matanya malas-malas, Farhan berdecak. “Mantanmu menang sadis. Gila! Pemain macam apa dia yang berambisi ingin melukai lawan. Bukan bola yang dijadikan sasaran, tapi malah kakiku!”
Aku hanya tersenyum jerih. “Sakit banget ya?”
“Iyalah, awas saja tuh mantanmu. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan kakiku, aku akan membuat dia menggantikan kakiku.”
“Dia memang begitu. Penuh Ambisi. Sudahlah, Han, tidak usah urusi dia.”
“Aku pikir-pikir, dia cemburu. “
“Mulai deh…” aku berdesis.
“Serius! Tapi aku bangga. Itu tandanya namaku yang menduduki tahta tertinggi di hatimu.” Ujarnya yang sontak membuat kedua mataku membeliak hebat. Dilanjutkan gelak tawa darinya.
Ya Allah, dia masih sakit. Tetapi bisa-bisanya dia bercanda seperti ini?!
“Oh iya, Sa, boleh aku minta tolong?”
Aku menatapnya penuh tanya. “Perutku lapar. Sumpah, Sa, aku lapar sekali.”
“Terus aku disuruh untuk memesankan? “
“Itu pun kalau kau masih menganggapku sebagai sahabat terbaik hidupmu.”
Aku mengembus napas cukup keras. “Katakan!”
“Nasi sama fried chicken saja deh, Sa. Minumannya yang segar ya! “
“Iya, Kapten.” Aku mulai beranjak.
“Jangan lama-lama, Sa!”
“Iya, Kapten…” Aku sudah berada di ambang pintu.
“Takutnya rindu!”
Untuk kalimat itulah, aku tidak menggubrisnya. Takutnya akan semakin membuatku sakit. Sakit sebab aku tidak akan bisa memiliki hatinya.
Tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk memenuhi pesanan Farhan, seporsi Fried Chicken dan segelas jus jambu telah siap kubawa ke ruang UKS. Aku melewati lorong yang terhubung dengan kelas X. Melenggang mantap sambil membawa satu nampan yang berisi seporsi pesanan Farhan.
Tetapi langkahku terhenyak saat melihat seorang laki-laki berhenti persis di hadapanku. Dia masih mengenakan Jersey tim basketnya, lengkap dengan sepatunya. Rambutnya basah oleh keringat. Tetapi wajahnya masih terlihat segar. Dengan kostum jersey yang tanpa lengan, membuat otot- otot di lengannya tampak gagah. Aku yakin, Sadega yang menyandang status cowok paling cool di sekolahan ini, semua cewek pasti akan membuka matanya lebar-lebar dan membuka mulutnya. Mereka semua akan berdecak kagum atas penampilannya yang sebegini kerennya. Sayang, dia sedang berhadapan dengan seorang gadis yang se-cuek aku. Aku bukan perempuan pengagum yang terlalu fanatik. Jika aku mengagumi seseorang, cukup aku menyimpannya di hati. Tidak akan pernah menampakkan rasa kekagumanku pada seseorang yang kukagumi.
Aditya Sadega Herlan. Itulah nama lengkap laki-laki yang kini berdiri di hadapanku.
Aku malas berhadapan dengannya. Lalu mengangkat langkah ke samping, hendak mengambil jalan yang berbeda dari hadapan Sadega. Tetapi Sadega terus mengikuti gerak langkahku. Ke kanan, kiri, berulang sampai tiga kali.
Aku mengembus nafas malas. “Maaf, kau menghalangi jalanku.”
Ia masih diam menatapku serius. “Annisa…” panggilnya. Suaranya lembut.
Aku masih diam. Menatap langkahnya yang semakin mendekat. Tidak lama kedua lenganku dipegang olehnya. Aku terenyak. Mataku tajam menatap kedua tangannya yang lancang memegang lenganku. Mengisyaratkan untuk segera menyingkirkan tangannya dari lenganku. Masalahnya, aku paling tidak suka disentuh-sentuh oleh lawan jenis. Sejak kecil aku selalu diajarkan ilmu hukum agama oleh ayahku. Walau harus ku akui, aku memang dekat dengan Farhan, tetapi kami tidak saling sentuh menyentuh.
Sadega melepas tangannya dari lenganku. Seperti merasa bersalah. “Sorry, I am forget.” Agak berjeda. “Kita harus bicara,”
Aku memutar bola mata malas mendengarnya. Setelah apa yang ia lakukan dulu padaku, dan tadi yang sempat menyakiti Farhan, jangan harap aku akan berbicara padanya.
“Maaf, tidak ada waktu. Aku buru-buru.” Aku hendak melangkah, tetapi Sadega lagi-lagi menghalangiku.
“Maafkan atas semua yang terjadi. Aku hilaf.” Ia menelan ludah. Tatapannya sendu. Seperti mengeluarkan seribu jurus untuk meluluhkan hatiku. “Aku sungguh menyesal.”
“Lalu apa motifmu sampai harus melukai Farhan?”
“Dia yang membuat gara-gara, Sa!”
“Di sini jelas-jelas yang salah kau. Masih bisa-bisanya kau menyalakan Farhan?!” Nadaku naik beberapa oktaf.
“Aku cemburu. Aku melakukannya karena cemburu denganmu yang selalu menyebut-nyebut nama Farhan.”
“Wajar. Dia sahabatku, tim kelasku.”
“Setidaknya kau juga beri aku semangat. Aku juga bagian penting dalam hidupmu, bukan?”
Dahiku mengernyit dalam. “Setelah apa yang kau lakukan dulu padaku, kau masih mengharapkan bahwa aku akan terus berlaku manis untukmu?
Ya, aku masih ingat betul tentang detailnya. Saat di mana ia yang berhasil mempermalukanku, mengaku-ngaku menjadi pacarku di depan umum. Bahkan dengan beraninya dia merangkulku sambil melambaikan tangannya dan berseru, “Semalam aku dan Annisa baru jadian! Kita resmi pacaran!” Saat itulah, aku benar-benar membencinya.
“Apakah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki?”
Aku diam. Masih menatapnya penuh benci. Lantas mengambil langkah untuk pergi.
“Apa pun akan kulakukan demi mendapatkan maafmu. Kita bisa menjadi dekat seperti dulu lagi!”
Langkahku terhenti. Aku memikirkan kata-katanya yang terakhir. “Mintalah maaf dulu dengan Farhan atas kesalahanmu. Aku akan berteman denganmu asal kau mau berdamai dengan Farhan.” Lantas mengayunkan langkah, meninggalkannya. Satu nampan yang berisi seporsi makanan pesanan Farhan– yang kubawa sejak tadi, rasanya ingin ku tumpahkan di wajahnya andai aku kejam. Sayang, aku tercipta dengan hati yang penuh pertimbangan.
Sadega masih diam seribu bahasa di belakang. Aku tidak memedulikannya. Farhan sudah menunggu lama.
Aku telah sampai di depan pintu UKS, lalu mendorongnya untuk masuk ke dalam. Tetapi langkahku terhenti saat melihat Farhan tengah berbicara serius dengan seorang gadis yang kukenali. Dia adalah Thabet.
Aku diam di ambang pintu penuh dengan pertimbangan. Apakah lebih baik masuk atau tidak. Aku tahu, mereka tengah membicarakan hubungan mereka yang akhir-akhir ini tidak sehat. Semoga saja mereka bisa mendapatkan keputusan terbaik. Tetapi entah kenapa, sebagian hati kecilku selalu menangis setiap kali melihat kebersamaan mereka. Ada apa? Bukankah yang selama ini menginginkan mereka bersatu adalah aku? Bukankah yang selama ini memaksa perasaan Farhan untuk mencintai Thabet adalah aku? Lalu kenapa setelah semuanya terjadi justru membuat perasaan ini semakin berkeping dan hancur?
Untuk membuka BAB selanjutnya silahkan anda bisa melakukan pinjam buku atau membeli buku versi cetak