40 Days

1-0502d826

Pemesanan buku

3D Book

Shopee

Tokopedia

Whatsapp

Sinopsis
"Biarpun api akan menjadikanmu abu, dan angin akan menebangkanmu sebagai debu, kau tak akan pernah hilang dari ingatanku, Dinda..." Cinta tak harus bersama. Memang lebih baik melihat orang yang dicintai bahagia meski itu akan membuat dia tidak bisa lagi terus bersama kita, daripada menahannya untuk tetap di samping kita dengan luka dan derita yang hanya bisa ia tanggung sendiri. Ini bukan kisah roman picisan ala-ala remaja. Jadi, silakan baca jika penasaran seperti apa isinya.

November 2008

Ayana menatap layar kaca di hadapannya hampir tanpa berkedip. Dilihatnya sesosok gadis kecil manis seumu- rannya sedang melakonkan sebuah peran dalam serial drama yang cukup terkenal pada masa itu.

“Bersambung…” Begitu tulisan yang nampak di layar kacanya saat ini.

Ayana menghela napasnya kecewa. Rasanya, filmnya baru saja dimulai. Tapi, kok, sudah selesai lagi? Padahal, Aya- na sudah menantikan kesempatan bisa menonton film ke-sayangannya karena jadwal pemadaman listrik di daerahnya

yang sering bertepatan dengan jadwal tayang film itu.

Di ruangan yang sama, Fahri sedang sibuk meme- riksa hasil ujian semester siswa-siswanya, mengabaikan layar kaca di hadapannya.

“Ayah?” panggil Ayana.

“Hmm?” Tatapan Fahri masih fokus ke kertas-ker- tas di hadapannya.

Ayana nampak tidak memedulikan kesibukan ayahn- ya. Dia terus saja berbicara. “Kalau Mba Ay tinggal di Ja- karta, pasti Mba Ay sudah jadi artis!” katanya bersemangat. “Mba Ay bisa nyanyi, bisa nari, bisa akting,” lanjut Ayana sambil membayangkan sesuatu. Sepertinya, ia sedang mera- tapi nasibnya yang harus tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.

Fahri mengangkat kepalanya, menghela napas, lalu berkata, “Satu-satunya yang pasti di dunia ini hanyalah ke- matian, Nak.” Ia lalu fokus lagi ke kertas di hadapannya.

Ucapan Fahri membuat Ayana tidak lagi memikirkan kemungkinan bahwa ia akan jadi artis kalau tinggal di Jakar- ta. Ia justru penasaran akan hal lain.

“Kematian itu apa, Yah?”

“Kematian itu adalah suatu waktu di mana kehidupan kita di dunia akan berakhir,” jelas Fahri singkat.

“Kalau kehidupan kita di dunia udah berakhir, kita hidup di mana dong?”

“Raga kita akan dikubur. Tapi, roh kita akan dibawa ke alam akhirat. Kita akan mempertanggungjawabkan semua yang sudah kita lakukan selama hidup di dunia.”

Ayana diam, sepertinya ia sedang berpikir. “Oohh… seperti Bi Juriyah kemarin ya, Yah?”

Bi Juriyah adalah tetangga mereka yang baru saja meninggal dunia seminggu yang lalu.

“Hmm.” Fahri mengiyakan. Meskipun ia sedang si- buk dengan pekerjaannya, ia sepertinya tidak terganggu den- gan pertanyaan-pertanyaan anaknya.

“Tapi, kalau emang kematian itu hal yang pasti, ke- napa orang-orang nangis setiap ada yang meninggal, Yah? Bukannya mereka juga akan merasakan hal yang sama? Jadi, mereka nangisin apaan?”

Fahri menatap Ayana kaget. Dari mana bocah dela- pan tahun mendapat pertanyaan dan pemikiran seperti itu?

“Mungkin, mereka menangisi pertemuan dan keber- samaan yang tak akan terulang kembali?”

Ayana mengangguk-angguk. “Ooh, gitu. Benar juga. Yah, ketika raga kita dikubur, apakah kita nggak boleh bawa apa-apa?”

“Tentu saja tidak boleh, Mba.”

Annisa yang baru saja datang dari warung depan rumah untuk membeli garam pesanan Bunda ternyata ikut mendengarkan percakapan ayah dan kakaknya.

“Serius nggak boleh, Yah? Satupun?” tanya Annisa.

Ada nada khawatir pada ucapannya.

Fahri mengangguk.

“Ayah… kalau Dedek meninggal nanti, Dedek mau bawa Elly saat Dedek dikubur. Boleh, ya?” bujuk Annisa. Elly adalah boneka kesayangan Annisa yang selalu dibawan- ya ke mana-mana.

Fahri menggeleng-geleng, menepuk jidatnya. Perca- kapan yang berawal dari angan-angan Ayana akan jadi artis jika ia tinggal di Jakarta itu berakhir dengan Fahri yang me- nutup lembaran kertas di hadapannya seakan berkata, “Nan- ti dulu, ya.” Demi memberi Kultim, kuliah tiga puluh menit, pada anak-anaknya tentang kematian.

Ayana mendesah. Apes, apes. Hanya karena Elly, bakat orasi Ayah terasah hari ini.

Mengayuh rakit ke simpang dua Sampai ke hilir di tepi jurang

Badan sakit sanak keluarga nun jauh di sana Begini lah hidup di negeri orang

***

Juli 2010

Pucuk-pucuk ilalang kering yang bergesekan dengan angin menciptakan senandung yang merdu menurut telinga- ku. Senandung itu menambah kesan haru pada setiap sudut ruangan ini, setiap inci dari percakapan ini harus disampai- kan dengan sangat hati-hati. Salah sedikit saja, bisa membuat sumbang senandung yang semula merdu. Kupandang wajah wanita di hadapanku yang matanya semakin sayu, aku tahu ada kaca yang siap retak di dalamnya.

“Jadi gimana, Bun? Dokter menganjurkan kamu un- tuk segera menjalani rawat inap. Kondisimu semakin mem- buruk.” Aku mencoba membuka percakapan.

Wanita di hadapanku menghentikan aktivitas memo- tong wortelnya sejenak. Matanya menerawang ke langit-lan- git. Entah sedang berpikir, atau sedang menahan air mata- nya agar tetap berada di tempatnya.

“Gimana, ya? Kalau aku dirawat inap, anak-anak gimana, Yah? Nggak mungkin meninggalkan mereka berdua di sini dalam waktu yang belum pasti berapa lamanya.” Tat- apan Nisrina kosong, aku tahu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya.

“Itu juga yang dari tadi aku pikirkan. Atau sementara ini kita rawat jalan aja dulu, sambil aku mengurus rujukan untuk dirawat di rumah sakit Cirebon. Nanti anak-anak bisa dititipkan ke Yayu1 Lili. Seminggu sebelum ramadhan juga kita pulang kampung, ‘kan,” jawabku memberi tawaran solu- si.

“Aku setuju kalau seperti itu, Yah. Bikin surat ruju- kan ke Rumah Sakit Arjawinangun aja ya, biar dekat juga dari rumah.”

“Okee, besok aku akan urus surat rujukannya ke Agoesdjam2. Lebih cepat lebih baik.” Aku menarik tubuh Nisrina ke dekapanku. “Yakin aja, Bunda pasti sembuh, kok. Apa sih yang nggak bisa dilewati oleh wanita sehebat kamu?” ucapku sambil mengusap-usap punggungnya. Nisri- na menenggelamkan tubuhnya dalam dekapanku. Kudengar ia terisak pelan. ”Nggak apa-apa. Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan. Manusia memang dianugerahi emosi un- tuk bisa diutarakan. Badai ini pasti berlalu, Sayang.”

Sudah dua bulan sejak awal gejala penyakit Nisrina terlihat. Mata dan sekujur tubuhnya menguning, tubuhnya diserang gatal-gatal yang luar biasa. Aku tidak tega melihat wanita tegar yang sudah menemaniku selama lima belas ta- hun terakhir ini nampak semakin lemah saja. Terkadang, dia tidak tidur semalaman karena gatal-gatal yang dirasakannya. Tetapi, dia wanita yang tabah. Bagaimanapun kondisinya, dia tetap melakukan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik bagiku dan anak-anakku. Bahkan, dia tetap menjalankan tu- gasnya sebagai guru meski sesekali absen, itupun karena ku- paksa untuk istirahat di rumah.

Lima belas tahun hidup bersama Nisrina, lima belas tahun kuhabiskan dengan wanita yang sangat luar biasa. Nis- rina adalah wanita paling kuat yang pernah aku temui. Mem- bangun ekonomi keluarga dari nol, bekerja sebagai guru ho- nor dengan penghasilan seadanya untuk menghidupi kami berdua dan ketiga buah hati tercinta, tidak pernah membuat Nisrina mengeluh dan merasa hidupnya sedang dalam ke- sulitan. Dia selalu meyakini bahwa rezekinya sudah diatur oleh Sang Maha Pemberi, yang terpenting adalah tidak be- rhenti berusaha untuk mencari rezeki itu. Asalkan dilakukan dengan cara yang halal dan digunakan untuk sesuatu yang halal, semuanya pasti dipermudah. Begitu katanya. Nisrina juga wanita yang sangat jarang menangis. Ia tidak menan- gis bahkan saat aku merantau ke Pulau Borneo sendirian, meninggalkan ia dan tiga anak kami di kampung halaman. Ia meyakini bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jika tidak semakin baik-baik saja, setidaknya semuanya akan kembali seperti semula.

Wanita inilah yang mengajariku arti kehidupan yang sebenarnya. Ia wanita biasa, memiliki karakter seperti wanita pada umumnya. Cerewet, suka mengomel, tidak sabaran, ti- dak jarang juga ia merajuk karena hal-hal sepele. Terkadang juga ia bangun kesiangan bahkan sengaja bangun siang jika penyakit malasnya sudah kambuh. Tetapi, di balik sikap-si- kapnya sebagai seorang wanita dan manusia biasa, prinsip hidup yang ia pegang menjadikannya satu di antara manusia luar biasa di muka bumi. Jika tidak bagi kalian, setidaknya bagiku tetap seperti itu. Membangun keluarga bersamanya tidak hanya berdasar atas cinta, tetapi juga berdasar atas prinsip hidup sebagai fondasi kokoh yang kami bangun ber- sama. Nisrina, adalah sebaik-baiknya madrasah pertama bagi anak-anakku. Ia sendiri yang mengajari anak-anak membaca dan menulis, dan aku yang mengajari mereka mengaji dan baca tulis Alquran. Anak-anak kami tumbuh sebagai anak yang cerdas karena dilahirkan dari rahimnya dan dididik den- gan kasih sayangnya. Tidak pernah habis rasa kagumku pada Nisrina, tidak terbatas seperti segala kekurangannya yang ti- dak pernah menjadikannya buruk di mataku. Melihat wanita yang biasanya selalu bersemangat kini lemah seperti tanpa tenaga membuat hatiku teriris, lebih seperti tidak percaya bahwa Nisrina bisa selemah itu sekarang.

Awalnya, kami bingung apa penyakitnya. Nisrina mengalami nyeri di bagian dadanya, ditambah dengan gejala seperti keringat dingin, mual, pusing, dan sesak napas. Mas- yarakat sekitar memprediksikan bahwa penyakit yang dider- ita Nisrina adalah angin duduk. Angin duduk terjadi ketika pembuluh darah jantung mengalami penyempitan. Akupun tidak terlalu mengerti penyakit macam apa itu karena aku baru mendengar istilahnya. Setelah mempertimbangkan ber- bagai hal, kami memutuskan untuk konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam. Hasil diagnosisnya adalah Nisrina menderita penyakit lambung karena mag yang sudah kronis.

Nisrina diberi beberapa resep obat. Namun, hingga obat itu habis, kondisinya bukan semakin membaik, justru semakin memburuk. Muncul gejala lain seperti tubuh dan mata yang menguning, disertai gatal-gatal pada seluruh tubuh. Setelah obatnya habis, kami melakukan check up dan istriku didiagno- sis menderita hepatitis B. Menurut dokter, hepatisis B sering kali tidak menimbulkan gejala, sehingga banyak yang tidak menyadari meski ia sudah terinfeksi. Meskipun demikian, gejala tetap dapat muncul satu sampai lima bulan pertama sejak pertama kali terpapar virus. Gejala yang dapat mun- cul adalah demam, sakit kepala, mual, muntah, lemas, dan penyakit kuning. Persis seperti yang dialami Nisrina saat ini. Tubuhnya yang menguning merupakan gejala penyakit kun- ing yang disebabkan oleh bilirubin3 yang berproduksi lebih banyak dari kadar normalnya.

Dokter menyatakan bahwa infeksi hepatitis B mer- upakan penyakit yang tidak bertahan lama dalam tubuh pen- derita dan akan sembuh sendiri tanpa pengobatan khusus. Kondisi ini disebut dengan hepatitis akut. Akan tetapi, in- feksi hepatitis B juga dapat menetap dan bertahan lama da- lam tubuh seseorang dan menjadi kronis. Infeksi hepatitis B kronis dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan nyawa, seperti sirosis dan kanker hati. Oleh karena itu, pen- derita hepatitis B kronis perlu melakukan kontrol secara ber- kala untuk mendapatkan penanganan dan deteksi dini bila terjadi komplikasi. Sebab itulah Nisrina disarankan untuk

3 Zat kuning dalam tubuh menjalani rawat inap karena penyakitnya yang sudah menca- pai tahap kronis akibat diagnosis yang salah di awal sehingga penanganannya terhambat.

***

Tahun ini adalah tahun ketiga kami hidup di per- antauan, tepatnya di Sungai Melayu Rayak, Kabupaten Ketapang, satu di antara 14 kabupaten di Kalimantan Barat. Daerah ini merupakan daerah transmigran, yang pen- duduknya mayoritas berasal dari luar Kalimantan, seperti pendatang-pendatang dari Pulau Jawa. Namun, tidak sedikit juga orang-orang Dayak dan Melayu yang merupakan pen- duduk asli daerah ini. Rumah sakit di kabupaten ini hanya ada di pusat kota. Jika ingin ke pusat kota, kami membu- tuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Estimasi waktu itu berlaku jika kondisi jalan tidak sedang hancur akibat di- guyur hujan. Pada musim hujan, estimasi waktu perjalanan kami bisa menjadi dua sampai tiga kali lipatnya karena jala- nan yang penuh lumpur, bahkan banjir. Tidak mungkin aku meninggalkan dua anak gadisku yang baru berusia delapan dan sepuluh tahun di rumah selama aku menemani Nisri- na menjalani rawat inap. Untuk mengajak mereka pun tidak bisa karena mereka harus bersekolah. Karena itulah, kami memutuskan untuk menunda rawat inap Nisrina sampai kami kembali ke kampung halaman dan membuat rujukan ke rumah sakit di Cirebon dengan pertimbangan banyak ke- luarga di sana yang akan membantu menjaga anak-anak.

Kata orang, sejauh apapun kita pergi, kita akan selalu tahu caranya pulang. Kalimat itu yang dulu membangkitkan semangatku dan menguatkan tekadku untuk merantau demi memenuhi kebutuhan hidup diriku dan keluarga kecilku. Ta- hun pertama, aku merantau sendirian karena lulus sebagai pegawai negeri sipil di daerah ini. Keterbatasan memaksaku untuk meninggalkan istri dan anak-anakku di Cirebon, tanah kelahiran kami. Saat itu, anak sulungku, Aksa, masih duduk di sekolah dasar kelas lima. Ayana, anak keduaku, baru saja masuk sekolah dasar. Sedangkan Annisa, anak bungsuku, usianya belum genap empat tahun. Setahun kemudian, aku membawa mereka semua ikut merantau denganku. Dengan rumah dan perabotan seadanya, kami memulai hidup baru di sini.

Sejak pertama aku membawa keluargaku ke sini, kami belum pernah kembali ke kampung halaman. Setelah bertahun-tahun hidup prihatin demi mengumpulkan rupiah agar bisa mengunjungi kembali kampung halaman, akhir- nya kami bisa merencanakan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di sana. Bahagia sudah pasti. Namun, siapa yang menyangka bahwa kepulangan kami juga membawa kabar buruk. Kepulangan kami bukan hanya untuk melepas rin- du bersama sanak saudara, mengunjungi anak tertua yang sedang menuntut ilmu sebagai santri di Pondok Pesantren Denanyar Jombang, tetapi juga dalam rangka pengobatan Nisrina, istriku yang sudah mengalami gejala penyakit yang

cukup parah selama dua bulan terakhir ini.

Berbagai pengobatan telah kami coba untuk me- nyembuhkan Nisrina. Dari mulai obat-obatan dari dokter, sampai obat-obatan herbal. Tetapi, tidak ada yang menun- jukkan perubahan signifikan ke arah yang lebih baik. Akhir- nya, aku mencoba cara di luar pengobatan fisiknya. Setiap malam, aku memberi Nisrina segelas air yang sudah kuba- cakan Alquran Surah Yasin sebanyak tiga kali dan doa-doa memohon kesembuhan yang kubaca bersama dua anak ga- disku. Herannya, setelah meminum air itu, gatal-gatalnya berkurang bahkan bisa benar-benar hilang dan dia bisa tidur dengan nyenyak.

Hingga suatu malam, aku mencoba untuk tidak memberinya air yasin. Malamnya, dia tidak bisa tidur lagi. Malam berikutnya, aku kembali memberinya segelas air yang sudah didoakan, tetapi hanya dibacakan Surah Yasin satu kali. Itupun hanya aku sendiri yang membacanya. Anak-anakku tidak ikut serta. Besok paginya, Nisrina bertanya, “Yah, kok airnya tadi malam nggak ada efeknya, ya?”

“Hah? Beneran? Nggak ada pengaruhnya sama se-kali?”

“Iya, Yah. Gatal-gatalku nggak berkurang sama se- kali. Aku tadi malam hanya tidur setengah jam menjelang subuh.”

Aku cukup terkejut mendengarnya. Ketika aku baca- kan Surah Yasin tiga kali, air itu mampu menghilangkan ga- tal-gatal di tubuh istriku. Tetapi, saat hanya kubacakan satu kali saja, tidak berpengaruh sama sekali bagi Nisrina.

Malam berikutnya, aku kembali membacakan Quran Surah Yasin tiga kali bersama anak-anakku pada segelas air itu, dan ternyata Nisrina bisa kembali tidur nyenyak malam- nya. Secara medis, air itu tentu tidak berpengaruh sama se- kali karena tidak mengandung obat secara material. Tetapi, faktanya, obat-obatan yang dikonsumsi Nisrina selama ini justru tidak ada yang mempan untuk sekadar mengurangi gatal-gatal di tubuh Nisrina. Justru air tanpa obat-obatan apapun yang mampu membuatnya merasa lebih baik.

Aku mulai berpikir, apa jangan-jangan ada andil makhluk lain pada penyakit istriku? Tapi, kenapa? Astagfirul- lah. Aku tidak boleh berprasangka buruk. Mungkin saja ini teguran dari Allah agar kami lebih sering mengingat-Nya. Peringatan dari Allah bahwa tiada kesembuhan tanpa izin dari-Nya. Aku harus terus berpikir positif demi kebaikan bersama dan kesembuhan istriku tercinta. Kalaupun ada yang salah dengan penyakitnya, aku yakin satu hal. Allah se- lalu bersamaku, Nisrina, dan anak-anak kami. Allah selalu melindungi kami dengan berbagai kuasa-Nya.

Tidak ada satu pun yang namanya kepunyaan. Semuanya hanya titipan yang kelak harus dipertanggungjawabkan pada Yang Me- nitipkan.

***

Agustus 2010

Pagi ini cukup cerah. Cuacanya tidak terlalu panas, tetapi juga tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini adalah hari kepulan- gan kami ke kampung halaman tercinta. Cerahnya hari juga terpantul pada wajah anak-anakku yang selalu tersenyum sumringah. Wajah ibu dari anak-anak pun tak kalah cerahn- ya meski tetap terlihat pucat padahal sudah disapu make up sekadarnya. Kami sedang bersiap untuk melakukan perjala- nan ke kampung halaman hari ini.

“Gimana, anak-anak? Udah siap semua?” tanyaku pada Ayana dan Annisa, yang sudah menenteng barangnya masing-masing.

“Sudah, Yah!” Dua anakku menjawab dengan ser- empak dan penuh semangat.

“Udah yakin nggak ada yang ketinggalan?” tanyaku memastikan sekali lagi.

“Oh iya, Yah. Dedek lupa. Elly belum masuk ke da- lam tas. Masih di jemuran.” Anak bungsuku menyahut. Elly adalah nama boneka kesayangannya yang sudah sangat ku- sam karena memang sudah lama dan jarang dicuci. Boneka itu kecil, panjangnya tidak sampai satu jengkal tangan orang dewasa. Aku menyebutnya boneka tikus. Ayana dan Annisa tidak terima, karena menurut mereka, Elly adalah boneka beruang. Nisrina tidak mengizinkan mereka membawa Elly karena penampilannya yang sudah sangat kusam. Jadi, anak- anak memandikan Elly agar bundanya mengizinkan mereka untuk membawanya.

“Ya udah, ambil dulu sana sebelum berangkat. Un-tung ingetnya pas masih di rumah, ‘kan. Cepet, hitungan ke sepuluh udah sampai sini lagi ya,” ucapku dengan nada yang dibuat-buat serius. “Satu… Dua… Tiga…” Aku mulai meng- hitung.

Tepat di hitungan sepuluh, Nisa sudah kembali ke hadapanku dengan napas terengah-engah dan memasukkan Elly ke dalam tasnya.

“Udah yakin nggak ada yang ketinggalan lagi, ‘kan? Bunda, nggak mau bawa Ketty juga? Nanti nggak bisa ti- dur loh di sana.” Aku meledek Nisrina. Ketty adalah boneka kucing Ayana yang selalu dipeluk Nisrina saat tidur.

“Ih, apaan sih, Yah!” Nisrina memukul pelan ba- huku. “Udah ah, yuk berangkat,” ucapnya sambil menjinjing tas pakaian dan barang bawaan lainnya.

“Oke, let’s go! Mba Ay, bantu bawakan barang Bunda, ya. Biar Ayah yang bawa kardus oleh-olehnya,” ucapku pada anak perempuan pertamaku.

“Eh, udah, nggak papa. Bunda masih kuat kok bawa barang-barang sendiri,” tolak Nisrina.

“Biar Mba aja yang bawa, Bun. Bunda ‘kan nggak boleh kecapekan.”

“Iya, bener tuh. Bunda jangan nolak bantuan gitu dong. Sok-sok jual mahal ah,” ledekku pada Nisrina.

“Ya udah deh terserah kalian aja.” Akhirnya Nisrina mengalah dan meletakkan kembali barang-barang yang tadi sudah diangkatnya.

Kami melakukan perjalanan dari tempat tinggal kami ke bandara di pusat kota menggunakan taksi. Setelah empat jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke Bandara Rahadi Oesman Ketapang. Kami akan melakukan perjala- nan Ketapang-Jakarta dengan satu kali transit di Pontianak. Perjalanan Ketapang-Pontianak yang biasanya membutuh- kan waktu lebih dari 12 jam jika ditempuh lewat jalan darat menggunakan mobil atau motor hanya membutuhkan wak- tu sekitar 45 menit saja menggunakan pesawat. Pukul 12.35 dari Bandara Supadio Pontianak dengan Sriwijaya Air, kami terbang menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Selamat tinggal tanah rantau, selamat tinggal bumi leluhur para datuk Melayu dan para tetua Dayak.

Pohon sawit memang berduri Ditanam orang di tengah ladang Mohon pamit kami hendak pergi Untuk mengobati wanita tersayang

Impian anak-anakku untuk dapat naik pesawat akh- irnya terwujud juga. Mereka tampak sangat bersemangat pada perjalanan kali ini, mengingat ini adalah kali pertama bagi Nisrina, Ayana, dan Annisa menaiki pesawat. Ada hara- pan besar di kepulangan perdana ini. Wajah agak sumringah terlihat pada Nisrina. Namun, kulihat sesekali ia diam den- gan tatapan hampa. Entah apa yang ia pikirkan, tentang pen- yakit yang ia derita atau harapan segera menginjakkan kaki di kampung halaman tercinta.

Sekitar pukul 14.00, kami sampai di Cengkareng. Adikku bersama suaminya sudah menunggu di lobi bandara untuk menjemput kami. Mereka tinggal di Bekasi. Aku sekel- uarga memutuskan untuk beristirahat sejenak di kediaman adikku sebelum melanjutkan perjalanan ke Cirebon. Adikku dan suaminya merupakan orang yang sangat peduli dengan penyakit yang diderita Nisrina. Mereka sering mengirimkan obat-obatan yang kami butuhkan dan selalu menanyakan perkembangan kesehatan Nisrina. Tak jarang pula mereka merekomendasikan pengobatan yang menurut mereka co- cok untuk menyembuhkan penyakit istriku.

Kediaman adikku tampak berbeda dari lima tahun yang lalu ketika terakhir kali aku mengunjunginya. Pagarnya sudah kokoh. Sepertinya rumah ini baru direnovasi karena cat di dindingnya yang tampak masih baru. Plafon pun sudah dipasang secara keseluruhan. Sesampainya di rumah adikku, kami membersihkan diri lalu makan malam bersama. Anak- anakku nampak tidak kehilangan semangatnya saat bertemu dengan sepupu-sepupunya di Bekasi meski telah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Rindu memang bisa menga- lahkan segala kelelahan. Di samping itu, kami memang be- lum pernah bertemu dengan anak bungsu adikku yang baru lahir pasca mereka pulang dari tanah suci untuk melaksana- kan ibadah haji. Adikku, Qonita, adalah seorang guru salah satu Sekolah Dasar swasta di Bekasi Barat. Suaminya memi- liki usaha travel haji. Mereka dikaruniai empat orang anak perempuan yang cerdas dan berbakat. Anak pertamanya be- rusia satu tahun di bawah Aksa, anak keduanya satu tahun di atas Ayana, sedangkan anak ketiganya seusia dengan Annisa.

Setelah sampai di Bekasi, kondisi Nisrina nampak semakin lemah. Mungkin karena kelelahan akibat perjalanan jauh kali ini. Kuning di matanya semakin pekat. Gatal-gatal- nya bertambah, sehingga ia tidak bisa berhenti menggaruk badannya. Tapi, Nisrina tetaplah wanitaku yang tangguh. Ia masih menyempatkan diri berbincang ringan bersama adik- ku dan suaminya, meski sambil menggaruk-garuk badannya sesekali. Suaranya masih lantang dan nada bicaranya masih terdengar sangat bersemangat. Tak sedikit pun ia menunjuk- kan raut wajah sedih.

Setelah makan malam dan salat isya, kami menyem- patkan membuat air yasin bersama Qonita dan keluarganya. Kasihan juga melihat Nisrina yang sudah kelelahan menem- puh perjalanan seharian, jika tidak bisa tidur dengan nyenyak malam ini.

Malam itu, kami berempat beristirahat di kamar yang sama. Nisrina akhirnya berhasil terlelap setelah meminum air yasin dan beberapa obat. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, kulihat Ayana masih terjaga. Ia melamun menatap langit-langit kamar sambil sesekali menoleh memperhatikan Nisrina.

“Mba Ay, kenapa belum tidur? Udah malam, loh. Ti- dur gih, besok ‘kan kita harus lanjut perjalanan ke Cirebon lagi,” ucapku.

“Yah, Bunda bakalan sembuh, ‘kan?” Ayana menja- wab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan yang disam- paikannya dengan gugup.

InsyaaAllah. Makanya Mba Ay sama Dedek harus rajin-rajin salat dan berdoa sama Allah untuk kesembuhan Bunda. Kalian juga jangan sering bertengkar biar Bunda ce- pet sembuh. Lagian, kenapa nanya gitu, Mba?”

“Yah, setiap bunda tidur, Mba selalu takut karena ngebayangin kalau Bunda nggak akan bangun lagi. Setiap Bunda tidur, Mba selalu ingin memastikan kalau Bunda ma- sih tidur dalam keadaan bernapas. Mba takut kalau Bunda tiba-tiba nggak bisa bangun lagi, Yah.” Air mata Ayana terli- hat menetes satu persatu.

Aku bangkit dari posisi tidurku, mendekati Ayana dengan hati-hati agar tidak membangunkan Nisrina dan An- nisa lalu memeluk Ayana. Aku harus menahan air mataku agar tidak ikutan menetes karena aku tidak ingin Ayana se- makin lemah karena melihat kelemahan ayahnya. Kuusap-usap rambut ikalnya, sementara ia menenggelamkan wajah- nya di dadaku sambil menangis sesenggukan.

“Mba, Mba Ay tahu nggak, siapa wanita paling tangguh yang Ayah kenal di muka bumi ini?” tanyaku pada Ayana. Ayana tidak menjawab, masih menangis. Tapi, aku tahu Ayana menunggu aku menjawab pertanyaanku sendiri. “Wanita paling tangguh, paling kuat, paling luar biasa, itu Bunda,” lanjutku. Ayana mendongakkan kepalanya, meman- dang wajahku.

“Ayah harap, Mba Ay sebagai anak perempuan tertua Ayah bisa jadi wanita yang luar biasa, bahkan lebih luar biasa dari Bunda. Mba, dengerin Ayah ya. Semua yang datang itu pasti akan pergi. Cepat atau lambat, hal itu pasti akan terjadi. Semua yang diciptakan, selalu punya caranya sendiri untuk kembali pada Illahi. Pada usia muda ataupun tua, anak-anak ataupun orang tua, semuanya punya kesempatan yang sama untuk hidup hari ini maupun mati hari ini. Karena itulah, yang terpenting bukan kapan kehidupan kita di dunia akan berakhir, tapi apa bekal yang kita bawa saat perjalanan hid- up kita sudah berakhir.” Aku memegang pipi Ayana dengan kedua tanganku, menatap matanya.

“Mba nggak perlu takut akan apapun, karena semuanya adalah titipan dan suatu saat pasti akan diambil oleh yang menitipkannya. Sekarang, tugas Mba Ay adalah menjadi anak yang baik dan berbakti sama Ayah dan Bunda, selalu mengingatkan kalau Ayah ataupun Bunda melakukan kesalahan, supaya nanti kita sama-sama punya bekal yang cukup kalau tiba-tiba Allah meminta kita kembali kepa- da-Nya. Paham?”

Ayana mengangguk-angguk. Suasananya hatinya su- dah cukup tenang sepertinya. Aku tahu Ayana akan mema- hami maksud dari ucapanku barusan, karena Ayana adalah seorang anak yang cerdas. Ia sudah lancar baca tulis pada usia empat tahun, bisa mengaji pada usia lima tahun, dan ha- pal juz 30 pada usia enam tahun. Meski saat ini usianya baru sepuluh tahun, ia sudah bisa memahami makna kehidupan secara lebih luas. Dia juga memiliki hobi membaca dan ber- bakat sebagai penulis. Dari ketiga anakku, aku melihat sep- ertinya Ayana adalah anak yang paling cerdas jika dibanding- kan dengan kakak dan adiknya.

“Kita sama-sama berusaha dan berdoa untuk kes- embuhan Bunda dan kesehatan kita sekeluarga, ya?” ucapku sambil mengusap air matanya. Ayana tersenyum mengiya- kan. Biar bagaimanapun, Ayana tetaplah seorang anak-anak yang tidak pernah ingin ditinggalkan.

Sesuatu yang pergi selalu punya caranya untuk kembali. Entah itu membawa suka ataupun duka, semuanya tergantung bagaimana ia menjalaninya.

***

Agustus 2010

Rintik hujan seperti alunan musik klasik yang mam- pu membuat tidur semakin nyenyak. Ada hujan yang mem- bawa cerita, ada juga cerita yang membawa hujan. Pagi ini, keduanya mungkin akan tercipta. Hujan yang membawa cer- ita dan cerita yang membawa hujan. Hujan yang turun pagi ini sepertinya akan menjadi saksi cerita di mana perjuangan kami untuk kesembuhan Nisrina akan benar-benar dimulai dengan kepulangan kami ke kampung halaman. Cerita yang nantinya tercipta juga akan membawa hujan pada hati se- tiap orang yang mendengarkan. Nisrina mencium punggu- ng tanganku seusai salat subuh. Aku melipat sajadah, lalu mengecup keningnya. Setelah tilawah bersama, kami mem- bangunkan Ayana dan Annisa untuk segera melaksanakan ibadah salat subuh. Aku tidak tega membangunkannya ter- lalu awal karena aku tahu Ayana baru tidur menjelang dini hari. Setelah semuanya melaksanakan salat subuh, kami membersihkan diri lalu merapikan barang-barang yang akan dibawa ke Cirebon. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Cirebon pagi ini.

“Mas, yakin mau ke Cirebon hari ini? Baru juga tadi malam sampai sini, masa udah mau pergi lagi,” tanya Qonita sambil menyiapkan sarapan.

“Yaa lama-lama juga mau ngapain, Nit. Mas udah cukup ngerepotin kamu sekeluarga bahkan sejak masih di Kalimantan. Lama-lama di sini malah makin ngerepotin nantinya.”

“Mba Nis, liat deh tuh Mas Fahri! Masih aja ngang- gep kalau kalian ngerepotin kami. Padahal ‘kan, nggak sama sekali. Mbok yo ngeyel banget gitu loh.” Kulihat adikku mera- juk dan mengadu ke Nisrina yang sedang membuatkan kopi untukku.

Nisrina hanya tersenyum menanggapinya. “Kami juga masih pengen lama di sini, Nit. Lima tahun loh ‘kan gak ketemu. Anak-anak juga masih betah banget main sama se- pupu barunya. Tapi yaa mau gimana lagi. Mba Nis juga kan harus segera menjalani rawat inap. Nanti kalau Mba udah sembuh, kita main ke sini lagi kok.”

Qonita akhirnya mengalah setelah mendengar jawa- ban Nisrina. “Iya deh, Mba, kalau gitu. Semoga Allah masih memberi kesempatan untuk kita berkumpul lagi di sini yaa, Mba.”

“Lebaran nanti Bibi ke Cirebon, ‘kan? Jangan lupa bawa Dek Zia yaa, Bi. Dedek masih pengen main sama Dek Zia,” ucap anak bungsuku sambil menciumi Zia yang sedang berada di gendongan ayahnya.

“Insya Allah yaa, Sayang. Doain aja Bibi ada rezekin-ya.”

Kami sarapan, lalu mengemaskan kamar yang kami tempati tadi malam agar kamar tersebut ditinggalkan dalam keadaan rapi seperti semula. Setelah memastikan semua ba- rang sudah terkemas rapi dan tidak ada lagi yang ketinggalan, kami berkemas untuk pergi ke stasiun. Qonita dan suaminya mengantarkan kami ke stasiun.

“Mba Nis, semoga Allah mudahkan untuk mendapa- tkan kesehatan kembali yaa.” Qonita memeluk Nisrina sam- bil menangis. Nisrina mengusap-usap punggung Qonita, “Aamiin. Minta doanya aja ya, Nit. InsyaaAllaah bantuan dan doa dari orang-orang baik seperti Nita dan Rizal akan diija- bah oleh Allah.”

Kami pamit kepada Qonita dan Rizal. “Kami be- rangkat dulu yaa. Terima kasih sudah mau direpotkan terus. Semoga Allah membalas kebaikan Rizal sekeluarga.”

Fii amanillah, Mas. Mas nggak pernah ngerepotin kami kok. Kalau butuh bantuan apapun, jangan sungkan bi- lang ya, Mas. InsyaaAllaah kita ketemu lagi lebaran nanti.” Kini gantian Rizal yang memelukku.

Pertemuan kami kali ini memang singkat. Tapi ada harapan besar dari pertemuan singkat ini. Harapan bisa ber- temu dan berkumpul kembali, harapan bisa segera bertemu dalam situasi dan kondisi yang baik-baik saja, dan masih ba- nyak harapan lain yang tidak bisa diungkapkan dengan ka- ta-kata. Setelah selesai berpamitan, kami bergegas menaiki kereta. Baru saja satu langkah mendekati kereta, terdengar isakan kecil.

“Dedek kenapa?” tanyaku pada Annisa yang tiba-ti- ba menangis.

“Nggak tau. Dedek sedih aja. Baru aja ketemu sama Dek Zia eh udah harus pergi lagi.” Ekspresinya saat mengu- capkan itu sambil menangis mengundang gelak tawa kami yang melihatnya. Meskipun Annisa adalah anak bungsu, ia sangat jarang menangis. Entah mengapa kali ini ia menangis seperti merasakan sesuatu yang amat menyedihkan.

Ya, Annisa yang paling sedih di sini.

***

Kami meninggalkan Bekasi sekitar pukul 10.00 WIB. Perjalanan ke Cirebon ditempuh selama kurang lebih tiga jam menggunakan Kereta Api Cirex. Di kereta, Ayana dan Annisa sibuk menyusun rencana apa saja yang akan mereka lakukan dan ke mana saja mereka akan berkunjung selama di Cirebon. Maklum, anak-anak pasti sudah sangat merindukan kampung halaman dan keluarga besarnya. Selama di Keta- pang, mereka jarang sekali liburan dan tidak memiliki kelu- arga besar yang menghidupkan suasana hangat dan ramai.

“Ayah, nanti kita sempet jalan-jalan ke Grage Mall ng- gak ya?” tanya Ayana padaku.

“Yah, Dedek mau berenang di Apita. Udah lama banget nggak berenang.” Belum sempat menjawab perta- nyaan Ayana, Annisa sudah menyampaikan keinginan baru.

“Halah, baru aja seminggu yang lalu kalian ketahuan berenang di sungai belakang pesantren. Eh, sekarang bilang- nya udah lama nggak berenang tuh gimana,” jawabku pura- pura merajuk.

“Ayaahh, itu ‘kan beda. Maksud Dedek berenang di kolam renang. Yang ada seluncurannya, yang ada pelampung bebeknya, yang ada pancuran dari lumba-lumbanya. Iihh, Ayah mah.” Annisa balik merajuk.

“Dedek banyak gaya ah. Nggak bisa berenang aja mau berenang.” Nisrina membalas ucapan Annisa.

“Iiihh, Ayah sama Bunda nyebelin ah.”

Lagi-lagi, tingkah Annisa membuat kami tertawa. Terkadang, dalam situasi seperti ini, anak-anak memang menjadi pencair suasana yang akan menghidupkan perbin- cangan di antara kami. Meski tak jarang pula mereka mem- buat kami semakin pusing di tengah banyaknya problema yang sedang memenuhi pikiran.

“Iya, iya. Nanti kita jalan-jalan ke Grage Mall yaa. Be- lanja baju lebaran di Ramayana. Berenang di Apita. Nanti kalau sempat juga kita ke Jombang, nengok Buyut di sana. Tapi, tunggu Bunda sembuh yaa. Selama Bunda belum sem- buh, ‘kan Bunda harus jalanin pengobatan dulu. Ayah juga harus jagain Bunda. Setuju?”

“Setuju!!” Anak-anak menjawab serempak. Semangat sekali. Ada keyakinan dalam diri mereka kalau tak lama lagi, bundanya pasti sembuh dan mereka bisa melakukan apapun dan berjalan-jalan ke mana pun yang mereka ingin- kan.

Sekitar pukul 13.00, kami sampai di Cirebon. Tu- run dari kereta, kami langsung disambut oleh Yayu Lili dan suaminya. Mereka sudah menunggu di stasiun Cirebon se- jak kurang lebih setengah jam yang lalu untuk menyambut dan menjemput kami. Senyum sumringah jelas tergambar di wajah Nisrina. Yayu Lili adalah kakak yang paling dekat den- gannya. Anak-anak biasa memanggilnya Mimi Li, mengikuti anak-anak Yayu Lili yang memanggilnya Mimi.

Sudah pasti Nisrina rindu dengannya karena berta- hun-tahun tidak bertemu meski masih sering berkomunikasi via telepon. Setelah melepas rindu dengan pelukan singkat dan saling menanyakan kabar, kami langsung menuju parki- ran stasiun dan menaiki mobil yang dibawa oleh suami Yayu Lili. Mobil yang dibawanya bukan mobil mewah. Hanya se- buah mobil gundul yang biasa digunakan untuk mengangkut pasir. Mobil itu juga sudah mengeluarkan bunyi yang khas ketika dikendarai, faktor usia mungkin. Tapi, anak-anak suka menaiki mobil ini karena mereka bisa menempati bagian belakang mobil yang merupakan bak terbuka. Anak-anak mabuk darat jika menaiki mobil tertutup. Nisrina duduk di depan bersama Yayu Lili dan suaminya yang menyetir, se- dangkan aku menemani anak-anak duduk di bagian belakang.

Aku sangat menikmati perjalanan kali ini. Meski cuacanya sedang cukup panas, angin sepoi-sepoi cukup un- tuk membuatku tidak merasakan panas yang teramat sangat akibat terpaan sinar matahari siang. Sepanjang perjalanan, aku bersenandung bersama dua anakku sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Seperti mimpi rasanya bisa menginjakkan kaki ke kota ini lagi. Selamat datang di Kota udang! Tempat kami lahir, tumbuh, dan berkembang. Sudah banyak yang berubah pada kota ini. Bangunan-bangunan yang terlihat asing di mataku berdiri kokoh di sepanjang jalan yang sudah semakin mulus dan licin. Gedung-gedung megah nan tinggi menjulang nampak menantang langit. Masjid At- Taqwa yang kini semakin indah, berbeda jauh dengan se- waktu aku kecil dan remaja dulu. Supermarket terlihat lebih banyak dari sebelumnya. Dinamika yang sangat mempesona, perubahan yang luar biasa. Cirebonku, Cirebonku… We are back!

Berbagai perasaan berkecamuk saat menginjakkan kaki dan memandang langsung kota ini kembali. Ada rasa suka, haru luar biasa, dan asa yang mengangkasa. Perasaan- perasaan itu juga mungkin dirasakan oleh Nisrina, terlihat dari raut wajahnya yang sudah mulai kusut karena kelela- han tapi terlihat lebih cerah oleh semangat yang menggebu. Semangat yang tidak pernah kulihat selama di perantauan. keinginannya untuk sembuh semakin kuat, karena ada rindu yang harus dituntaskan. Ada kenangan yang harus diulang agar tetap abadi dalam ingatan. Juga harus ada kenangan-ke- nangan baru sebagai bekal yang harus dibawa pulang. “Aku pasti sembuh!” Jika suara hatinya dilantangkan, mungkin itu lah yang akan terdengar karena diucapkannya berulang-ulang. Semangat sembuh itu langsung menular padaku untuk terus mendampingi Nisrina menjemput kesembuhannya.

Kami memutuskan untuk tinggal selama beberapa waktu di rumah Yayu Lili dengan berbagai pertimbangan. Rumah yang akan kami tempati di Arjawinangun belum kondusif, sedangkan Nisrina harus benar-benar istirahat. Nisrina sudah sering menyampaikan keinginannya untuk memasang keramik pada lantai rumah di Arjawinangun agar lebih nyaman ditempati. Jadi, selagi menunggu proses pe- masangan keramik selesai dan rumah bisa ditempati dengan nyaman, kami sekeluarga menumpang di rumah Yayu Lili yang ada di daerah Gempol.

Sesampainya di Gempol, kami mandi, mengemaskan barang-barang, lalu disuguhi makan siang dengan menu isti- mewa. Sayur asem, panjelan, sambal terasi, dan tauco. Kami tidak bisa menemukan tauco yang sama selama di Ketapang. Terlebih, masakan Yayu Lili memang masih seenak biasanya. Justru terasa semakin enak karena kami sudah lama tidak memakannya. Anak-anak makan dengan sangat lahap, be- gitu juga Nisrina. Sudah lama sekali tidak melihat Nisrina makan selahap ini.

“Mba Ay, Dedek, habis makan tolong bantuin Ayah beresin barang-barang bawaan yaa biar nggak berantakan. Baju kotornya diletakkan di belakang biar sekalian dicu- ci sama Mimi Li.” Ayana dan Annisa mengangguk-angguk sambil terus menikmati makanannya.

Selama Ayana dan Annisa mengemaskan barang, aku menyuruh Nisrina beristirahat di kamar sementara aku berbincang dengan Yayu Lili mengenai rencana kami selama di Cirebon.

“Rencananya sih, kalau rumah di Arjawinangun udah bisa ditempati, kami langsung pulang ke Arjawinan- gun, Yu. Rujukan Nisrina juga ke rumah sakit Arjawinangun. Jadi, lebih dekat lah bolak-baliknya,” jelasku pada Yayu Lili. “Tapi ada yang mengganjal di pikiran saya sekarang, Yu.”

“Kenapa, Ri? Coba cerita. Siapa tahu Yayu bisa bantu.”

Aku lalu menceritakan perihal dugaanku mengenai penyakit Nisrina yang agak tidak normal. Bisa jadi ada cam- pur tangan makhluk lain pada penyakit Nisrina.

“Sebenarnya saya sudah menepis dugaan-dugaan yang timbul dari air yasin itu, Yu. Tapi, beberapa hari yang lalu, mungkin sekitar tiga hari sebelum kami berangkat, seo- rang teman saya yang sudah lebih dulu pulang kampung ke Tasik menelepon. Di sana, dia mendatangi seorang orang pintar. Orang pintar itu hanya meminta alamat lengkap kami di Ketapang. Tapi dia bisa melihat dengan jelas dan menjelas- kan dengan detail apa saja yang ada di sekitar rumah kami. Tiga pohon nanas di sebelah kanan, satu pohon mangga besar yang sudah lama tidak berbuah ada di sebelah kiri di bagian tanah yang lebih rendah daripada bagian tanah tem- pat rumah kami berdiri. Satu pohon petai di depan rumah, dan lain sebagainya. Menurut pengamatannya, rumah kami memang ada penunggunya. Dan bisa jadi penunggu rumah kami yang mengganggu Nisrina. Tapi, saya tidak sepenuh- nya percaya sih. Lah wong rumah itu setiap hari disalatin dan dingajiin, kok. Lagian kami juga tidak merasa mengganggu siapapun di sini. Bagaimana menurut Yayu?”

“Segala kemungkinan bisa saja terjadi sih, Ri. Kita usaha aja sebisa kita. Yayu ada kenalan orang Kedungbun- der, ustaz yang bisa berdialog dengan makhluk-makhluk itu. InsyaaAllaah beliau bisa bantu kita lah. Kalau mau, malam ini kita bisa langsung ke sana. Anak-anak biar di rumah aja.”

“Jatuhnya nggak jadi syirik kan, Yu?” tanyaku karena takut mengambil langkah yang salah.

“Nggak lah, Ri. InsyaaAllaah tetap sesuai syariat kok. Beliau juga seseorang yang paham agama. Ini ‘kan salah satu bentuk ikhtiar kita buat kesembuhan Nisrina. Memang lebih baik dikonsultasikan ke orang yang lebih paham agama dulu sebelum dibawa ke rumah sakit nanti.”

“Baik, Yu. Bismillaah. Lebih cepat lebih baik. Nanti saya sampaikan ke Nisrina.”

***

Malamnya, setelah makan malam dan salat isya, kami pergi ke rumah Ustaz Aziz menggunakan becak. Kami ha- nya pergi bertiga. Aku, Nisrina, dan Yayu Lili. Ustaz Aziz adalah guru tarekat. Usianya berkisar tiga puluhan. Usianya yang terbilang cukup muda membuat pembawaannya lebih energik dan humoris. Meskipun begitu, ia tetap menghorma- ti siapapun yang berkunjung untuk meminta bantuan dalam artian berobat kepadanya.

“Dek, tolong ambilkan air segelas, dikasih garam satu sendok makan,” pinta Ustaz Aziz pada istrinya saat kami datang. Beliau sepertinya sudah tahu maksud kedatan- gan kami ke sini.

Setelah berkenalan dan berbincang ringan sebentar, Ustaz Aziz memulai analisis kebatinannya. Beliau berdialog dengan makhluk lain dengan media air garam dalam sebuah gelas yang disiapkannya tadi saat kami datang. Berdasar- kan analisis kebatinannya, penyakit Nisrina memang bukan penyakit biasa. Memang, kondisi kesehatannya sedang ti- dak baik-baik saja. Tapi, ada sebuah kekuatan dari luar yang mengganggu kondisinya yang memang sedang lemah itu. Sambil menganalisis lewat air garam, beberapa kali Ustaz Aziz menanyakan hal-hal yang memang pernah terjadi dan kami alami sendiri.

“Apa benar sampeyan4 pernah bunuh ular?” tanyanya tiba-tiba.

Saya membenarkan ucapannya. Karena memang pada saat Nisrina baru mengalami gejala dari penyakitnya, aku pernah membunuh ular.

“Apa ularnya kecil?”

Aku kembali membenarkan. Ularnya memang masih sangat kecil. Tubuhnya hanya seukuran jari telunjuk orang dewasa.

“Warnanya hitam? Ada putih-putihnya?” tanyanya lagi.

Kali ini, aku tidak langsung membenarkan. “Saya ingat warnanya hitam, tapi tidak begitu ingat ada putih-pu- tihnya atau tidak.” Aku tidak ingat betul detail ular yang aku bunuh saat itu. Bahkan sebenarnya aku sudah hampir lupa dengan kejadian itu.

“Ular yang sampeyan bunuh itu adalah ular induk yang sedang puasa. Karena sampeyan membunuhnya, roh si ular dan keturunannya marah sehingga menyerang istri sampey- an,” jelas Ustaz Aziz.

 
  

“Kalau seperti itu, kenapa sasaran kemarahannya 4 Kamu, dalam bahasa Jawa bukan saya?”

Sampeyan ada amalan apa? Sebenarnya mereka sudah menyerang sampeyan, tetapi tidak mempan. Mereka tidak kuat dan akhirnya menyerang istri sampeyan yang pada saat itu kondisinya memang sedang lemah.”

Memang seingatku, setelah kejadian itu, malamnya aku demam. Tapi keesokan harinya langsung sehat kembali. Bahkan, malam itu aku masih mengajar anak-anak dan be- berapa anak tetanggaku mengaji. Roh ular yang kubunuh itu menyerang Nisrina yang pada saat itu memang sudah memi- liki gejala angin duduk. Di samping itu, kondisi psikis Nisri- na pada saat itu juga sedang tidak prima akibat terlalu banyak beban pikiran.

“Mas Fahri punya anak perempuan yang rambutnya agak ikal?” tanya beliau tiba-tiba.

Ingatanku langsung tertuju pada Ayana, anak kedua- ku. “Ada, Mas. Memang kenapa?”

“Sasaran roh ular yang marah ini selanjutnya anakmu yang itu. Dia sudah mengikuti sampeyan sekeluarga sejak di Kalimantan, sampai sekarang sampeyan ada di sini. Dia selalu memantau semua aktivitas sampeyan, mengikuti semua perja- lanan sampeyan.

Aku sedikit merinding mendengar analisis Ustaz

Aziz. Sulit dipercaya, tapi sepertinya memang seperti itu lah kenyataannya. Dari semua yang ditanyakan Ustaz Aziz ke- pada kami, tidak ada satu pun yang tidak pernah kami ala- mi. Satu lagi analisisnya adalah, bahwa ada yang menyuruh ular itu. Motifnya bisa saja karena iri, dengki, dan tidak suka dengan keberadaan kami sekeluarga. Ustaz Aziz sendiri ti- dak mau menyebutkan ciri-ciri apapun tentang orang yang menyuruh ular itu. “Tetep ikhtiar aja, Mas. Dikuatin doanya. Kita tetep nggak boleh suuzon sama siapapun.”

“Tapi saya masih punya kemungkinan untuk sem- buh ‘kan, Ustaz?” tanya Nisrina. Ada getaran di suaranya. Aku tahu dia pasti sama merindingnya seperti aku.

“Tidak ada yang tidak mungkin, Mba.” Ustaz Aziz menenangkan. “Saya akan bantu sebisa saya juga buat pen- gobatan Mba Nisrina.”

Setelah konsultasi kami dengan Ustaz Aziz malam ini, aku jadi teringat kejadian bulan Mei lalu. Kejadian ten- tang ular yang aku bunuh, kejadian yang hampir aku lupakan karena banyaknya problema yang datang akhir-akhir ini, ke- jadian yang diduga justru menjadi awal dari segala problema ini.

BACA BUKU 3 DIMENSINYA

Pastikan anda memiliki saldo di dompet inno anda.
Jika belum silahkan bisa untuk beli saldo inno terlebih dahulu

Beli Saldo Inno

Fitur ini untuk pembelian dana saldo uang digital inno

Baca 3D book disini

Jika anda sudah memiliki saldo. Klik untuk baca buku 3D Book ini

5 1 vote
Rating
Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Umpan Balik Sebaris
Lihat semua komentar

Top up Dana Saldo

Rp. 15.000

Bonus 100 poin

Rp. 25.000

Bonus 200 Poin

Rp. 50.000

Bonus 350 poin

Rp. 100.000

Bonus 800 poin