Seorang ulama pernah mengatakan : “Ilmu lebih kita butuhkan daripada makanan, makanan kita perlukan 1 atau 2 kali dalam sehari namun ilmu setiap kali tarikan nafas kehidupan kita butuhkan”.
Setiap hal ada ilmunya. Bahkan dalam hal yang sepele dan sederhana sekalipun. Cara bagaimana membersihkan kotoran dalam telinga bisa mempengaruhi kehidupan. Kesalahan dalam memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan berdampak pada kehidupan nyawa seseorang. Dan atas semua itu, kita kerap bingung. Gejala bingung pada pikiran ini serupa dengan gejala lapar pada tubuh. Jika lapar menggerakkan tubuh untuk mencari makanan, maka bingung sejatinya menggerakkan pikiran untuk mencari ilmu.
Paling sederhana adalah dengan bertanya. Hampir setiap hari kita bertanya. Dan kita sadari, tak semua pertanyaan terjawab. Sebab, jenis jawaban itu beragam, bergantung pada pertanyaannya. Salah bertanya, salah jawaban. Maka kala jawaban tak menghilangkan kebingungan, sejatinya kita perlu terus berjalan mencari ilmu.
Sebagaimana tubuh perlu makan secara rutin beberapa kali sekali dalam sehari, begitu pula kebutuhan pikiran akan ilmu. Kita tak bisa hidup dari makanan yang kita makan sebulan yang lalu, sebagaimana pula kita tak bisa berpikir dengan ilmu kita dari zaman sekolah dulu. Makanan yang sebesar itu akan diolah oleh tubuh dan diambil sarinya, sebab memang sarinya itu sajalah yang dibutuhkan. Maka ilmu setebal buku itu pun perlu diolah oleh pikiran untuk dipetik hikmahnya, karena memang hikmah itulah yang diperlukan.
Meski jumlah makanan yang kita perlukan sebanyak tiga piring dalam sehari, kita tidak bisa memakan makanannya sekaligus. Mesti bertahap. Itupun sudah sesuap demi sesuap. Jika ingin nikmat, tiap suapan mesti dikunyah secara perlahan. Sebab tubuh ada batasnya, ia tidak bisa dipaksa-paksa. Hal yang sama dengan ilmu. Mesti yang kita butuhkan amat banyak, pikiran tak bisa mempelajari semuanya dalam serta merta. Belajar ada tahapannya, yang tiap anak tangga tidak bisa dilalui sekenanya saja. Ia mesti dijalani perlahan, dihayati langkah demi langkahnya.
Sudah fitrahnya wahai diri, menyukai jenis makanan tertentu. Namun sebab kita tahu tubuh ini tak hanya membutuhkan itu, kita paksakan diri untuk memakan juga apa-apa yang baik dan perlu. Begitupun dengan ilmu. Amat wajar diri ini menggemari ilmu tertentu. Tapi karena kita tahu pikiran itu tak hanya memerlukan itu, perlulah bersungguh-sungguh mempelajari juga hikmah yang penting tanpa banyak menggerutu.
Kala kecil, kita belum tahu pentingnya makanan bagi diri. Maka begitu repotlah orang tua membujuk rayu agar terpenuhi kebutuhan gizi. Dan itu sungguh dimaklumi. Namun seiring waktu, diri ini perlu bertumbuh jadi mandiri lalu menentukan waktu dan jumlah makan sendiri. Ah, begitu pulalah kiranya dengan ilmu. Berawal dari bujukan hingga paksaan, seharusnya kita mendewasa dan menyadari kebutuhan akan ilmu. Kitalah yang mesti mandiri menentukan apa-apa yang kita butuh dan inginkan untuk dipelajari. Tanggung jawab mendidik bukan lagi terletak pada pundak ayah, ibu atau guru. Tanggung jawab itu kini berpindah ke tangan kita sendiri.
Maka setiap kali pikiran ini gelap, bingung dan merasa bodoh, itulah tanda ia sedang lapar akan ilmu.
Wahai diri,
Bertanyalah…,
Bergurulah…,
Membacalah…,
Merenunglah…,
Mencobalah…,
Dan, belajarlah.
Telah dijanjikan derajat yang lebih tinggi pada mereka nan berilmu. Tidakkah kau wahai diri, mengingkarinya ?
Wahai diri, tanda perlunya tubuh akan makanan adalah lapar. Tanda perlunya pikiran akan ilmu adalah kebodohan.
Pernahkah merasa baru memahami sebuah ilmu setelah bertahun-tahun sejak pertama kali mempelajarinya, Wahai diri ?
Teringat, kisah ustadz saya dahulu baru faham pelajaran nahwu pada kitab “Matn Al-Jurumiyyah” setelah 8X khatm dan memerlukan waktu sampai kurang lebih 7 tahun bermulazamah di pondok.
Dan bagiku, sampai tulisan ini dibuat masih terseok-seok dan tergopoh-gopoh untuk memahaminya walaupun sudah lama sejak SMA ku mengenal nama kitabnya.
Kerap kudapati diri yang faqir ini merindu guru yang mampu menjelaskan berbagai pengetahuan dengan mudah dan menyenangkan. Namun semakin dalam mempelajari sebuah ilmu, sungguh teramat jarang kutemui guru nan serupa itu. Guru-guru yang dalam justru amat jarang menggunakan cara yang atraktif. Beliau bahkan sering hanya memakai penjelasan yang ringkas tanpa panjang lebar dan membiarkan sang murid menjalani dan merenunginya sendiri. Tapi Alhamdulillah guru tersebut aku temui di Kampung Maghfirah, Bogor. Kendati demikian tetap diri masih merasa belum cukup dan masih menebak nebak apa maksud dari penyampaian mereka selama ini.
Sebab, pemahaman rupanya bukan urusan para guru. Para guru berkewajiban menjadikan dirinya layak mengajar, dengan menjadikan sebuah ilmu hidup dalam dirinya. Hanya dengan seperti inilah para murid akan tunduk karena sosoknya yang mumpuni. Namun perjalanan menuntut ilmu adalah perjalanan personal setiap murid. Perjalanan aku dan kamu, sendiri-sendiri, kita memerlukan guru untuk membuka pintu, namun kita sendirilah yang harus kedalamnya dengan sepenuh hati.
Ya, wahai diri, kamulah yang harus masuk karena guru kamu hanya mengantarkan dan menunjukkan jalannya selebihnya terserah padamu. Ilmu diciptakan berbeda untuk tiap insan, sesuai dengan tugas perjalannanya masing-masing. Insan pembelajar bisa mendulang ilmu dari kebijaksanaan banyak guru, namun ia tidak bisa menuntut pemahaman dari mereka. Sebab pemahaman lahir dari penyatuan ilmu dengan diri pembelajarannya. Maka informasi yang didapat dari guru sehebat apapun, memang harus dicerna dan diresapi hingga pas dengan kondisi diri. Di titik inilah kesungguhan jadi syarat utama. Sebagaimana makanan diolah bertahap dalam berbagai lokasi di tubuh, begitu pula ilmu dihayati dalam berbagai lapisan pikiran dan perasaan.
Wahai diri,
Sekali lagi, bukan tugas guru untuk memahamkanmu. Namun,
Pemahaman lahir dari usahamu sendiri.
Pengulangan adalah keniscayaan. Kebosanan adalah hambatan.
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi dari sahabat Mu’awiyah).
“Seandainya aku dulu bersungguh-sungguh dalam belajar ilmu ini, niscaya aku kini akan mudah untuk melakukan berbagai pekerjaan ini” sahut teman.
“Aku pun begitu. Namun penyesalan tiada berarti karena itu adalah pilihan hidup kita pada saat itu. Kita sekarang karena apa yang kita pilih hari kemarin, dan akan jadi apa kita esok hari itu semua tergantung dari apa yang akan kita pilih hari ini.” Begitu sahutku.
Namun pada dasar yang sama akupun melirik kepada orang yang expert banget dalam bidang tertentu, lalu beliau menyampaikan bahwa proses untuk menjadi seperti ini bukanlah yang mudah dan instan, semuanya butuh pengorbanan dan waktu bermujahadah yang serius.
Wahai diri, ya, memang benar bahwa belajar memerlukan usaha. Usaha dalam mendapatkan guru. Usaha dalam memahami. Usaha dalam mengamalkan. Sebab ujung dari belajar adalah memperbaiki diri, maka usaha yang besar adalah bersungguh-sungguh menelaah dan mendesain ulang berdasarkan ilmu yang dipelajari.
Wahai diri, tak akan kau dapati seorang yang ahli yang pandai dengan sendirinya. Yang belajar tanpa usaha. Yang bersantai-santai belaka namun menguasai jua. Tidak ada. Dan rasanya memang tak akan pernah ada. Bahkan mereka yang dikaruniai ilmu khusus pun bermula dari kesungguhan dalam ilmu umum terlebih dahulu.
Jadi belajar itu pasti melelahkan. Ia menghendaki kesungguhan, pengorbanan dan penundaan akan berbagai keinginan. Wahai diri, apa engkau sanggup melewati rintangan yang menjadi syarat mendapat ilmu ini ? Ya, sebab memang konsekuensinya. Mereka yang tak mau berlelah dalam pengorbanan akan berkorban lebih banyak. Anak yang tak sungguh-sungguh dalam belajar membaca, misalnya, maka ia akan menderita sepanjang hayat dalam kebodohan, sebab sekian banyak ilmu ditransfer lewat tulisan. Orang yang tak benar-benar gemar bertanya akan tersesat jauh, karena semakin luas cakrawala ilmu dibuka lewat pertanyaan.
Ilmu itu dikejar. Ia menunggu, takkan hadir dengan sendiri. Ia cahaya, maka perlu disibak penutupnya. Ia tak menyala dengan sendirinya, kecuali diri kamu wahai diri yang membakar sumbunya.
Inilah mungkin mengapa satu bab ilmu lebih baik daripada beribadah semalam suntuk. Sebab satu ilmu memerlukan rentetan usaha sebelum dan sesudahnya. Memahami satu ilmu kerapkali menghendaki perenungan berminggu-minggu. Dan ketika ia di muroja’ah lagi bertahun-tahun kemudian, akan melahirkan hal-hal yang baru.
Belum lagi mengamalkan ilmu. Sepotong illmu dari seorang guru sejatinya adalah ringkasan dari sekian perjalanannya. Sepotong ilmu yang kau dapat dari seorang guru mungkin itu adalah ringkasana dari puluhan bahkan mungkin ratusan buku yang sang guru telah baca, telaah, yang difahami dan di sarikan dalam sepotong ilmu tersebut. Maka mengunduh yang sepotong itu menghendaki diri ini untuk menyelami dalam sekian panjang perjalanan pula, sebelum akhirnya ia akan bermakna. Setia ilmu ada tempatnya. Tempat sebuah ilmu pada hidup sang guru, sungguh berbeda dengan kita sebagai seorang murid. Kita mesti menemukan tempat itu sendiri. Tempat itu hanya akan ditemukan lewat pengalaman.
Maka wahai diri, nikmatilah kelelahanmu, sebab di dalamnya terbentang lautan makna. Kelelahan itu sungguh tak berarti dibandingkan susah payah yang akan terjadi.
Wahai diri, camkan ini “Yang tak mau berlelah-lelah dalam belajar akan bersusah payah dalam kebodohan”
BACA BUKU 3 DIMENSINYA
Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno
Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini
Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini