Untukmu, Sang Pejuang! Untukmu yang langkahnya berpijak di atas suluk surgawi, demi mewujudkan janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dipermudah baginya jalan menuju surga. Untukmu, yang kini berjuang dalam meniti jalan para pewaris nabi, jalan para pembangun peradaban gemilang, jalan yang terlihat indah di akhirnya, meski perjuangan adalah sunnah yang mesti dijalani.
Bagian pertama dalam risalah ini merupakan sebuah pandangan penulis, dalam melihat fenomena yang telah terjadi dan sedang terjadi pada saat ini. Penulis tidak hendak memfokuskan pembahasan buku ini pada kritik sistem semata, tetapi pandangan ini bertujuan sebagai refleksi atas latar belakang dari sekian banyak sisi problematik penyebab kemunduran semangat thalibul ‘ilmi, yaitu mereka dalam pandangan penulis sebagai para pejuang ilmu.
Semangat ilmu seringkali teralihkan pada penilaian angka semata, hingga mengakibatkan perpindahan orientasi perjuangan yang sebenarnya, yaitu untuk meraih ilmu yang bermanfaat (al-‘Ilm an-Nafi’) kepada mendapatkan nilai 100 atau A+ semata. Meskipun tujuan dari nilai tersebut adalah untuk melihat kadar pemahaman siswa pada umumnya, tetapi anggapan bahwa nilai menjadi tolak ukur utama kesuksesan siswa telah mengalihkan tujuan yang sebenarnya.
Seringkali kita dapati di antara sebagian pejuang ilmu yang belum dapat memahami kedudukan dirinya sendiri yang begitu teramat penting, hingga menganggap dirinya hanya seperti anak-anak remaja yang bersekolah pada umumnya. Anggapan yang seringkali muncul adalah, bahwa belajar, sekolah, mengaji, dan yang lainnya merupakan kegiatan yang didorong oleh “social trend” yang sudah tertancap kokoh di setiap sanubari insan zaman kini.
Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa tidak sedikit diantaranya yang berpijak pada cita-cita masa depan yang diidam-idamkan bahkan sejak kecil, tetapi juga di sisi lain seringkali terjadi perubahan-perubahan di dalamnya seiring dengan pengalaman dan wawasan yang didapat selama belajar.
Menjejaki setiap jenjang pendidikan formal dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal, di mana hari demi hari dihiasi dengan canda tawa dan kegembiraan masa kecil, prinsipnya adalah bermain sambil belajar. Setelah mengenyam pendidikan di sana, proses selanjutnya beralih di tingkat Sekolah Dasar, di sinilah dimulai karakter terbentuk dan gambaran akan cita-cita masa depan yang seringkali diajarkan oleh guru-guru, meskipun keinginan yang ada selalu didasari atas alasan-alasan yang sederhana dan polos, tetapi di sinilah pondasi dasar karakter terbentuk.
Setelah mendapatkan ijazah, tanda bahwa seorang anak telah menyelesaikan pendidikannya di sekolah tersebut, maka selanjutnya adalah melanjutkan pendidikan hingga tingkat menengah baik pertama maupun atas. Jenjang inilah yang menjadi proses yang cukup berpengaruh pada pola pikir dan manajemen hati. Lingkungan dan pergaulan menjadi faktor utama dalam mendorong niatan dalam mencari ilmu.
Tidak jarang ilmu yang dipelajari tidak memiliki esensi dan kedudukan penting, bahkan cenderung diremehkan. Meskipun begitu, paling tidak bagi sebagian yang lain, ilmu dijadikan sebagai alat untuk mengisi setiap lembar buku tugas sekolah dan ajang menunjukkan seberapa mumpuni mereka dalam suatu bidang, ditandai dengan adanya sistem ranking bagi mereka yang unggul di masing-masing kelas. Penghargaan, ranking, nilai terbaik, semuanya menjadi motivasi pendorong yang besar bagi sebagian pelajar, tetapi terkadang tidak bagi sebagian yang lainnya. Hal ini juga terkadang memunculkan persaingan-persaingan yang kompetitif, yang seringkali berdampak pada ketidakseimbangan antara kecerdasan intelejen dan kecerdasan spiritual.
Hal ini juga berdampak setidaknya pada pergeseran esensi dari proses pembelajaran yang sebenarnya, yang selaras dengan nilai yang sering dijunjung bangsa ini, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tanpa menafikan manfaat dari itu semua, apa yang didapat dari proses pembelajaran selama ini adalah fokus terpenting yang mesti dicapai sebagai perwujudan dari nilai tersebut.
Lantas, benarkah jika keistimewaan seorang pejuang ilmu terletak pada seberapa tingginya nilai yang didapat? Atau terletak pada penghargaan dan prestasi apa saja yang telah diraih? Atau bahkan dari sanjungan para guru dan kawan atas pencapaian yang didapat?
Adanya ‘penjurusan’ atau ‘kejuruan’ dalam sistem pendidikan pada saat ini juga merupakan sebuah fenomena pendidikan saat ini, terutama pada jenjang pendidikan tingkat menengah. Di satu sisi memfokuskan bidang pelajar dalam satu bidang tertentu mampu membantu fokus keahlian yang dimiliki pelajar, sehingga mumpuni di dalamnya. Selain itu, di era industri saat ini faktor keahlian dan penguasaan suatu bidang menjadi pertimbangan yang penting dalam prospek pekerjaan. Tampak sekali bahwa spesialisasi keilmuan dengan dalih profesionalitas hanya diperuntukkan bagi pemenuhan tenaga kerja dalam bidangnya.
Tetapi, terkadang hal ini berdampak pada penyempitan kadar keilmuan pada pelajar sehingga hanya mampu menguasai satu bidang tertentu, tanpa memahami sedikitnya bidang yang lain. Ketika seorang pelajar telah terfokus pada satu bidang yang diminatinya saja, terkadang akan mengenyampingkan ilmu yang lainnya dengan alasan profesionalitas. Padahal kapasitas setiap diri tidak pernah dibatasi, setiap insan mampu menyerap berbagai pengetahuan-pengetahuan yang luas dan menyeluruh.
Selain itu, terlalu berfokus pada satu bidang keilmuan semata karena dorongan sistem dikotomi[1], akan mengakibatkan kaburnya pemahaman pelajar pada ilmu apa saja yang sebenarnya patut dipelajari sebagai asas dan landasan berpikir. Setelah itu, baru dimungkinkan adanya spesialisasi bidang sebagai pelengkap dan penguatan minat keilmuannya.
Lebih jauh, dikotomi ini menyebabkan terciptanya dua sistem pendidikan yang dijalani pelajar, ada sistem pendidikan Islam yang biasanya ditunjukkan oleh sekolah Islam/Madrasah, ada sistem pendidikan umum yang sering kita lihat di sekolah-sekolah menengah umum. Masing-masing keduanya memiliki visi dan misi yang tentu berbeda dalam mendidik para pelajarnya. Ketika seorang pelajar lebih memilih belajar di sekolah Islam atau madrasah, maka konsekuensinya adalah dia akan berfokus pada materi-materi pelajaran keislaman yang mendalam, di samping pelajaran-pelajaran umumnya.
Tetapi jika seorang pelajar memilih belajar di sekolah umum, maka konsekuensinya adalah kenyataan bahwa pendidikan agama memiliki jam yang tidak seimbang dengan pelajaran-pelajaran yang lain sehingga selalu berdampak pada kurangnya pemahaman pelajar tentang agama Islam. Ini merupakan kenyataan yang tengah terjadi saat ini.
Ketika seorang pelajar ilmu yang mengenyam pendidikan di sekolah formal umum (pelajaran agama tidak dominan) memilih untuk fokus belajar dalam pelajaran fisika saja, ekonomi saja, sosiologi saja atau yang lainnya misalnya, apa yang hendak dia cari? Pekerjaan? Kepintaran? Nilai yang memuaskan? Atau yang lain? Apa yang hendak dia capai dari ilmu yang dia pelajari?
Terkadang setiap pelajar akan cenderung untuk menempuh kebahagiaan duniawi semata. Mengapa? Karena terkadang kita belum memahami bahwa ada kebahagiaan yang lebih berarti bagi kita di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, yang tidak terbatas pada kebahagiaan dunia semata. Itulah kebahagiaan ukhrawi, sebagaimana doa-doa yang sering kita panjatkan kepada-Nya:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةَ وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Tentu doa tidak hanya sekedar doa saja, melainkan harapan yang selalu kita harapkan adanya. Kita pun tahu, bahwa setiap harapan tidak akan pernah terwujud, melainkan dengan usaha yang diruntut dengan munajat kepada-Nya. Usaha sekuat tenaga dan penuh ketawakalan adalah pertanda semakin dekatnya doa kita terkabul.
Lantas bagaimana untuk mendapatkan kedua kebahagiaan itu sekaligus? Jawabannya tiada lain adalah selain kita belajar ilmu-ilmu umum, maka pelajarilah ilmu-ilmu agama sebagai pondasi dan landasan bagi kita. Ilmu agamalah yang akan menjadi perantara bagi kita agar senantiasa terbimbing dan terarah setiap kata dan ucapan kita. Dengan ilmu agama jugalah kita akan senantiasa ingat kepada siapa kita bergantung dan memohon, yaitu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia-lah yang memiliki sifat Al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui.
Ketika kita sudah bisa memahami dengan baik apa yang telah kita pelajari dari ilmu-ilmu agama, maka tujuan dari mempelajari ilmu-ilmu yang lain pun akan terang dan jelas. Niat yang lurus, doa yang terus dipanjatkan, usaha yang terus dikencangkan, dan keyakinan yang kuat akan menghasilkan sebuah karunia yang tiada terkira, lebih dari sekadar harapan duniawi yang hendak kita capai.
Perhatikanlah! Bahwa niat menggambarkan tujuan kita dalam mencari ilmu. Maka, setiap pejuang ilmu patut meniatkan setiap kesungguhannya dalam ilmu dengan niat yang benar. Syaikh az-Zarnuji telah memperingatkan kepada kita:
وَيَنْبَغِي أَنْ يَنْوِيَ الْمُتَعَلِّمُ بِطَلَبِ اْلعِلمِ رِضَا اللهِ تَعَالَى وَالدَّارَ الآخِرَةِ وَإِزَالَةَ اْلجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ سَائِرِ اْلجُهَّالِ وَإِحْيَاءَ الدِّيْنِ وَإِبْقَاءَ اْلإِسْلاَمِ فَإِنَّ بَقَاءَ اْلإِسْلاَمِ بِالْعِلْمِ وَلَايَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ اْلجَهْلِ.[2]
Artinya: “Oleh sebab itu, seorang pelajar seharusnya berniat untuk mengharap ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, mengharap (kebaikan) akhirat, juga berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang-orang yang bodoh (dengan mengajarkannya), berniat untuk menghidupkan agama dan melestarikannya, karena kelestariannya hanya dapat diwujudkan dengan ilmu, dan tidaklah sah perilaku zuhud dan ketakwaan jika bersama kebodohan.”
Hal ini telah ditegaskan juga oleh Syaikh ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni Hafidzahullah:
فَالإِخْلَاصُ أَنْ تَطْلُبَ اْلعِلْمَ لِوَجْهِ اللهِ وَلِرَفْعِ الجَهْلِ عَنْكَ، ثُمَّ تُرِيْدُ بِهِ مَا عِنْدَ اللهِ مِنْ دَارِ اْلكَرَامَةِ، فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ أَعْطَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا. وَالَّذِي يَطْلُبُ اْلعِلْمَ لِلدُّنْيَا يَنَالُ حَظًّا قَلِيْلاً . . وَظِيْفَةً وَمَنْصِباً أَوْ جَاهاً، وَلَكِنَّهُ يَخْسِرُ مَا عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ النَّعِيْمِ وَقُرَّةِ العَيْنِ وَالكَرَامَةِ وَالسُّرُوْرِ وَالحَبُورِ وَالدُّوْرِ وَالقُصُوْرِ، فِي جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ[3]
Artinya: “Keikhlasan (dalam mencari ilmu) ialah dimana kamu mencari ilmu semata-mata karena Allah serta untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu, kemudian kamu menghendaki dengan ilmu itu apa yang berada di sisi Allah yaitu tempat yang mulia (akhirat), maka sesungguhnya jika kamu melaksanakan hal itu (ikhlas), Allah akan memberikan padamu sesuatu yang terbaik dari dunia dan segala isinya. Adapun orang yang mencari ilmu karena dunia, dia hanya akan mendapatkan keberuntungan yang sedikit … pekerjaan, posisi/kedudukan, ataupun hanya peringkat/ranking, bagaimanapun dia akan kehilangan apa yang terdapat di sisi Allah ‘Azza wa jalla, diantaranya kenikmatan, kesenangan, kemuliaan, kebahagiaan, suka cita, tempat tinggal, dan istana-istana yang berada di surga yang luasnya seluas langit dan bumi”
[1] Istilah ini seringkali lahir dalam khazanah pemikiran Islam yang sering digunakan untuk menjelaskan hakikat dari ilmu dan kedudukannya dalam Islam, apakah ilmu di dalam Islam itu terdapat pembedaan sehingga menimbulkan pertentangan antara satu dengan yang lainnya? atau tidak. Dikotomi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Pembagian dalam arti dikotomi menyebabkan pertentangan antara satu aspek dengan aspek lainnya. Jika menggunakan pengertian ini, maka ilmu menjadi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu ilmu umum/sains dan ilmu agama. Tetapi, yang perlu diketahui bahwasanya Islam tidak pernah mengenal adanya dikotomi ini. Islam tidak mempertentangkan antara ilmu umum dan agama, bahkan Islam memadukan keduanya untuk dapat meraih kebahagiaan di dunia juga di akhirat. Bahkan jika istilah ini diterima, maka akan muncul istilah dualisme pendidikan, yaitu ada pendidikan umum dan pendidikan Islam, ada guru khusus pendidikan umum dan guru khusus pendidikan Islam, ada kurikulum umum ada kurikulum Islam, ada sekolah umum ada sekolah Islam. Selain itu, jika begitu maka akan ada asumsi bahwa ilmu umum bersumber dari Barat atau selain dari Islam, sedangkan ilmu Islam berasal dari Islam itu sendiri. Dalam perspektif sejarah, hal ini sebagai akibat dari adanya penjajahan Barat pada dunia Islam, terutama setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924 yang membawa visi sekulerisme (pemisahan antara agama dan negara) yang berdampak pada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum.
[2] Syaikh az-Zarnuji, Pedoman Belajar …, hal. 16
[3] Syaikh ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni, Iqra’ Bismi Rabbika, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), hal. 119
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran: 190)
Ayat di atas berkaitan dengan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terdapat di alam semesta ini. Langit dan bumi merupakan dua realita yang benar-benar wujud, sehingga kita dapat mengamati berbagai fenomena yang ada di dalamnya sebagai bentuk kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala. Lafadz ‘Inna’ di awal kalimat ayat tersebut menunjukkan pada ‘taukid’ (penegasan/pengukuhan) akan hal itu, sehingga tidak dapat diragukan lagi apalagi dipungkiri adanya.
Fenomena yang tergambar di dalam ayat tersebut adalah, tentang penciptaan langit dan bumi serta pergantian antara siang dan malam. Imam Ibnu Katsir bahkan menjelaskan dengan begitu rinci tentang ayat di atas. Beliau menjelaskan bahwasanya langit dengan ketinggiannya dan keluasannya, begitupun bumi dengan kerendahannya (di bawah langit) dan kepadatannya. Segala sesuatu yang ada dalam keduanya adalah termasuk ke dalam tanda-tanda keagungan yang terlihat, diantaranya bintang-bintang yang beredar dan tetap, lautan, gunung, gurun, pepohonan, tumbuhan, tanaman, buah-buahan, hewan, mineral, juga segala hal yang bermanfaat, yang memiliki warna-warna, rasa, aroma, dan karakteristik yang berbeda-beda.[1]
Semesta ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala yang begitu luas menyimpan berbagai tanda-tanda-Nya dan keajaiban-Nya yang patut direnungkan dan dijadikan pelajaran. Memahaminya dan mempelajarinya menjadi tanda bagi mereka yang berakal (أولو الألباب), maka ini merupakan isyarat akan pentingnya proses berpikir disertai dengan ilmu dan berbagai wawasan yang dapat menyampaikan kita pada hikmah dan pelajaran di alam semesta ini.
Maka sudah menjadi sunnatullah, hadirlah berbagai ilmu yang mampu menjelaskan berbagai fenomena yang terdapat di alam ini, mulai dari biologi, fisika, kimia, dan berbagai cabang keilmuan di dalamnya. Kehadiran ilmu-ilmu alam menjadi sarana yang utama dalam memahami keagungan Allah melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Maka, sepatutnya seorang pejuang ilmu tidak menganggap bahwa semua ilmu di atas ‘terpisah’ hingga menganggap bertentangan dengan keilmuan syariat, tetapi turut mempelajarinya sebagai upaya untuk mengetahui hakikat penciptaan alam ini serta mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Perlu diingat! Bahwa Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup, petunjuk, dan panduan umat[2] dalam menjalankan setiap proses dalam hidup ini, adalah kitab yang universal (mencakup berbagai aspek) yang berkaitan dengan kehidupan ini. Ayat-ayatnya secara umum terbagi ke dalam dua bagian, ada ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum yang menjadi landasan beribadah dan bermuamalah, juga terdapat ayat yang menjelaskan tentang fenomena kehidupan manusia, fenomena dan kejadian di alam semesta ini sehingga dapat menjadi pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran itu.
Maka, apakah patut bagi kita untuk melakukan dikotomisasi (pemisahan) Al-Qur’an dengan memisahkan kandungan wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala serta membedakannya antara ilmu agama dengan ilmu umum/alam? Padahal secara substansial nilai-nilai ilmu yang dimaksud sama-sama terdapat di dalam Al-Qur’an. Saat ini, ketika seseorang mempelajari biologi, fisika, kimia, sosiologi, antropologi, dan yang lainnya seakan-akan berkonsekuensi untuk ‘tidak’ mempelajari ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, fikih, dan yang lainnya.
Terbukti pada saat ini terjadi pemisahan jurusan kelas yang umum terbagi ke dalam beberapa jurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, yaitu IPA, IPS, Bahasa, hingga Keagamaan (bagi Madrasah Aliyah). Tetapi meskipun begitu, sisi positif yang terlihat adalah masih dimasukkannya pelajaran agama pada masing-masing kelas meski dengan perbandingan yang tidak sepadan dengan jumlah pelajaran yang diterima sesuai jurusan.
Alangkah indah dan bijaknya jika seorang pejuang ilmu yang sejati memiliki kapasitas keilmuan yang terintegrasi (terpadu), mampu memahami ilmu-ilmu di dalam agama begitupun keilmuan umum yang menunjang kapasitasnya dan kualitasnya sebagai Insan Kamil (pribadi yang sempurna).
Memang, bukan menjadi sebuah paksaan untuk mampu memahami semuanya (apalagi seluruh ilmu pengetahuan), tetapi pada dasarnya memadukan fokus keahlian dan keilmuan yang sedang dijalani saat ini sesuai dengan jurusan yang diambil, dengan pengetahuan agama Islam yang lurus berlandaskan wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala adalah lebih baik daripada berkeyakinan bahwa dengan mempelajari ilmu umum menyebabkan jurang yang begitu lebar dan dalam sehingga terhalang untuk mempelajari keilmuan Islam lebih dalam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan saat ini ikut andil dalam membentuk jiwa-jiwa pejuang ilmu yang seringkali terperangkap dalam keistimewaan ‘palsu’. Alih-alih demi mendapatkan nilai yang istimewa, tidak sedikit yang melakukan aksi contek-menyontek sebagai jalan instan untuk mendapatkan nilai yang dituju. Pola pikir ini tentu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan dorongan dari tuntutan ‘yang penting lulus’, ‘yang penting dapat nilai bagus’.
Ini merupakan gambaran betapa sistem pembelajaran masa kini yang sering terperangkap pada penggiringan asumsi dan opini bahwa nilai A+ adalah kunci kesuksesan yang sebenarnya. Ini juga merupakan gambaran dari akibat penerapan sistem peringkat kelas yang secara tidak langsung menyebabkan diskriminasi pendidikan di kelas, karena peringkat siswa menjadi justifikasi bagi tingkat pengetahuan antara siswa satu dengan yang lainnya, peringkat pertama lebih baik dari peringkat kedua, ketiga lebih baik dari keempat, lantas bagaimana dengan pelajar di peringkat terakhir di kelasnya? Bahkan pada akhirnya, pendidikan yang ada berujung pada proses dehumanisasi para pelajar yang berakibat pada berkurangnya kepekaan sosial di antara pelajar, juga berdampak pada hilangnya semangat Thalibul ilmi yang sebenarnya.
Bentuk dari proses pemahaman para pelajar dalam pembelajaran tidak terlepas dari proses yang bernama ‘mengetahui’. Di dalam proses ini, bagi para pelajar ilmu tidak serta merta berfokus pada menyerap apa-apa yang terdapat di dalam buku ataupun dari setiap paparan guru. Dalam perspektif Paulo Freire, seorang pakar pendidikan dari Brasil, proses ‘mengetahui’ adalah sebuah kegiatan sosial dimana terdapat hubungan dialogis antar subjek di dalamnya. Lebih lanjut Freire menjelaskan,
“Mengetahui, yang selalu berupa proses, melibatkan situasi dialogis. Tepatnya tidak ada ‘saya berpikir’ tetapi ‘kami berpikir’. Bukan ‘ saya berpikir’ yang menimbulkan ‘kami berpikir’ tetapi sebaliknya, ‘kami berpikir’ yang memungkinkan ‘saya untuk berpikir’.[3]
Dari penjelasannya, diketahui bahwa arti penting dari sebuah proses ‘mengetahui’ adalah kolektifitas dan kebersamaan dalam meraih ilmu yang dipelajari. Karena pada hakikatnya proses pembelajaran tidak untuk satu atau dua orang saja, melainkan semua penerima ilmu berhak atasnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, proses ini identik dengan istilah mudzakarah (saling mengingatkan dalam ilmu), munazharah (diskusi), dan mutharahah (memecahkan sebuah masalah bersama-sama). Hal ini sebagaimana pemaparan dari Syaikh az-Zarnuji penulis dari kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum,
“وَلَابُدَّ لِطَالِبِ العِلْمِ مِنَ المذَاكَرَةِ وَالمنَاظَرَةِ وَالمطَارَحَةِ، فَيَنبَغِي أَن يَكُونَ بِالِإنصَافِ وَالتَأَنِّي وَالتَّأَمُّلِ وَيَتَحَرَّزَ عَن الشَّغَبِ. فَإِنَّ المنَاظَرَةِ وَالمذَاكَرَةِ مُشَاوَرَةِ وَاُلمشَاوَرَةِ إِنَّمَا تَكُونُ لِاسِتخرَاجِ الصَّوَابِ وَذَلِكَ إِنَّمَا يَحصُلُ بِالتَّأَمُّلِ وَالتَّأَنِّي وَالإِنصَافِ وَلَايَحصُلُ ذَلِكَ بِالغَضَبِ وَالشَّغَبِ.”
Artinya: “Seorang Thalibul ilmi (pejuang ilmu) seharusnya saling mengingatkan pelajaran (mudzakarah), berdiskusi (munazharah), dan memecahkan masalah bersama (mutharahah). Akan tetapi hal seperti ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran, tenang dan penuh penghayatan, serta menghindari keonaran/kekacauan. Karena munazharah dan mudzakarah merupakan bentuk musyawarah dalam rangka mencari kebenaran. Oleh sebab itu, akan berhasil bila dilakukan dengan penuh kesadaran, tenang dan penuh penghayatan. Dan tidak akan berhasil bila disertai dengan emosi dan keonaran/kekacauan yang akan menimbulkan perkara yang tidak baik.”[4]
Selain itu, bukankah orientasi dari sebuah pendidikan yang utama adalah tidak hanya terpaku pada kuantitas ilmu pengetahuan yang didapat, tetapi berorientasi pada kualitas pelajar ilmu itu sendiri? Bahkan antara keduanya terkadang akan bisa berbanding lurus atau bahkan bertolak belakang satu sama lainnya.
Terlihat jelas di dalam Al-Qur’an bahwa yang dimaksud dari para ahli ilmu (ulama) adalah mereka yang memiliki karakter al-Khasyyah (ketika hati merasakan kepedihan/ketakutan disebabkan atas konsekuensi perbuatan seorang hamba di masa depan karena sebab kejahatan seorang hamba dan juga ketika disebabkan oleh pengetahuannya tentang keagungan Allah dan kemulian-Nya[5]).
وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَۗ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ٢٨
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Qur’an Surah Faathir: 28)
Rasa takut kepada Allah selalu identik dengan ketakutan akan pedihnya azab-Nya atau pedihnya siksa di neraka kelak. Ketakutan akan hal itu merupakan sesuatu yang pasti dan memang patut untuk ditakuti oleh semua manusia. Tetapi, makna dari sebuah rasa takut juga terdapat pada ketakutan akan segala konsekuensi yang kelak akan didapat oleh setiap insan pejuang ilmu di masa depan, ketika dia terlalu sibuk pada nilai dan penghargaan semata. Selain itu, rasa takut juga berkaitan dengan ketakutan yang bisa menghalanginya dari berbuat dan berkata yang menjerumuskannya pada maksiat kepada-Nya.
Al-Khasyyah sebagai tolak ukur kualitas seorang ahli ilmu menjadi bukti pentingnya kualitas pribadi seorang pejuang ilmu di tingkat manapun dia belajar. Tidak harus memfokuskan pada bagaimana seorang pelajar ilmu lulus di suatu tingkat pendidikan, tetapi lebih daripada itu sistem pendidikan yang baik adalah juga memfokuskan pada bagaimana nantinya kualitas karakter seorang pelajar terbentuk serta implementasi dari setiap pengetahuan yang didapatnya. Di samping itu juga adalah kemampuan seorang pejuang ilmu sejati untuk mampu berkontemplasi dan memperhitungkan setiap tindakan yang dilakukannya atas konsekuensi yang bisa jadi dia dapatkan kelak dari tindakannya tersebut.
Hal ini senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhu:
لَيسَ العِلْمُ بِكَثرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ العِلْمَ الخَشْيَةُ[6]
Artinya: “Sesungguhnya ilmu bukanlah dipandang dari seberapa banyaknya riwayat, tetapi sesungguhnya ilmu adalah al-Khasyyah (rasa takut kepada Allah)”
Ilmu adalah anugerah Allah Subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya penting untuk memperhatikan niat atau maksud tujuan dari proses pembelajaran, seperti apa proses yang dijalaninya hingga bagaimana ilmu yang didapatkannya benar-benar merupakan Nur (cahaya) bagi setiap pengembannya. Kemampuan memahami dan menghafal tidak selamanya harus menjadi patokan utama, karena semua itu juga merupakan pemberian dari Allah Subhanahu wa ta’ala bagi siapapun yang mampu membuktikan dirinya dengan sungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu. Sehingga kemampuan menghafal yang baik tetap harus menjadi wasilah (perantara) bagi pejuang ilmu dalam meraih hakikat yang sebenarnya dari ilmu yang dia pelajari.
Tanpa bermaksud untuk merendahkan apalagi meremehkan sistem pendidikan saat ini, kritik pada bagian pertama ini ditujukan sebagai sarana untuk menyingkap urgensi dan tujuan utama dari sebuah proses pembelajaran yang sebenarnya, sesuai dengan tuntunan wahyu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diikuti oleh beberapa generasi setelahnya.
Selain itu, kritik dalam prolog ini ditujukan bukan untuk berfokus pada faktor-faktor baku seperti sistem dan lingkungan tersebut, melainkan sebagaimana kata mutiara yang kurang lebih bernada, “Jadilah seperti ikan di laut, meskipun air di lautan itu asin rasanya, tetapi tidak membuat semua ikan di dalamnya menjadi asin”.
Yakni bahwa setiap pejuang ilmu dimanapun mereka belajar atau di tingkat manapun dia mengenyam pendidikan, hasil dari proses sebenarnya yang dilakukan tidak akan terlepas dari dorongan diri sang pejuang itu sendiri, bagaimana ia menjalani proses tersebut, bagaimana sikapnya menghadapi setiap tantangan-tantangan di hadapannya, hingga kembali pada orientasi yang menjadi landasan setiap daya yang diusahakannya.
Penulis menyadari bahwa sebuah sistem yang telah mengakar bertahun-tahun lamanya akan sangat sukar untuk diubah, juga memang tidak selamanya kita harus terus-menerus menyalahkan sistem pendidikan yang ada. Karena ternyata sistem pendidikan yang ada tidak menjadi penghalang yang kuat bagi terbentuknya karakter pejuang ilmu, yang mampu menjalani setiap proses pendidikan yang ada dengan bersandar pada metode dan tradisi keilmuan Islam. Hal ini dapat dilihat dari proses pembelajaran pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan formal.
Pesantren berperan pada pembentukan tradisi keilmuan Islam melalui pengajaran tentang bagaimana para ulama meraih keberkahan dalam proses belajar mereka, sehingga ditiru oleh para pejuang ilmu. Di sekolah formal, mereka mengimplementasikan semua itu dalam pembelajaran seperti biasa sesuai sistem pendidikan pada umumnya.
Tidak hanya cukup sebatas karena sistem semata, lingkungan serta pergaulan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi bagi laju proses keilmuan pejuang ilmu. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan tentang pengaruh dari pergaulan terhadap kualitas seorang mukmin.
المرَءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَليَنظُر أَحَدُكُم مَن يُخَالِل (رواه أحمد في كتاب قبس من نور محمد صلى الله عليه وسلم)
Artinya: “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping” (Hadits Riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Qabasun min Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[7]
Selektif tidaklah dimaknai dengan diskriminasi, selagi tidak didasari atas alasan-alasan yang sudah jelas tidak perlu disinggung, seperti ras, warna kulit, suku, ataupun bangsa. Karena semua itu merupakan sesuatu yang sudah menjadi keberagaman mutlak dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan juga merupakan sebuah fakta yang tidak akan bisa ditolak oleh siapapun. Bahkan semua perbedaan itu tidak menjadi penghalang untuk bisa membangun interaksi sosial, Pada hakikatnya, semuanya kembali pada keimanan dan ketakwaan yang menjadi pilihan bagi setiap insan, serta menjadi ukuran di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sering kita lihat, fenomena-fenomena remaja sekolah yang berkerumun dan membuat semacam kelompok atau komunitas ‘geng’ siswa. Berbagai kebiasaan dan trend pelajar seringkali lahir dari aktifitas ini, bahkan sampai pada tingkat ‘gengsi’ jika tidak mengikuti apa yang menjadi trend dalam komunitas tersebut.
Dengan mengatasnamakan ‘solidaritas dan pertemanan’, hubungan yang ada seringkali malah terjebak pada pelanggaran-pelanggaran sosial baik di dalam sekolah ataupun di luar waktu belajarnya, meskipun tanpa dipungkiri terdapat juga komunitas pelajar yang dibangun atas dasar keilmuan dan keimanan. Hal ini membuktikan bahwa pergaulan sebagai aktifitas sosial, menjadi pertimbangan yang patut diperhatikan bagi setiap pejuang ilmu.
[1] Abu al-Fida bin Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), hal. 429
[2] Maka hal ini memiliki konsekuensi bahwa setiap aktifitas kita, tata laku dan kehidupan kita seyogyanya senantiasa selaras dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
[3] Denis Collins, Paulo Freire: Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, terj. Henry Heyneardhi dan Anastasia P, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 112-113
[4] Syaikh az-Zarnuji, Pedoman Belajar …, hal. 81
[5] Ali bin Muhammad as-Sayid asy-Syarif al-Jurjani, Mu’jam al-Ta’rifat, (Kairo: Dar al-Fadhilah, t.t), hal. 86-87
[6] Imam Jamaluddin Abu al-Faraj bin al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2012), hal. 151 (al-Jauzi, 2012)
[7] Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terj. A. Aziz Salim Basyarahil, (Depok: Gema Insani Press, 2015), hal. 155
BACA BUKU 3 DIMENSINYA
Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno
Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini
Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini