Because of YOU

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
Menjalin sebuah persahabatan dengan lawan jenis sepertinya hanyalah fiktif belaka! Realitanya kenyamanan itu tidak akan timbul tanpa sebuah perasaan di dalamnya.Tetapi apakah mencintai sahabat sendiri adalah sebuah kesalahan…??Masalah yang berhubungan dengan perasaan memang begitu rumit. Kepedulian dan kasih sayang hanyalah dalih untuk menyembunyikan isi hati :)Dan ini semua tentang Revan!Bagaimana nantinya…? Bertepuk sebelah tangan atau bahagia bertepuk tangan!

PINJAM BUKU

Baca buku harian mulai dari SERIBU RUPIAH sudah bisa baca dan nikmati fitur 3D Book

Tinn tinnnn tinnnnnn…..

Terdengar suara klakson dari kendaraan  roda  dua yang begitu nyaring di heningnya pagi.

“Rena sekolah yuk,” seorang anak laki-laki berpakaian putih abu-abu berteriak di depan gerbang sebuah rumah bergaya mininalis.

Dia adalah Revano Melvin Bagaskara, panggil saja Revan. Cowok yang baru genap berusia 18 tahun itu duduk di bangku sekolah menengah atas, lebih tepatnya kelas XI semester 2.

Tak lama setelah ia berteriak seperti tadi,  seorang gadis cantik berambut hitam panjang yang tergerai indah muncul dari balik gerbang pembatas rumah tersebut dengan jalanan komplek perumahan.

“Bisa gak sih kalo manggil jangan teriak gitu! Pagi pagi udah bikin onar di komplek orang,” omel gadis tersebut.

Gadis itu Renata Ayudia atau Rena, teman masa kecil Revano Melvin Bagaskara. Bahkan sampai di usianya sekarang mereka masih bersahabat dan tidak terpisahkan.

Renata gadis berparas cantik dengan sepasang bola mata indah, bulu mata lentik, dan ditambah  lagi pipinya yang chuby menambah kesan imut pada gadis berbadan pendek itu.

“Kok bikin onar sih,” Revan membuka helm fullface hitam yang membungkus kepalanya. Cowok itu sedikit mengacak rambut kebanggaannya dan menyisirnya kebelakang dengan jari tangannya.

Tampan, satu kata itu cukup untuk mendeskripsikan seorang Revan. Cowok itu berbadan atletis serta memiliki pahatan wajah yang  sempurna.  Tak  heran jika banyak kaum wanita yang terjerat dengan pesonanya. Tapi hal itu tidak berlaku dengan gadis yang dihadapi nya ini.

“Lo nya teriak-teriak bambangggg,” ucap Rena dengan melengking tinggi.

Refleks Revan menutup telinganya rapat-rapat setelah meletakkan helm di tangki motor  sportnya. Selamatkan gendang telinga hamba ya Tuhan, doanya dalam hati.

“Ini baru teriak, kalo gue tadi cuma bersemangat,” ujar Revan membuka kembali telinganya agar bebas mendengar setiap celotehan yang keluar dari  bibir Rena.

Menjadi sahabatnya dari kecil membuat Revan hafal dengan sikap dan kelakuan Rena. Ceroboh, cengeng, manja, itulah Rena. Sekecil apapun kebiasaan gadis itu Revan sampai hafal diluar kepala, karena dirinya begitu dekat dengan gadis itu.

“Gue gak teriak,” sangkal Rena. Gadis itu paling tidak suka kalau dibilang cerewet, bawel, atau sebangsanya. Padahal kenyataannya gadis itu memang  cerewet sekali, tetapi tidak dengan semua orang dirinya seperti itu.

Revan menghela nafas dan harus mengalah dari gadis satu ini. “Iya serah lo Ren,” pasrahnya.

 

“Buruan naik udah  jam setengah tujuh,” titah Revan saat ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.

“Susah Van!”

Revan meletakkan kembali helm yang  ingin  di pakainya saat melihat gadis itu kesulitan mengancingkan pengait helmnya. “Deketan sini,” ucapnya hingga gadis itu melangkah mendekatinya.

“Udah 17 tahun masih aja gak bisa pake helm sendiri,” sindir Revan saat membantu mengancingkan  helm yang di pakai Rena.

“Biarin wlekkk,” gadis itu lantas menjulurkan lidahnya dengan ekspresi mengejek saat helm itu sudah terpasang sempurna di kepalanya.

“Muka lo tambah jelek,” kata Revan mengejek sembari memakai helmnya yang sempat tertunda tadi.

Plakkk

 Cowok itu meringis di balik helm fullfacenya saat tamparan super power Rena mendarat di punggungnya.

 

“Rena cantik, Revan Jelek wlekk”

Tanpa rasa berdosa gadis itu langsung naik ke jok belakang motor Revan dengan bertumpu di  bahu cowok tersebut.

Iyalah cantik, namanya juga cewek. Kalo lo ganteng berarti bencong!,

 “Berangkat,” tepukan di bahu tegapnya membuat Revan tersetak dari lamunannya. Di liriknya gadis itu sudah nangkring di jok belakang motornya dengan cengiran ala Iklan pasta gigi.

“Pegangan dulu,” di tariknya tangan Rena agar berpegangan pada pinggangnya. Ralat, lebih tepatnya agar gadis itu memeluk dirinya.

“Modus!”

Inilah definisi perkataan tetapi tidak sesuai dengan perbuatan. Apa yang keluar dari bibir gadis itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Bukannya mengelak dirinya malah mengeratkan pelukannya di pinggang Revan. Di sisi lain Revan hanya terkikik geli dengan kebiasaan Rena yang satu ini. Menurutnya sangat menggemaskan, bilangnya sih modus tapi nempel juga akhirnya.

Motor sport putih itu  meninggalkan  pekarangan rumah Rena dan mulai membelah jalanan dengan kecepatan  normal.  Jangan  pernah  kalian  berpikiran Revan akan ngebut ala pembalap profesional. Dirinya bisa saja melakukan hal itu namun ada sesuatu yang membuat Revan takut melakukannya.

Trauma, sebab saat di usianya 10 tahun ia pernah terjatuh dari sepeda karena ngebut di kejar anjing tetangga sebelah. Waktu itu dirinya dalam posisi memboncengkan Rena dan gadis itu ikut terjatuh membentur pagar besi milik salah satu tetangganya. Kaki gadis itu terluka dan hingga kini bekasnya tidak bisa hilang. Karena itulah Revan tidak berani mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi jika bersama dengan Rena, Ia tak mau kejadian dulu terulang lagi.

Sekarang dua anak kecil itu sudah tumbuh dewasa bersama. Mungkin sudah tidak akan ada lagi tangis saat terjatuh dari sepeda, tapi akan tetap ada suatu hal membuatnya terluka bahkan membekas lebih lama.

Lupakan!

Biarkan apa yang terjadi di waktu silam menjadi memori mereka berdua. Kita tidak berhak ikut campur didalamnya?!

Menjemput Rena sudah menjadi rutinitas Revan setiap harinya. Dari sekolah dasar hingga saat ini, SMA, mereka selalu sekolah di tempat yang sama bahkan satu kelas pula. Tapi semenjak di bangku SMA mereka terpisah karena keduanya mengambil jurusan yang berbeda. Rena memilih IPA sedangkan Revan memutuskan mengambil jurusan IPS.

Sekitar limabelas menit Revan mengendarai motornya akhirnya mereka tiba di SMA  Nusantara,  sekolah swasta ternama di kotanya. Mayoritas siswanya adalah anak orang berada, namun tak  sedikit  yang berasal dari kalangan menengah.

Puluhan pasang mata menatap sepasang siswa Nusantara yang datang bersamaan itu.  Tak  sedikit yang memuji keduanya akan tetapi cibiran pedas yang keluar dari bibir bibir jahanam itu lebih mendominasinya.

Kasihan Revan mau-maunya diperbudak sama cewek modelan gitu! 

Pake pelet apaan sih tuh cewek! Couple goals bingitt ya ampun!

Ceweknya cantik cowoknya ganteng, cocok banget gilaaa! 

Kecentilan banget pake nempel nempel segala!

 “Turun woii betah banget meluk gue  nya,”  Revan sudah melepas helmnya tapi gadis yang di boncengnya masih memeluk tubuhnya dan belum beranjak sedikitpun.

“Emosi gue,” gadis itu berpegangan bahu Revan untuk membantunya turun dari motor besar milik sahabatnya itu.

“Emosi kenapa sih?” tanya Revan saat membukakan kaitan helm Rena.

Gadis itu mendengus kasar, bola matanya melotot dengan bibir yang dikerucutkan. Bukannya terlihat garang tapi di mata Revan ekspresi Rena sangat menggemaskan apalagi pipi chuby itu ikut menggembung.

“Lo gk denger pada ngomongin gue dari tadi,” sungut Rena.

Tangan Revan terulur untuk merapikan anak rambut Rena yang berantakan. “Mereka iri sama Lo karena bisa di bonceng plus meluk cogan kayak gue,” Cowok itu menaik turunkan alis tebalnya dengan tingkat kepedean maksimal.

Gadis itu menatapnya dengan geram lantas memukul lengan cowok berkali-kali. “Lo tuh ya bener  bener minta di…,”

“Cium,” sahut Revan cepat.

Rena berhenti memukuli Revan, matanya seketika melotot kearah cowok yang berdiri di hadapannya itu. “Gue laporin om papi nanti,” ancamnya sok serius.

Om papi adalah panggilan Rena kepada Regan – papanya Revan. Sejak kecil gadis itu sudah akrab dengan keluarga Revan, bahkan dirinya di anggap anak sendiri oleh orang tu cowok tersebut. Jadi tak heran jika Rena terlihat begitu dekat dengan Regan dan Sarah, istrinya.

Revan hanya terkekeh mendengar ucapan gadis itu, “Laporin gihh gpp, asal ini dulu!” ia menunduk kemudian menunjuk bibirnya sebagai kode.

Pukkk!

 “Cium aspal sono!!” Rena berlari meninggalkan Revan yang memegang bibirnya akibat mendapat tamparan darinya. Setelah sedikit menjauh dari Revan, ia lantas tertawa lepas tanpa beban.

“Sabar Revan ganteng, sabar,” Cowok itu mengelus dadanya. Meladeni sahabatnya itu memang membutuhkan tenaga ekstra karena gadis itu masih labil orangnya.

Brumm… brumm…

 Deru dari dua motor sport yang masuk ke area SMA Nusantara membuat beberapa siswi memekik kegirangan.

Aaa….. Atmaa!

 Ayang Sena gue!

 Koleksi cogan Nusantara cekkk!!

 Teriakan histeris dari beberapa siswi itu terdengar saling bersahutan. Tak hanya berteriak, mereka bahkan ada yang jingkrak jingkrak layaknya kuda lumping. Upss canda lho ya.

Tinnnnn

 “Berisikkkk,” teriak Revan saat dua motor sport tersebut mendekat kearahnya.

Bwahahaaaa

 Dua cowok yang mengendarai motor tersebut tertawa bersamaan. Mereka adalah Ananteo Key Atmaja (Atma) dan Kristian Senata Putra (Sena). Mereka adalah teman satu circle-nya Revan. Geng? Bisa di katakan demikian, ketiganya sesama cogan yang mendapat sebutan ‘Gantara’ alias cogannya Nusantara. Tidak ada yang tau siapa pencetus nama Gantara itu, yang jelas nama itu selalu di gunakan ciwi-ciwi untuk memanggil mereka.

“Bocil lo mana Van?” tanya Atma. Cowok itu sedang menyisir rambutnya yang berantakan sambil bersiul-siul tak jelas.

“Udah masuk duluan,” jawab Revan yang bersandar di motornya.

“Biasanya Lo anter sampe depan pintu,” Sena ikut mempertanyakan. Tidak biasanya gadis kecil itu pergi ke kelas tanpa diantar Revan. Pantas saja  dirinya merasa ada yang kurang, ternyata tidak ada kehadiran Rena di antara mereka.

“Habis nampar bibir gue trus kabur tuh tuyul satu,” curhat Revan dan kembali mengusap bibirnya mengingat kejadian semenit lalu.

“Mampus!!” kompak Sena dan Atma menertawai temannya itu. Andai mereka melihat secara langsung mungkin tawanya akan lebih mengejek dari ini.

Bagaimana rasanya jika pagi hari sudah disuguhi santapan rumus yang menggabungkan antara angka dan huruf. Bukan hanya rumit tapi kenyataannya memang sangat rumit bin sulit. Hanya sebagian siswa yang kapasitas otaknya mumpuni yang mampu mencernanya dengan baik. Sedangkan Renata Ayudia, ia tidak masuk kedalam kategori itu. Bisa dibayangkan betapa ribetnya saraf otak gadis tersebut menerima gelombang sinyal yang berbelit belit itu.

“Kurang berapa menit?” Rena berbisik pada Vina, teman sebangkunya.

Cewek berkucir kuda itu tampak menghitung perputaran jarum jam yang bergantung di atas papan tulis. “Lima menit lagi,” desisnya membuat Rena mengangguk penuh antusias.

Kringgggggg,

 Bel istirahat pertama berdering begitu  nyaring membuat siswa kelas XI IPA-3 bernafas lega. Setelah tiga jam pelajaran harus bergelut dengan rumus fisika yang astagfirullah susahnya, akhirnya  otak  mereka bisa keluar dari jeratan sains itu.

“Jangan     lupa     tugas     dikumpulkan     pertemuan selanjutnya ya anak-anak,” ucap guru yang mengampu mapel Fisika di kelas Rena sebagai penutup pertemuannya.

“Iya Bu,” Serempak siswa kelas XI IPA-3 menjawab meskipun dalam hatinya menghujat makhluk bernama tugas itu.

Keluhan bercampur dengan umpatan mulai terdengar saat guru itu sudah keluar dari kelas Rena dengan meninggalkan setumpuk tugas yang akan membuat otak konslet berhari-hari kedepan.

“Rena pangeran lo dateng!” teriak seorang siswa dari ambang pintu.

Merasa namanya di panggil Rena sontak menengok. Di sana berdiri tiga cowok yang menduduki tahta tertinggi tingkat ketampanan di SMA Nusantara. Mereka adalah Revan dan dua temannya, siapa lagi kalau bukan Sena dan Atma.

Revan nyelonong masuk tanpa permisi, toh tidak akan ada yang mengusirnya. Cowok itu malah mendapat sambutan penuh suka cita dari para siswi XI IPA-C. Beruntung sekali mereka yang satu kelas dengan Rena karena kelasnya selalu di datangi Revan dkk. Yaa meskipun bukan mereka yang di cari tapi setidaknya bisalah untuk cuci mata hahaa.

“Makan dulu biar tambah gendut,” suara itu berbarengan dengan cubitan gemas di pipi chuby Rena. Gadis itu sudah bisa menebak pelakunya, siapa lagi kalau bukan Revan?

“Revan ihhh,” Rena menyingkirkan tangan Revan yang masih menyubit kedua pipinya. Setelah cubitan itu terlepas ia lantas merogoh cermin kecil dari kotak pensilnya dan mengoleskan liptint ke bibirnya.

Belum selesai ia mengoleskannya, Revan sudah merebut pewarna bibir itu dari tangannya. “Revan balikin,” Rena hendak meraih liptint nya kembali tapi Revan sudah melemparkannya kearah Atma.

“Buang,” ucap Revan datar.

Gadis itu melotot tak percaya mendengar ucapan sahabat laknatnya. “Van lo apaan sih emfttt,” ucapan Rena terpotong saat Revan mengusap bibir gadis itu untuk menghapus warna merah yang  menempel disana.

“Jangan  pake  gituan!”  kali  ini  suara  Revan  terdengar tak bersahabat. Jika Revan sudah dalam mode begitu Rena tidak berani menatapnya. Gadis itu hanya menunduk melihat sepatunya yang ia gerakan membentuk pola abstrak di lantai.

“Van jadi kantin gak,” Sena melihat keadaan yang sedang  tidak  baik baik saja diantara Revan dan Rena. Ia mengalihkan perhatian agar masalahnya tidak semakin panjang.

Revan menghela nafas panjang, tiba-tiba  dadanya sesak setelah bersikap seperti itu dengan Rena. “Sorry Ren gue kelewatan ya,” ucapnya lembut.

Gadis itu menggeleng dan langsung berhambur memeluk  tubuh  Revan.  “Jangan  marah  Van,”  lirihnya hampir tak terdengar.

“Gue gak marah kok Ren, cuma gak mau aja bibir lo jadi nyonyor jelek gitu,” ucapnya dengan tawa tak terbendung.

Rena langsung melepas pelukannya dari tubuh Revan. “Lo tuh yaaaa,” geram gadis itu. Padahal dirinya sudah was-was jika Revan marah dengannya tapi ternyata hanya acting belaka.

“Udah ayokk,” Revan menggandeng tangan gadis itu dan berlalu meninggalkan kelas tanpa mempedulikan keberadaan dua temannya.

“Lupa daratan lo Van,” Atma dan Sena mengikuti langkah Revan yang sudah keluar kelas tanpa dirinya.

“Mentang mentang udah ada Rena, gue sama Atma ditinggal,” dumel Sena.

“Kaciannn,” ejek Rena yang sudah dirangkul Revan. Mereka berjalan beriringan menuju surganya makanan. Yahh kantinlah yang mereka tuju.

Keempat siswa itu selalu menjadi sorotan siswa siswi Nusantara. Banyak yang iri melihat kedekatan Rena dengan tiga cogan itu, terlebih dengan Revan.

Sesampainya di kantin Rena langsung melesat meninggalkan ketiga cowok yang bersamanya dan langsung ikut mengantri di stand penjual Batagor.

“Gue satu Ren,” teriak Atma.

“Beli sendiri,” sahut Revan yang sudah duduk di bangku kekuasaannya.

Atma berdecak lantas ikut mendaratkan tubuhnya di kursi berhadapan dengan Revan sementara Sena duduk di sampingnya.

“Gue boleh ikut duduk sini kan?” seorang cewek berseragam seksi tiba-tiba muncul entah dari mana dan langsung duduk di samping Revan.

“Gak,” sentak Revan dan dua temannya dengan serempak.

“Boleh ya Van,” genit gadis itu bahkan tangannya lancang bergelayut manja di lengan Revan.

Dengan kasar Revan melepas tangan cewek itu dari lengannya. “Budek lo,” bentaknya. Siapapun yang mengusik dirinya cowok bahkan cewek sekalipun jangan harap akan mendapat perlakuan baik darinya.

Cewek itu  berdiri dengan raut wajah sudah memerah. Ia mengedarkan pandangannya hingga  berhenti  di satu titik yang membuat dirinya kesal setengah mati. Siswi perpenampilan seksi itu lantas mendekati Rena yang berjalan membawa piring batagornya.  “Semua gara gara lo!” di jambaknya rambut Rena  dengan sekuat tenaga.

Prangg!!!, piring yang ada di tangan Rena terhempas begitu saja.

“Revannn!!!”

Lengkingan Rena membuat atensi kantin tertuju padanya. Gadis itu berusaha melepas tangan yang menjambak rambutnya. Perih mulai menjalar dikepalanya bahkan matanya sudah ikut memerah menahan rasa sakit itu.

Dengan tergesa Revan, Sena, dan Atma melangkah menghampiri Rena. Terlihat rahang tegas cowok itu mengeras menandakan bahwa dirinya tidak bisa mengendalikan amarahnya saat ini.

“Lepas,” Revan langsung menyentak tangan  Siva dengan kasar hingga terlepas dari rambut panjang Rena.

“Kenapa lo bertiga selalu belain cewek munafik kayak dia,” Siva menunjuk gadis yang sudah berada di dekapan Revan.

“Karena Rena princess kita,” ucap Sena dan Atma yang berdiri di samping Revan.

“Princess? Really??” tanyanya dengan smirik licik.

“Liat aja apa yang bakal gue lakuin sama Princess lo,” Siva tersenyum sinis memandang remeh gadis lemah yang ada di hadapannya.

“Iye gue liatin nihhh,” Atma memelototkan matanya tepat didepan wajah Siva. Cewek itu berdecih lantas meninggalkan Rena dan ketiga cowok yang menjadi bentengnya.

Sepeninggalan Siva suasana kantin menjadi damai kembali. Pasalnya cewek yang bernama Sivana Margareta itu terkenal sebagai pembully dan tidak ada yang berani melawannya karena dirinya adalah anak dari ketua yayasan SMA Nusantara.

“Masih sakit?” tanya Revan setelah mendudukkan Rena di bangkunya tadi.

Rena menggeleng kecil “Cuma panas,” gadis tersebut mengusap rambutnya.

Revan tersenyum simpul, lega rasanya setelah mengetahui gadisnya dalam keadaan baik baik saja. Tangan cowok itu ikut mengusap kepala Rena dengan penuh kasih. Siapa saja yang melihatnya pasti akan merasa iri dengan Rena karena mendapat perlakuan manis dari seorang sahabat layaknya Ratu.

“Pesen makan Sen!”

“Lo makan apa Ren?” tanya Sena kepada gadis yang selalu menjadi prioritas mereka.

“Batagor pake kecap yang banyak,”

“Minumnya?” Kini Revan yang bertanya sembari menyisir rambut panjang Rena dengan jari tangannya.

“Lemon tea,”

Sena menganggukkan  kepalanya  mengerti  kemudian ia melirik Revan dan Atma yang  menatap  lekat sahabat perempuannya itu.  “Lo  berdua  apa?” tanyanya.

“Samain aja tapi kecapnya dikit,” ucap Atma mendapat anggukan dari Revan.

Tak ingin membuang waktu Sena  langsung menyambar uang yang Revan sodorkan dan bergegas memesan makanan sebelum jam istirahat berakhir.

“Van pinjem Hp,”

Mendengar permintaan tersebut Revan lantas merogoh sakunya dan  menyerahkan  benda pipih berlogo apel itu kepada gadis yang bersandar di bahunya. “Nihhh,”

“Atma fotoin dong,” Handphone tersebut  Rena sodorkan kearah Atma yang sibuk dengan game onlinenya.

“Kameramen checkkkk,” teriak Atma setelah meletakkan ponselnya dan berganti memegang handphone milik Revan.

“Berisik Lo,” sembur Revan sebab mereka sekarang menjadi pusat perhatian pengunjung kantin gara-gara teriakan Atma.

Rena tertawa pelan lalu menarik lengan Revan agar tidak ada jarak diantara mereka berdua.  Dengan senang hati Revan merangkul bahu Rena sementara gadis itu memeluk pinggangnya dari samping. Senyum keduanya mengembang  sempurna,  hahhh  damai sekali melihatnya.

“Stop!” Atma mulai membidik pose kedua  temannya itu.

“Cakeppp,” di tunjukannya hasil jepretannya setelah menjadi fotografer dadakan.

“Cantik banget gue nya,” gadis itu memuji dirinya sendiri setelah merebut handphone tersebut  dari tangan Atma.

“Pede nya selangit,”

“Biarin,” ucap Rena menjulurkan lidahnya kearah Atma yang bersedekap dada kearahnya.

Beberapa saat kemudian Sena datang dengan membawa nampan berisi pesanan mereka. Setibanya makanan tersebut mereka lantas menyantapnya sebab waktu istirahat hampir berakhir.

Istirahat memang identik dengan  jajan,  meskipun tidak semua begitu. Memberi asupan agar otak bisa diajak kerjasama lagi untuk menampung setiap materi pelajaran setelahnya, itulah salah satu alasannya. Namun realitanya tidak demikian,  setelah  makan bukan semangat yang datang tetapi kantuklah yang menyerang. True??

 

Untuk buka BAB Selanjutnya silahkan untuk melakukan pinjaman buku atau membeli buku versi cetaknya

Penulis : Tw Sejati

Ukuran :
14 x 21

Status :
Terbit

Ketebalan :
124 Halaman

ISBN :
978-623-5304-02-1

Harga :
Rp. 55.000

0 0 votes
Rating
Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar